Ulasan Singkat Puisi Leon Agusta - Doa Pengembara

September 18, 2017 Unknown 0 Comments


Puisi merupakan salah satu genre (jenis) karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat cepat. Jika dulu kita masih sangat terikat dengan bentuk puisi lama yang begitu konvensional kini perlahan bahkan lazim kita menjadi bebas dengan semua keterikatan pada konteks berpuisi terdahulu. Lebih tepatnya sekarang dikatakan dengan puisi bebas, di mana sudah tidak ada lagi pembatasan pada bentuk yang harus di ikuti. Selain itu, juga pada aspek isi. Kesan bebas sepertinya mengilhami banyak penulis puisi untuk bereksplorasi dengan puisi dewasa ini.
Kebebasan dalam berpuisi misalnya ditunjukan dengan bentuk puisi yang pendek (sajak pendek) atau pun puisi yang berupa cerita atau narasi panjang dengan muatan makna yang banyak pula tentunya. Jika puisi panjang sering diidentikkan dengan kemudahan dalam memaknainya, maka sebaliknya puisi yang tergolong puisi/sajak pendek biasanya menjadi misteri dan sangat klise (buram) dalam menemukan maknanya. Ini disebabkan karena wujud dari kata-kata yang singkat dan padat boleh jadi sangat susash untuk memaknainya dan mecoba menemukan makna yang sesungguhnya.  
            Berikut ini saya mencoba mengulas atau mencoba menemukan makna dari sajak pendek yakni sajak dari Leon Agusta “Doa Pengembara” dalam jurnal puisi rumahlebah ruang puisi #02/2009. Puisi ini cukup menarik perhatian saya untuk lebih jauh menggali makna sajak ini. Tentu sangat sulit menemukan makna sesungguhnya dari puisi ini, tetapi setidaknya saya dapat memaknai dengan interpretasi sendiri sebagai pembaca atau penikmat puisi, di mana pembaca memiliki kebebasan penuh untuk memaknai sendiri sebuah sajak dan menemukan sendiri makna sebuah sajak. Berikut ulasan pemaknaan saya yang cukup sederhana:

Doa Pengembara

Telaga Suci
Permandian rahasia dan terlarang
Akankah takdirku akan berlabuh di sana?

090309
           
            Puisi “Doa Pengembara” karya Leon Agustaf di atas hanya dibangun oleh tiga baris yakni telaga suci, permandian rahasia dan terlarang, dan akankah takdirku akan berlabuh di sana?. Pertama kali membaca puisi ini dan beberapa kali mengulangnya, sangat sulit rasanya mencari-cari maknanya. Kemampuan saya hanya bisa menebak-nebak karena petunjuk sederhana menuju pemaknaan terhadap sajak ini tidak ada. Namun, dengan sedikit bertitik pada judul dan menghubungkan dengan bagian per bagian baris puisi ini, setidaknya saya mampu memberikan interpretasi atau penafsiran. Bahwa puisi ini merupakan puisi yang menggambarkan suasana batin si aku lirik (takdirku). Pada dasarnya puisi ini secara pribadi saya sudah mengarahkan pemaknaan sejak pada judul. “Doa Pengembara” mendekatkan pemahaman kita pada perasaan bagaimana seorang pengembara sikapnya terhadap keadaan hidup, harapan dan masalah yang silih berganti menguatkan saya menafsirkan puisi ini.
            Selanjutnya pada baris pertama, //telaga suci// sebagai bagian dari langkah kedua mengggali makna dengan menunjukan hubungan atau keterkaitannya dengan judul. Saya menemukan makna lain “telaga suci” sebagai surga bagi seorang hamba Tuhan yang senantiasa mengembara dan mencari jati diri sesungguhnya dengan menempuh jalan panjang kebaikan. Hal ini pula ditunjukan dengan baris kedua //permandian rahasia dan terlarang//. Ini menguatkan keadaan surga sebagai tempat yang disucikan dan didambakan banyak pengembara. Rahasia dan terlarang adalah garis batas kejahatan dan keburukkan untuk masuk dalam “telaga suci” yang saya sebut sebagai “surga” tadi. Dan ditutup dengan baris terakhir yang menjadi penutup dari pemaknaan saya yakni //akankah takdirku akan berlabuh di sana?//. Baris ini semakin mempertegas keterkaitannya dengan judul. Kata “akankah” lazim digunakan sebagai bentuk pengharapan dan doa bagi seorang hamba Tuhan dan “berlabuh di sana” menunjuk pada telaga suci yang menjadi objek akhir pencarian (doa) seorang pengembara.
            Demikianlah kiranya pemaknaan saya terhadap puisi Leon Agustaf ini. Makna yang saya temukan adalah harapan dan doa seorang pengembara akan surga Tuhan yang begitu suci dan terlarang bagi seorangpun yang berniat jahat dan tempat tersebut menjadi rahasia pemilik-Nya. Tentu ini pada perspektif dan penafsiran saya akan makna di balik puisi “Doa Pengembara” karya Leon Agustaf. Lebih jauh orang akan  berbeda dalam hal menginterpretasikannya sebagai kewajaran dalam sebuah proses pembacaan terhadap sebuah puisi.

Mengulas Puisi:
 Hendragunawan S. Thayf Sajak Rembulan di atas Sebuah Kota, Setelah Penyerbuan
           
Dalam proses memaknai sebuah puisi, kita akan banyak menemukan banyak perbedaan dan banyak cara pembaca memaknai karya sastra puisi. Ketika puisi ditulis dan dibaca oleh pembaca maka sesungguhnya puisi tersebut sudah menjadi milik pembaca. Pembaca kemudian bisa memaknainya dengan caranya masing-masing. Tidak adanya aturan dalam memaknai puisi dapat menjadi pegangan bagi setiap pembaca untuk “bermain-main” dengan makna yang muncul dari sebuah hasil pembacaan. Berikut ulasan sederhana saya terhadap karya sastra puisi dari seorang penyair dalam kumpulan puisi rumahlebah ruang puisi #02/2009 yakni Hendragunawan. S. Thayf. Salah satu puisinya dalam buku tersebut yaitu:  

Sajak Rembulan di atas Sebuah Kota, Setelah Penyerbuan

wajah sunyi mengernyit nyeri
rembulan bermahkota kawat besi berduri
langkah-langkah berat sepatu serdadu
beradu dingin lantai batu

rembulan bermahkota kawat besi berduri
wajahnya sunyi mengernyit nyeri
tersungkur sekarat menyayat pilu
di ujung sangkur berkarat sang serdadu

            Setelah melakukan pembacaan terhadap puisi di atas, saya menemukan satu makna inti dari banyak makna/tafsiran yang ada. Puisi tersebut lebih saya maknai sebagai keprihatian penulisnya (narator) terhadap sebuah kondisi setelah terjadi aksi dalam pengamatannya. Tentu yang menjadi objeknya adalah situasi sesudah terjadi penyerangan atau perang, yang dalam puisi tersebut terlihat pada potongan judul bagian akhir yakni “setelah penyerbuan”. Selanjutnya saya mencoba mengurai baris demi baris puisi di atas dari 8 baris keseluruhan yang terbagi dua bagian masing-masing 4 baris.
            Pada baris pertama wajah sunyi mengernyit nyeri. Pemahaman saya terhadap kalimat pembuka ini adalah ada gambaran situasi yang menunjukan keheningan dan rasa miris mencekam yang coba dideskripsikan penulisnya dalam puisinya. Dua hal yang saya liat yakni “sunyi” dan “nyeri”, jarang terjadi pada sebuah keadaan biasanya. Pada baris kedua rembulan bermahkota kawat besi berduri mengantarkan penerjemahan saya terhadap “rembulan” sebagai tanda keindahan/kecerahan/rupa yang saya pikir menunjuk pada seseorang (ada objek/tokoh), namun berubah menjadi tanda yang tak lazim yang ditunjukan dengan lanjutan kalimatnya bermahkota kawat besi berduri. Kemudian baris ketiga langkah-langkah berat sepatu serdadu dan baris terakhir pada bait pertama beradu dingin lantai batu. Saya mencoba menyatukan dua baris ini agar lebih cepat menemukan maknanya bahwa nuansa militer hadir dalam puisi ini sebagai bagian dari hubungan pada baris-baris awal pada puisi ini. Umumnya kita tahu bahwa serdadu dengan sepatu laras khasnya yang dihentakkan meski pada lantai batu sekalipun akan menimbulkan efek bunyi yang seolah juga menghentak telinga kita. Rangkain ini semakin menunjukan suasana yang sedikit mencekam dalam puisi ini dan penggambaran terhadap sebuah suasana pun makin nampak.
Melangkah pada pemaknaan selanjutnya yakni bait kedua yang juga terdiri atas empat baris. Baris pertama rembulan bermahkota kawat besi berduri kalimat yang diulang namun semakin menguatkan adanya sasaran penggambaran penulisnya dalam puisi ini. Selanjutnya dikuatkan pada baris kedua wajahnya sunyi mengernyit nyeri. Kata “wajahnya” perlu diketahui bahwa ada sesorang yang ditunjuk dalam puisi ini, namun mengarahkan pada siapa juga tidak terlalu jelas dan saya hanya bisa menerka-nerka tanpa kejelasan pula. Kemudian tersungkur sekarat menyayat pilu dan di ujung sangkur berkarat sang serdadu, tokoh yang samar dalam puisi ini saya asumsikan sebagai korban dalam penyerbuan. Dia tewas terbunuh yang ditunjukan dengan baris terakhir di ujung sangkur berkarat sang serdadu. Ada yang terbunuh dalam penyerbuan di sebuah kota oleh serdadu.
Jadi, ada sesuatu hal yang ingin diungkapkan oleh penulisnya dalam puisinya. Mendeskripsikan apa yang diamatinya menjadi sebuah puisi. Saya melihat ada pengalaman yang bisa berupa fakta atau hanya karena mendengar yang kemudian puisi ini lahir menjadi sebuah puisi yang sangat menarik pengungkapannya. Bahasanya metaforis tetapi masih bisa dengan mudah diartikan.




Ulasan Puisi: Hendrawgunawan S. Thayf Statistik Korban

            Sebuah karya sastra tidak lepas dari keterlibatan pembaca. Pembaca dalam hal ini sebagai penikmat karya sastra. Puisi sebagai hasil dari karya sastra juga memiliki banyak pembaca. Aspek pembaca dalam puisi berkaitan dengan masalah pemaknaan terhadap puisi, yang tentu kita pahami bersama bahwa puisi memiliki tingkat pemaknaan yang cukup beragam, terlebih puisi yang bersifat bebas dengan segala bentuk dan isinya pula.
            Proses menemukan makna sebuah puisi yang ditempuh pembaca juga tergantung pembacanya. Tingkat pengetahuan pembaca dalam memaknai puisi juga sangat menentukan hasil dari pemaknaan tersebut. Artinya, kualitas memaknai sebuah puisi dikembalikan pada pembaca. Berangkat dari pemahaman di atas, saya sendiri sebagai pembaca/penikmat puisi yang pemula dalam hal menemukan makna sebuah karya sastra puisi masih menggunakan penafsiran sendiri yang tentu terlepas dari banyak teori, pendekatan, dan metode. Wujud dari keinginan memaknai sebuah puisi, saya coba lakukan dengan mencoba memaknai puisi karya Hendragunawan S. Thayf  “Statistik Korban” dalam sebuah jurnal puisi rumahlebah ruang puisi #02/2009. Sebagai bentuk latihan dan proses awal menuju cara memaknai puisi, saya cukup tertarik dengan puisi ini. Kata-kata yang sederhana namun sarat/penuh akan makna dan lebih mudah mendapatkan maknanya. Berikut ulasan sederhana yang coba saya deskripsikan:
           
Statistik Korban

1000 tewas oleh bencana
dan warga dunia guncang karenanya
seorang pengemis terbujur ditutupi koran
kita menyerahkannya pada dinas kebersihan

1000 nyawa dicabut secara masal
dan 1 nyawa meregang sepi di bangsal
tentu dengan berita yang pertama kita tersentak
dan Maut lantas jadi selebritas mendadak

karena dalam statistic negara
dan matematika demokrasi sederhana
1000 jelas lebih signifikan dan dominan
jika dengan hanya 1 dibandingkan
tetapi dalam timbangan keadilan
duka seorang atau pun 1000 kurban
sama besar dan beratnya
sama sedih dan sepinya

maka hormatilah
setiap tetes airmata yang tumpah
setiap titik darah dari luka
: ia keramat dan mulia

            Puisi Hendragunawan S. Thayf di atas terdiri atas 5 bait yang sekiranya mengikuti bentuk konvensional dan klasik yakni masing-masing tiap bait terdiri atas 4 baris. Rima yang dibangun juga kurang lebih mengikuti gaya yang sama. Dalam proses saya memaknai puisi ini saya tidak melihat baris demi baris tapi lebih pada bait per bait.

1000 tewas oleh bencana
dan warga dunia guncang karenanya
seorang pengemis terbujur ditutupi koran
kita menyerahkannya pada dinas kebersihan

            Bait pertama saya mencoba membaginya dua bagian yaitu “1000 tewas oleh bancana, dan warga dunia diguncang karenanya” dan  “seorang pengemis terbujur ditutupi koran, kita menyerahkannya pada dinas kebersihan”. Bagian pertama saya mengertikannya sebagai sesuatu terlah terjadi (ada kejadian) yang ditanda dengan kata “bencana”, lebih jauh saya melihatnya sebagai malapetaka alam yang dahsyat. Bagian kedua saya menerjemahkan bahwa penulis puisi tentu melihat kejadian langsung tersebut dengan ditunjukan ada fakta yakni “seorang pengemis” yang terbujur meninggal dan lazim kejadian seperti ini yang mengambil peran adalah para petugas kebersihan dalam membersihkan tempat-tempat yang menjadi sasaran bencana.
            Selanjutnya pada bait kedua:

1000 nyawa dicabut secara masal
dan 1 nyawa meregang sepi di bangsal
tentu dengan berita yang pertama kita tersentak
dan Maut lantas jadi selebritas mendadak

            Bait kedua ini memperkuat bait pertama dengan menggambarkan bagaimana seribu nyawa hilang karena bencana namun ada satu fakta yang unik dari bait ini bahwa dari sekian banyak korban ada seorang korban yang menjadi titik sentral penulis dalam menggambarkan isi puisinya di mana maut digambarkan seolah menjadi “selebritas mendadak” dikenal banyak orang sebagai hal yang tak bisa dibendung dan dihalangi datangnya.
            Di bait ketiga saya tidak melakukan penyelaman lebih terhadap makna karena saya melihat pada bait ini hanya menekankan perbandingan bagaimana luar biasanya seribu nyawa hilang dibandingkan dengan satu nyawa yang hilang.
            Selanjutnya pada bait keempat, penggambaran suasana bagaimana efek atau dampak dari kehilangan orang yang dilahap maut sungguh pedih, sedih rasanya. Ini tergambar pada deret kata-katanya.
tetapi dalam timbangan keadilan
duka seorang atau pun 1000 kurban
sama besar dan beratnya
sama sedih dan sepinya

Kemudian dipertegas pada bait terakhir (bait kelima). Sebuah pesan yang tentu tersirat pada bait ini:
maka hormatilah
setiap tetes airmata yang tumpah
setiap titik darah dari luka
: ia keramat dan mulia

Kata “keramat dan mulia” menunjuk pada satu titik temu dari air mata dan darah. Dua hal yang cukup menggetarkan rasa kemanusiaan kita jika dua hal ini terjadi secara masal dan secara tiba-tiba.
            Demikianlah saya coba memaknai puisi “Statistik Korban” karya Hendragunawan S. Thayf  ini. Cukup kental angka-angka statistik dalam puisi ini yang coba dihubungkan dengan banyak aspek keilmuan penulisnya. Dominan dua adalah perbandingan dua bentuk angka yakni 1 dan 1000. Selanjutnya ini menjadi uraian sederhana, berkesan, dan menyentuh.




You Might Also Like

0 comments: