Ulasan Singkat Puisi Leon Agusta - Doa Pengembara
Puisi merupakan
salah satu genre (jenis) karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat
cepat. Jika dulu kita masih sangat terikat dengan bentuk puisi lama yang begitu
konvensional kini perlahan bahkan lazim kita menjadi bebas dengan semua
keterikatan pada konteks berpuisi terdahulu. Lebih tepatnya sekarang dikatakan
dengan puisi bebas, di mana sudah tidak ada lagi pembatasan pada bentuk yang
harus di ikuti. Selain itu, juga pada aspek isi. Kesan bebas sepertinya
mengilhami banyak penulis puisi untuk bereksplorasi dengan puisi dewasa ini.
Kebebasan dalam
berpuisi misalnya ditunjukan dengan bentuk puisi yang pendek (sajak pendek)
atau pun puisi yang berupa cerita atau narasi panjang dengan muatan makna yang
banyak pula tentunya. Jika puisi panjang sering diidentikkan dengan kemudahan
dalam memaknainya, maka sebaliknya puisi yang tergolong puisi/sajak pendek
biasanya menjadi misteri dan sangat klise
(buram) dalam menemukan maknanya. Ini disebabkan karena wujud dari kata-kata
yang singkat dan padat boleh jadi sangat susash untuk memaknainya dan mecoba
menemukan makna yang sesungguhnya.
Berikut
ini saya mencoba mengulas atau mencoba menemukan makna dari sajak pendek yakni
sajak dari Leon Agusta “Doa Pengembara” dalam jurnal puisi rumahlebah ruang
puisi #02/2009. Puisi ini cukup menarik perhatian saya untuk lebih jauh
menggali makna sajak ini. Tentu sangat sulit menemukan makna sesungguhnya dari
puisi ini, tetapi setidaknya saya dapat memaknai dengan interpretasi sendiri
sebagai pembaca atau penikmat puisi, di mana pembaca memiliki kebebasan penuh
untuk memaknai sendiri sebuah sajak dan menemukan sendiri makna sebuah sajak.
Berikut ulasan pemaknaan saya yang cukup sederhana:
Doa Pengembara
Telaga
Suci
Permandian
rahasia dan terlarang
Akankah
takdirku akan berlabuh di sana?
090309
Puisi
“Doa Pengembara” karya Leon Agustaf di atas hanya dibangun oleh tiga baris
yakni telaga suci, permandian rahasia dan terlarang, dan akankah takdirku akan berlabuh di sana?.
Pertama kali membaca puisi ini dan beberapa kali mengulangnya, sangat sulit
rasanya mencari-cari maknanya. Kemampuan saya hanya bisa menebak-nebak karena
petunjuk sederhana menuju pemaknaan terhadap sajak ini tidak ada. Namun, dengan
sedikit bertitik pada judul dan menghubungkan dengan bagian per bagian baris
puisi ini, setidaknya saya mampu memberikan interpretasi atau penafsiran. Bahwa
puisi ini merupakan puisi yang menggambarkan suasana batin si aku lirik (takdirku). Pada dasarnya puisi ini
secara pribadi saya sudah mengarahkan pemaknaan sejak pada judul. “Doa Pengembara”
mendekatkan pemahaman kita pada perasaan bagaimana seorang pengembara sikapnya
terhadap keadaan hidup, harapan dan masalah yang silih berganti menguatkan saya
menafsirkan puisi ini.
Selanjutnya
pada baris pertama, //telaga suci// sebagai bagian dari langkah kedua mengggali
makna dengan menunjukan hubungan atau keterkaitannya dengan judul. Saya
menemukan makna lain “telaga suci” sebagai surga bagi seorang hamba Tuhan yang
senantiasa mengembara dan mencari jati diri sesungguhnya dengan menempuh jalan
panjang kebaikan. Hal ini pula ditunjukan dengan baris kedua //permandian
rahasia dan terlarang//. Ini menguatkan keadaan surga sebagai tempat yang
disucikan dan didambakan banyak pengembara. Rahasia dan terlarang adalah garis
batas kejahatan dan keburukkan untuk masuk dalam “telaga suci” yang saya sebut
sebagai “surga” tadi. Dan ditutup dengan baris terakhir yang menjadi penutup
dari pemaknaan saya yakni //akankah takdirku akan berlabuh di sana?//. Baris
ini semakin mempertegas keterkaitannya dengan judul. Kata “akankah” lazim
digunakan sebagai bentuk pengharapan dan doa bagi seorang hamba Tuhan dan
“berlabuh di sana” menunjuk pada telaga suci yang menjadi objek akhir pencarian
(doa) seorang pengembara.
Demikianlah
kiranya pemaknaan saya terhadap puisi Leon Agustaf ini. Makna yang saya temukan
adalah harapan dan doa seorang pengembara akan surga Tuhan yang begitu suci dan
terlarang bagi seorangpun yang berniat jahat dan tempat tersebut menjadi rahasia
pemilik-Nya. Tentu ini pada perspektif dan penafsiran saya akan makna di balik
puisi “Doa Pengembara” karya Leon Agustaf. Lebih jauh orang akan berbeda dalam hal menginterpretasikannya
sebagai kewajaran dalam sebuah proses pembacaan terhadap sebuah puisi.
Mengulas Puisi:
Hendragunawan
S. Thayf Sajak Rembulan di atas Sebuah
Kota, Setelah Penyerbuan
Dalam proses
memaknai sebuah puisi, kita akan banyak menemukan banyak perbedaan dan banyak
cara pembaca memaknai karya sastra puisi. Ketika puisi ditulis dan dibaca oleh
pembaca maka sesungguhnya puisi tersebut sudah menjadi milik pembaca. Pembaca
kemudian bisa memaknainya dengan caranya masing-masing. Tidak adanya aturan
dalam memaknai puisi dapat menjadi pegangan bagi setiap pembaca untuk “bermain-main”
dengan makna yang muncul dari sebuah hasil pembacaan. Berikut ulasan sederhana
saya terhadap karya sastra puisi dari seorang penyair dalam kumpulan puisi
rumahlebah ruang puisi #02/2009 yakni Hendragunawan. S. Thayf. Salah satu
puisinya dalam buku tersebut yaitu:
Sajak
Rembulan di atas Sebuah Kota, Setelah Penyerbuan
wajah sunyi mengernyit nyeri
rembulan bermahkota kawat besi
berduri
langkah-langkah berat sepatu
serdadu
beradu dingin lantai batu
rembulan bermahkota kawat besi
berduri
wajahnya sunyi mengernyit nyeri
tersungkur sekarat menyayat pilu
di ujung sangkur berkarat sang
serdadu
Setelah
melakukan pembacaan terhadap puisi di atas, saya menemukan satu makna inti dari
banyak makna/tafsiran yang ada. Puisi tersebut lebih saya maknai sebagai keprihatian
penulisnya (narator) terhadap sebuah kondisi setelah terjadi aksi dalam
pengamatannya. Tentu yang menjadi objeknya adalah situasi sesudah terjadi
penyerangan atau perang, yang dalam puisi tersebut terlihat pada potongan judul
bagian akhir yakni “setelah penyerbuan”. Selanjutnya saya mencoba mengurai
baris demi baris puisi di atas dari 8 baris keseluruhan yang terbagi dua bagian
masing-masing 4 baris.
Pada
baris pertama wajah sunyi mengernyit
nyeri. Pemahaman saya terhadap kalimat pembuka ini adalah ada gambaran
situasi yang menunjukan keheningan dan rasa miris mencekam yang coba
dideskripsikan penulisnya dalam puisinya. Dua hal yang saya liat yakni “sunyi”
dan “nyeri”, jarang terjadi pada sebuah keadaan biasanya. Pada baris kedua rembulan bermahkota kawat besi berduri
mengantarkan penerjemahan saya terhadap “rembulan” sebagai tanda
keindahan/kecerahan/rupa yang saya pikir menunjuk pada seseorang (ada
objek/tokoh), namun berubah menjadi tanda yang tak lazim yang ditunjukan dengan
lanjutan kalimatnya bermahkota kawat besi
berduri. Kemudian baris ketiga langkah-langkah
berat sepatu serdadu dan baris terakhir pada bait pertama beradu dingin lantai batu. Saya mencoba
menyatukan dua baris ini agar lebih cepat menemukan maknanya bahwa nuansa
militer hadir dalam puisi ini sebagai bagian dari hubungan pada baris-baris
awal pada puisi ini. Umumnya kita tahu bahwa serdadu dengan sepatu laras
khasnya yang dihentakkan meski pada lantai batu sekalipun akan menimbulkan efek
bunyi yang seolah juga menghentak telinga kita. Rangkain ini semakin menunjukan
suasana yang sedikit mencekam dalam puisi ini dan penggambaran terhadap sebuah
suasana pun makin nampak.
Melangkah pada
pemaknaan selanjutnya yakni bait kedua yang juga terdiri atas empat baris.
Baris pertama rembulan bermahkota kawat
besi berduri kalimat yang diulang namun semakin menguatkan adanya sasaran
penggambaran penulisnya dalam puisi ini. Selanjutnya dikuatkan pada baris kedua
wajahnya sunyi mengernyit nyeri. Kata
“wajahnya” perlu diketahui bahwa ada sesorang yang ditunjuk dalam puisi ini,
namun mengarahkan pada siapa juga tidak terlalu jelas dan saya hanya bisa
menerka-nerka tanpa kejelasan pula. Kemudian tersungkur sekarat menyayat pilu dan di ujung sangkur berkarat sang serdadu, tokoh yang samar dalam puisi
ini saya asumsikan sebagai korban dalam penyerbuan. Dia tewas terbunuh yang
ditunjukan dengan baris terakhir di ujung
sangkur berkarat sang serdadu. Ada yang terbunuh dalam penyerbuan di sebuah
kota oleh serdadu.
Jadi, ada
sesuatu hal yang ingin diungkapkan oleh penulisnya dalam puisinya.
Mendeskripsikan apa yang diamatinya menjadi sebuah puisi. Saya melihat ada
pengalaman yang bisa berupa fakta atau hanya karena mendengar yang kemudian
puisi ini lahir menjadi sebuah puisi yang sangat menarik pengungkapannya.
Bahasanya metaforis tetapi masih bisa dengan mudah diartikan.
Ulasan Puisi: Hendrawgunawan S. Thayf Statistik Korban
Sebuah
karya sastra tidak lepas dari keterlibatan pembaca. Pembaca dalam hal ini
sebagai penikmat karya sastra. Puisi sebagai hasil dari karya sastra juga
memiliki banyak pembaca. Aspek pembaca dalam puisi berkaitan dengan masalah
pemaknaan terhadap puisi, yang tentu kita pahami bersama bahwa puisi memiliki
tingkat pemaknaan yang cukup beragam, terlebih puisi yang bersifat bebas dengan
segala bentuk dan isinya pula.
Proses
menemukan makna sebuah puisi yang ditempuh pembaca juga tergantung pembacanya.
Tingkat pengetahuan pembaca dalam memaknai puisi juga sangat menentukan hasil
dari pemaknaan tersebut. Artinya, kualitas memaknai sebuah puisi dikembalikan
pada pembaca. Berangkat dari pemahaman di atas, saya sendiri sebagai
pembaca/penikmat puisi yang pemula dalam hal menemukan makna sebuah karya
sastra puisi masih menggunakan penafsiran sendiri yang tentu terlepas dari
banyak teori, pendekatan, dan metode. Wujud dari keinginan memaknai sebuah
puisi, saya coba lakukan dengan mencoba memaknai puisi karya Hendragunawan S.
Thayf “Statistik Korban” dalam sebuah
jurnal puisi rumahlebah ruang puisi #02/2009. Sebagai bentuk latihan dan proses
awal menuju cara memaknai puisi, saya cukup tertarik dengan puisi ini.
Kata-kata yang sederhana namun sarat/penuh akan makna dan lebih mudah
mendapatkan maknanya. Berikut ulasan sederhana yang coba saya deskripsikan:
Statistik
Korban
1000 tewas oleh bencana
dan warga dunia guncang karenanya
seorang pengemis terbujur ditutupi koran
kita menyerahkannya pada dinas kebersihan
1000 nyawa dicabut secara masal
dan 1 nyawa meregang sepi di bangsal
tentu dengan berita yang pertama kita tersentak
dan Maut lantas jadi selebritas mendadak
karena dalam statistic negara
dan matematika demokrasi sederhana
1000 jelas lebih signifikan dan dominan
jika dengan hanya 1 dibandingkan
tetapi dalam timbangan keadilan
duka seorang atau pun 1000 kurban
sama besar dan beratnya
sama sedih dan sepinya
maka hormatilah
setiap tetes airmata yang tumpah
setiap titik darah dari luka
: ia keramat dan mulia
Puisi
Hendragunawan S. Thayf di atas terdiri atas 5 bait yang sekiranya mengikuti
bentuk konvensional dan klasik yakni masing-masing tiap bait terdiri atas 4
baris. Rima yang dibangun juga kurang lebih mengikuti gaya yang sama. Dalam
proses saya memaknai puisi ini saya tidak melihat baris demi baris tapi lebih
pada bait per bait.
1000 tewas oleh bencana
dan warga dunia guncang karenanya
seorang pengemis terbujur ditutupi koran
kita menyerahkannya pada dinas kebersihan
Bait
pertama saya mencoba membaginya dua bagian yaitu “1000 tewas oleh bancana, dan
warga dunia diguncang karenanya” dan
“seorang pengemis terbujur ditutupi koran, kita menyerahkannya pada
dinas kebersihan”. Bagian pertama saya mengertikannya sebagai sesuatu terlah
terjadi (ada kejadian) yang ditanda dengan kata “bencana”, lebih jauh saya
melihatnya sebagai malapetaka alam yang dahsyat. Bagian kedua saya menerjemahkan
bahwa penulis puisi tentu melihat kejadian langsung tersebut dengan ditunjukan
ada fakta yakni “seorang pengemis” yang terbujur meninggal dan lazim kejadian
seperti ini yang mengambil peran adalah para petugas kebersihan dalam
membersihkan tempat-tempat yang menjadi sasaran bencana.
Selanjutnya
pada bait kedua:
1000 nyawa dicabut secara masal
dan 1 nyawa meregang sepi di bangsal
tentu dengan berita yang pertama kita tersentak
dan Maut lantas jadi selebritas mendadak
Bait
kedua ini memperkuat bait pertama dengan menggambarkan bagaimana seribu nyawa
hilang karena bencana namun ada satu fakta yang unik dari bait ini bahwa dari
sekian banyak korban ada seorang korban yang menjadi titik sentral penulis
dalam menggambarkan isi puisinya di mana maut digambarkan seolah menjadi
“selebritas mendadak” dikenal banyak orang sebagai hal yang tak bisa dibendung
dan dihalangi datangnya.
Di
bait ketiga saya tidak melakukan penyelaman lebih terhadap makna karena saya
melihat pada bait ini hanya menekankan perbandingan bagaimana luar biasanya
seribu nyawa hilang dibandingkan dengan satu nyawa yang hilang.
Selanjutnya
pada bait keempat, penggambaran suasana bagaimana efek atau dampak dari
kehilangan orang yang dilahap maut sungguh pedih, sedih rasanya. Ini tergambar
pada deret kata-katanya.
tetapi dalam timbangan keadilan
duka seorang atau pun 1000 kurban
sama besar dan beratnya
sama sedih dan sepinya
Kemudian
dipertegas pada bait terakhir (bait kelima). Sebuah pesan yang tentu tersirat
pada bait ini:
maka hormatilah
setiap tetes airmata yang tumpah
setiap titik darah dari luka
: ia keramat dan mulia
Kata “keramat
dan mulia” menunjuk pada satu titik temu dari air mata dan darah. Dua hal yang
cukup menggetarkan rasa kemanusiaan kita jika dua hal ini terjadi secara masal
dan secara tiba-tiba.
Demikianlah
saya coba memaknai puisi “Statistik Korban” karya Hendragunawan S. Thayf ini. Cukup kental angka-angka statistik dalam
puisi ini yang coba dihubungkan dengan banyak aspek keilmuan penulisnya.
Dominan dua adalah perbandingan dua bentuk angka yakni 1 dan 1000. Selanjutnya
ini menjadi uraian sederhana, berkesan, dan menyentuh.
0 comments: