MANUSIA DAN KEBUDAYAAN: ETNIK MUNA
Suatu daerah tentu
lahir dari rahim budaya yang begitu beragam dengan keunikan dan kekhasan masing
sebagai wujud khasanah budaya. Sulawesi Tenggara sebagai kawasan wilayah Timur
Indonesia juga memiliki potensi budaya dari ragam etnik/suku yang ada,
diantaranya Muna, Bugis, Buton, dan Tolaki. Masing-masing daerah membawa
karakteristik budaya yang unggul dan berbeda dengan etnik lain di tiap daerah.
Berikut disajikan keunggulan budaya yang khas dan potensial salah satu daerahnya
yaitu etnik Muna. Aspek budayanya mencakup asal-usul dan adat istiadat, sopan
santun dan ucapan salam sebagai bentuk dari kearifan lokal, aneka kesenian,
permainan tradisional, pakaian daerah, rumah adat, aneka makanan tradisional,
perayaan, serta cerita rakyat.
1.
Asal-Usul dan Adat Istiadat
Kata Muna berasal dari
kata “Wuna” yang artinya “Bunga”. Sebutan nama “Wuna” berdasarkan pada penemuan
“Kontu kowuna” (batu berbunga) yang terletak di kota Wuna, yaitu 22 km sebelah
selatan kota Raha Ibu kota kabupaten Muna. Batu tersebut berbentuk kecurut,
besarnya seperti sebuah rumah dengan tinggi 7 m dari permukaan tanah. Bagian
sekelilingnya sampai permukaan bagian atas ditumbuhi semacam bungan berwarna
putih dan berumpun dan sangat indah tampaknya. Itulah sebabnya Pulau Muna biasa
disebut juga “Witeno Wuna” artinya “Tanah Muna”.
Ketika Belanda mulai
menanamkan pengaruh kekuasaannya di Muna tahun 1906 sebutan Wuna “diganti
dengan “Muna” yang disesuaikan dengan ucapan atau lidah orang Belanda, dimana
sebutan konsonan “W” menjadi “M”. Sejak itulah sebutan Muna menjadi populer dan
secara umum digunakan oleh masyarakat, terutama orang asing atan yang berasal dari luar daerah muna.
Walaupun demikian penduduk asli Pulau Muna, sebutan “Wuna” tidak hilang,
melainkan tetap digunakan dalam percakapan sehari-hari terutama sesame orang
Muna.
Perlu ditambahkan pula
bahwa disebelah Utara tempat batu berbungan ( 300m) terdapat bangunan masjid
tua yang dikenal sebagai masjid pertama yang didirikan di Pulai Muna. Letak
masjid tersebut sangat strategis berada pada ketibggian ± 1.000 m diatas
permukaan laut maka nampak seakan-akan dikelilingi oleh lautan. Tidak heran
tempat tersebut biasa disebut pula sebagai pusat kota Muna.
Berdasarkan
sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa pulau Muna telah dihuni manusia sejak
zaman pra sejarah. Bukti-bukti tentang adanya kehidupan pada zaman itu antara
lain didasarkan pada penemuan gambar-gambar atau lukisan digua Metanduno, Liang
Kobori, Gua Toko, terdapat didesa balo kecamatan katobu.
Pada dinding gua-gua
tersebut terdapat lukisan gambar orang berburu babi, gambar matahari, dll.
Adanya lukisan orang berburu babi. Menggambarkan cirri kehidupan/mata
pencahariab manusia pada zaman pra sejarah. Adanya gambar/lukisan matahari
menggambarkan cirri kehidupan manusia yang memuja pada dewa matahari. Selain
itu ditemukan pula lukisan manusia yang sedang mengendarai kuda dengan memegang
tombak, yang diduga binatang yang digunakan untuk berburu adalah kuda dengan
bersenjatakan tombak.
Berdasarkan urutan
diatas maka dapat disimpulkan bahwa : penghuni pulau Muna pertama bukan berasal
dari Luwu/sawerigading sebagaimana diungkapkan oleh sebagian orang Muna dalam
tradisi sejarah yang diwariskan secara
turun-temurun. Berbicara tentang asal-usul penduduk pulau Muna sebenarnya harus
didasarkan atas migrasi rumpun bangsa Malayu Austronesia dari daerah Yunan
(Cina selatan) ke Nusantara.
Karena dari perpindahan
bangsa Malayu Austronesia tersebut, kemudian menjadi cikal bakal penghuni
pertama kepulauan nusantara. Sudah tentu hal tersebut didasarkan pula pada
jenis-jenis kebudayaan Nusantara yang pertama, dimana sisa-sisanya
tersebar/terdapat diberbagai daerah dari batas sampai timur.
Berdasarkan penelitian
para ahli purbakala disimpulkan bahwa penduduk pulau Muna adalah bagian yang
tak terpisahkan dari persebaran penduduk pertama yang mendiami kepulauan
Nusantara yaitu ras Mongoloid dan ras Austro melanesoid.
Adapun proses
persebarannya hingga sampai dipulau Muna dan pulau Bution dan sekitarnya,
menurut Prof. Rustam E. Tamburaka melalui dua arah dan empat gelombang. Pertama
: dari arah utara terdiri dari atas tiga gelombang perpindahan yaitu :
gelombang pertama dan kedua ras mongoloid dan cina selatan dan dari kepulauan
Riukyu di Jepang melalui Vietnam, kepulauan Filiphina, Mindanao, Sulawesi
Utara, Halmahera, Sulawesi bagian Timur, laut masuk didaratan Sulawesi Tenggara
terus kepulau Muna dan Buton serta pulau-pulau sekitarnya. Perpindahan
gelombang ketiga yang oleh Dr. Alb. Kruyt disebut gelombang deutro Melayu, juga
dari Utara dan dating di Sulawesio Tenggara melalui Danan Towuti. Kedua
: perpindahan gelombang keempat yaitu ras Austro Melanesoid dari Australia
Utara. Mereka melalui kepulauan Maluku Tenggara, Irian Jaya bagian Selatan,
Nusa Tenggara Timur lalu memasuki Pulau Buton, Pulau Muna dan sekitarnya.
Rustam E Tamburaka
lebih melihat cirri-ciri fisik anthropologis seperti : Cephali Indeks (bentuk
ukuran tengkorak kepala termasuk volume taknya mata agak bulat dengan kening
agak tebal, rambut hitam keriting, warna kulit agak gelap/coklat, tinggi badan
rata-rata 160 cm), maka etnis Muna dan Buton didominasi oleh ras Austro
Melanesoid walaupun sudah bercampur dengan ras Mongoloid (Rustam E. Tamburaka
dalam Profil kependudukan Sulawesi Tenggara 1989 : 14).
Dengan demikian,
tradisi masyarakat Muna yang mengatakan bahwa penghuni pertama pulau Muna atau
nenek moyang pertama berasal dari rombongan Sawerigading (Luwu) yang perahunya
kandas didaratan Muna, adalah kurang serasi dengan fakta sejarah. Sebab kisah
kandasnya perahu Sawerigading disebutkan terjadi sekitar abad XIV suatu yang
tidak logis bila dikatakan bahwa Pulau Muna nanti mulai dihuni manusia pada
abad XIV.
Nilai-nilai budaya
suatu bangsa merupakan khasanah kekayaan bangsa atau daerah. Indonesia sebagai
bangsa memiliki potensi kaenekaragaman budaya. Salah satunya adalah budaya
masyarakat Muna. Budaya Muna sebagai objek akan menjadi lemah apabila proses
pewarisannya hanya dilakukan melalui penuturan cerita, pandengaran dan
pandangan mata. Oleh karena itu budaya muna tidak harus hanya sebatas cerita
tetapi dapat dibaca dalam dokumen, hal ini akan menjadi solusi terbaik untuk
menjaga degradasi nilai-nilai budaya masyarakat Muna. Ada beberapa macam jenis
budaya yang digunakan dalam masyrakat Muna salah satunya adalah ‘Upacara Adat
Kariya’.
Kariya
adalah upacara adat bagi masyarakat Muna yang pertama diadakan pada masa
pemerintahan Raja La Ode Husain yang bergelar Ompute Sangia terhadap putrinya
yang bernama Wa Ode Kamomo Kamba. Menurut kaidah bahasa Muna bahwa karia berasal
dari kata ‘kari’ yang artinya: (1)
sikat atau pembersih: (2)penuh atau sesak. Pemaknaan dari simbolik nokari atau
penuh, bahwa perempuan yang dikariya telah penuh pemahamannya terhadap materi
yang disampaikan oleh pemangku adat atau toko agama, khususnya seluk beluk yang
berkaitan dengan rumah tangga. Sedangkan makna secara kongkrit bahwa kata
kariya (Muna) berarti ribut atau keributan dan kariya adalah ramai atau
keramaian.
Pendekatan
secara filosofis jika ditinjau dari aspek filologi bahwa kariya berarti ribut,
ramai dan keramaian benar adanya karena dalam pelaksanaan upacara adat kariya
tidak hanya berdiri sendiri sebagai suatu acara tutura, akan tetapi lengkap
pelaksanaannya jika dibarengi dengan tradisi-tradisi lainnya sehingga acara itu
menjadi sakral dan lengkap prosesnya. Dalam acara kariya dimana sang gadis
selama empat hari empat malam ditempa
dalam sebuah tempat tertutup (songi atau sua). Untuk menhilangkan stres para
gadis dalam tempat itu maka diselingi dengan acara-acara lain yaitu : rambi
Wuna, rambi Padangga, Mangaro yaitu acara sandiwara perkelahian. Selama para
gadis dalam songi atau sua, acara rambi wuna, rambi padangga, mangaro
senantiasa didemonstrasikan oleh orang-orang yang telah dipilih dan ditetapkan
secara adat.
Dalam
acara tersebut mungkin orang-orang akan bertanya, mengapa harus pukul Gong atau
rambi wuna yang harus ditampilkan? Menjawab pertanyaan itu akan dideskripsikan
sebagai berikut : Pertama : Jenis rambi seperti itu bersifat ajakan bagi setiap
orang yang mendengarnya untuk hadir di tempat pelaksanaan upacara adat kariya
agar suasana senantiasa ramai. Kadua : Ditetapkan secara adapt untuk melakukan
demonstrasi rambi padangga adalah merupakan ciri khas yang dapat memberi
isyarat kepada semua orang yang menyaksikan upacara tersebut sebagai suasana
kekerabatan sehingga walaupun orang jauh datang beramai-ramai di tempat itu..
Proses
ini dilakukan dengan harapan bahwa seorang wanita ketika telah diisyarati
dengan ritual kariya maka dianggap lengkaplah proses pembersihan diri secara
hakiki. Kepercayaan masyarakat Muna bahwa upacara ritual kariya manjadi
kewajiban bagi setiap orang tua yang memiliki anak perempuan. Karena itu proses
pembersihan diri me;lalui ritual kariya menjadi tanggung jawab orang tua. Hal
itu dapat dipandang secara teoritis bahwa pembersihan diri tidak hanya
dilakukan dengan air tetapi sesuai pula dengan konsepsi adapt dan agama bahwa
pembersihan diri dapat dilakukan dengan cara lain yaitu melalui ritual kariya.
Kariya
juga menjadi suatu media pendidikan yang
menurut teori pendidikan, dimana ada dua metode yang dianggap efektif yaitu (1)
Charakter building, (2) titilasi. Melalui character building manusia digembleng
watak dan mentalnya sehingga muncul rasa percaya diri yang kokoh,sedangkan
titilasi merupakan pembinaan minat agar bangkit gairah untuk mengetahui dirinya
sendiri. Implementasi ke dua teori tersebut dapat dilihat pada prosesnya. Di
mana didalam sangi atau sua para gadis diatur makan, minum dan jam tidurnya dan
itu merupakan salah satu pembinaan hidup dalam kesederhanaan. Sebenarnya proses
terpenting dalam acara kariya adalah merupakan pembentukan diri untuk melawan
musuh terbesar dalam hidupnya yaitu hawa nafsu.
Kariya
sebagai upacara peresmian atau pelantikan erupakan proses kejadian manusia dari
suatu tahapan kehidupan ketahapan
berikutnya, dikenal dengan kronologi
Insiasi. Istilah ini berasal dari bahasa latin “Initiatio” ndalam bahasa prancis disebut “rites de passage” dan dalam bahasa Inggris di sebut “Crisis rites”. Indikator yang menguatkan
bahwa kariya sebagai upacara peresmian atau pelantikan ditandai dengan model
pakaian yang dikenakan oleh peserta kariya. Pada bagian kepala disematkan Panto
(Mahkota) bagaikan putri ratu yang telah dilantik sebagai raja disebuah kerajaan. Oleh karena
itu cirri khas pakaian perempuan yang dikariya menunjukan ciri khas pakaian
kebesaran sesuai dengan golongan sosialnya masing-masing, misalnya Kaomu,
Walaka dan Maradhika.
Pelaksanaan
Upacara Adat Karia
A.
Proses
awal pelaksanaan Upacara Karia (Pingitan)
Karia atau pingitan
adalah salah satu bentuk kebudayaan masyarakat Muna yang tetap dilestarikan
sampai saat ini. Adapun proses awal dari pelaksanaannya adalah dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut :
1.
Kaalano
Oe Kaghombo (Pengambilan Air yang Dipingit)
Pengambilan air untuk
mengawali proses pelaksanaan upacara karia adalah mengambil air yang akan di
ghombo bersama peserta karia pingitan. Air tidak di ambil dalam rumah atau di
bak mandi, tetapi di rempat khusus untuk pengambilannya. Di masa lau air yang
dimaksud hanya bole di ambil di sebuah tempat yaitu kali laende, sebagaimana
yang diamanatkan oleh Raja Muna, Laode Maktubu Milano Wakaleleha (1903-1915)
bahwa kali laende dinobatkan sebagai air Al kausar, Tetapi dapat juga diambil
di kali/sungai lain yang airnya mengalir.
Pengambilan air
dilakukan oleh delegasi atau petugas khusus yang mengetahui seluk beluk tempat
itu yang dalam bahasa Muna dikenal dengan Kodasano (keturunan manusia yang
mendiami daerah sekitar wilayah itu).
Cara pengambilan air
tidak menggunakan sembarang alat misalnya : Kendi atau Jergen, tetapi menurut
ketentuan adapt di Muna bahwa alat ayng digunakan untuk mengambil air adalah
seruas bamboo (tombula) dengan kapasitas/volume air yang di ambil sesuai
kebutuhan.
2.
Kaalano
Bhansa (Pengambilan Mayang Pinang)
Dalam proses persiapan
pelaksanaan Kaghombo atau pingitan maka ada petugas yang telah diberi
kepercayaan untuk mengambil mayang pinang (Bhansa atau Bea). Etika
pengambilannya tidak boleh menoleh kekiri dan kekanan (konsentrasi) sehingga
walaupun ditanya tidak boleh menjawab. Oleh karena itu, pengambilannya hendak
memilih waktu yang hening. Pada saat memanjat pinang mayang tidak boleh
dijatuhkan tetapi harus dipegang sampai ditanah (Sido Thamrin:1997). Perlakuan
ini merupakan isyarat untuk mempertahankan mayang pinang agar tidak tersentuh
tanah dan tetap terjaga kesuciannya.
3.
Kaalano
Kamba Wuna (Pengambilan Kembang Kamba Wuna)
Pada hari yang sama
dilanjutkan dengan pengambilan kuncup bunga (Kamba Wuna) yang tak jauh tempatnya
dari pengambilan air. Pengambilan kuncup bunga juga dilakukan oleh petugas atau delegasi khusus yag disebut ‘Kodasano’
tetapi sekarang dapat diambil oleh petugas yang diberikan kepercayaan oleh
koparapuuna (Yang Punya Hajatan).
Apakah bunga ini benar
adanya atau dapat dikembangbiakan. Menurut Rosiman Tawid bahwa bunga ini dapat
diperoleh melalui pertapaan dimulut Gua Kamba Wuna oleh Kodasano. Selanjutnya
kuncup bunga diambil pada saat penyumpahan raja dan acara karia. Dalam
pelaksanaan upacara karia saat ini bunga ‘Kamba Wuna’ daapat diganti dengan
bunga-bunga lain yang wangi; misalnya bunga Siroja.
Setelah seluruh
perlengkapan siap selanjutnya diserahkan kepada pemandu (Pomantoto) untuk siap
dipergunakan pada acara kaghombo (yang dipingit). Bunga tersebut sebagai
wangi-wangian dalm suo atau songi. Filosofi dari bunga tersebut adalah simbolik
dari keempukan dianalogikan sama dengan bunga.
B.
Pelaksanaan
Kegiatan Karia (Pingitan)
Pelaksanaan kegiatan
inti dari upacara karia adal;ah proses penenpaan para gadis/ perempuan untuk
melewati 4 (empat) alam sebagai proses kejadian manusia sampai dilahirkan
dimuka bumi ini yaitu : (1) Alam arwa (2) alam Misal (3) alam Aj’sam (4) alam
Insani
Silogi proses
pemindahan dari satu alam ke alam yang lain hinggsa manusia dilahirkan bagaikan
kertas putih polos dan suci, dapat digambarkan dari prosesi pelaksanaan acara
kronologis dan Alfabel yaitu :
1.
Kafoluku
Kafoluku yaitu peserta
yang dimasukkan dalam tempat yang telah dikemas khusus rewmapt karia yang disebut
suo khusus bagi putri-putri raja dan songi untuk golongan masyarakat umum.
Prosesnya adalah sebagai berikut:
1. Pembacaan
doa oleh imam Kota Muna yang disertai dengan dulang.
2. Dimandikan
dengan air yang telah dibacakan doa oleh imam air terdiri atas dua tempat yaitu
oe modaino dan oe metaano.
3. Perangakat
yang dimasukkan ke dalam kaghombo atau pingitan yaitu :
1. Dua
buah palangga (tempat yang dibuat dari lidi pohon aren dalam bentuk anyaman)
2. Padjamara
(lampu tradisional Muna) yang tidak
dinyalakan
3. Polulu
(kampak) Kandole
4. Bongsano
Bea (kuncup bunga pinang dan kuncup bunga kelapa
5. Jagung
dan umbi-umbian yang merupakan simbolik kehidupan
6. Kapas
dan benang swebagai bahan sarung
7. Anyaman
daun kelapa yang masih muda (Bhale)
8. Tikar
yang terbuat dari daun agel (Ponda bale)
9. Kain
putih sebagai alas tikar ponda bhale merupakan symbol kesucian
10. Posisi
peserta berdasarkan urutan paling kanan adalah peserta dari anak yang mempunyai
hajatan acara dan selankutnya disusul oleh peserta yang lain.
2.
Proses
Kabansule
Yaitu proses perubahan
posisi yang dipingit. Awalnya posisis kepala sebelah barat dengan baring
menindis kanan selanjutnya posisinya dibalik kearah timur, ke dua tangan kanan
di bawah kepala tindis kiri. Filosofi dari proses ini adalah perpindahan dari
alam Arwah kea lam Aj’san. Kondisi ini konon katanya diibaratkan pada posisi
bayi yang masih berada dalam kandungan yang senantiasa bergerak dan berpindah
arah.
Mengawali proses
perpindahan itu ada kegiatan yang dilakukan oleh para peserta yaitu:
a. Semua
peserta kariya dikelilingkan lampu padjamara dan cermin ke kiri dan ke kanan,
ini isyrat bahwa ke depan peserta kariya diharapkan mendapatkan kehidupan yang
terang benderangsedangkan cermin adalah symbol kesungguhan dan keseriusan dalam
menghadapi tangtangan hidup dimasa depan
b. acara
rebut ketupat dan telur yang diambil dari belakang masing-masing dengan tidak
ada batas jumlahnya untuk dimakan.
3.
Proses
Kalempengi
Kalempengi
diawali dengan proses Debhalengke. Yaitu
membuka pintu kaghombo. Pada tahapan ini proses perpindahan dari alam Aj’san
kea lam insani. Para gadis dimandikan kemudian dirapikan rambut dan keningnya
(dibhindu) oleh petugas atau keluarga yang diserahi tugas. Semua bulu rambut
ditada pada piring yang berisi beras dan telur selanjutnya para peserta kariya
siap untuk dirias dengan model pakaian kariya yang disebut kalempengi.
4.
Kafosampu
(pemindahan peserta karia dari rumah ka panggung)
Pada hari ke empat
menjelang magrib para gadis pingitan siap dikeluarkan dari rumah dibawa
ketempat tertentu yang disebut Bhawono Koruma (panggung). Pada waktu mereka
diantar kepanggung para peserta tidak boleh menginjak atau menyentuh tanah dan
biasanya menggunankan bentangan kain putih dari rumah sampai ke panggung,
tetapi dapat pula digendong atau disoda/dipapa oleh dua orang laki-laki. Selain
itu para kariya tidak diperbolehkan membuka mata sebagai isyarat kekhusyuan
menuju tempat bertangdang dipanggung.
Di depan Bhawono Koruma
telah menunggu gadis-gadis lain yang telah dipilih dan diberi tanggung jawab
duduk berjejer dalam keadaan bersimpuh. Setelah pembacaan doa selesai barulah peserta kariya diperbolehkan membuka
matanya. Doa tersebut adalah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar para
peserta kariya dapat diberikan keimanan yang kuat dalam menjalani kehidupannya.
Gadis-gadis yang
mendapingi peserta kariya harus yang masih hidup ke dua orang tuanya. Mereka
bertugas memegang sulutaru (semacam pohon terang yang terbuat dari kertas
warna-warni dan dipuncaknnya dipasangkan lilin yang menyala). Hal ini
berlambangkan Nur Illahi yang akan menjadi penentu dalam hidup.
5.
Proses
Katandano Wite
Pada saat peserta yang
karia smpai ditempat/panggung diisyaatakan proses pemindahan alam, dari alam
missal ke alam insani. Katando wite adalah langkah ke empat dalam karia. Proses
ini diakukan oleh pegawai sarah yang diawali dari peserta yang paling kanan
duduknya, diatur berdasarkan urutan pertama adalah putri dari kopehano (yang
punya acara). Tanah yang digunakan untuk upacara tersebut diambil ditempat
khusus yaitu wadumapa kota Muna, tetapi dapat
juga diambil ditempat lain yang penting dapat dipastikan bahwa tempat
itu bersih dan suci.
Katandano wite yaitu
sentuhan tanah pada ubun-ubun, dahi dan selanjutnya seluruh persendian hingga
pada telapak kaki kepada para peserta yang dipingit dengan etika sebagai
berikut:
a. Pegawai
sarah mengambil tanah dari tempat yang telah disediakan (piring putih) kemudian
melakukan proses katandano wite (sentuhan tanah) dari ubun-ubun turun ke dahi
dengan menggambarakn huruf alif. Huruf alif adalah merupakan rahasia Tuhan yang
tersimpul pada manusia. Menurut Rosimin Tawid bahwa Proses katandano wite
digambarkan dengan huruf alif adalah merupakan isyarat bahwa peserta yang
dikaria (dipingit) telah digodok dan diisi secara sempurnah terutama yang
berkaitan dengan kehidupan berumah tangga dan pengenalan diri secara utuh.
b. Kabasano
Dhoa (Pembacaan Do’a)
c. Setelah
katandano wite selesai maka proses selanjutnya adalah pembacaan doa selamat
sebagai tanda syukur bahwa segsala kegiatan telah selesai dan mendoakan agar
peserta karia dan seluruh jajaran keluarga serta seluruh yang hadir dapat
menjalani kehidupan dimuka bumi penuh berkah dan tanggung jawab. Proses ini
dalam tradisi Muna disebut dengan Dhoa harasulu.
6.
Linda
Setelah rangkaian acara
selesai maka pomantoto (pemandu) melakuan tari Linda sebagai pendahuluan yang
kemudian disusul oleh peserta karia secara berurutan yang dimulai dari putri
tuan rumah (parapu/kopehano)dan seterusnya disusul oleh peserta yang lain
secara bergiliran berdasarka urutan duduknya. Linda ini disebut dengan Linda
setangke kulubea yang artinya hanya memutar dan bergerak di seputar tempatnya
saja. Tari Linda menjadi rangkaian dari pelaksanaan tutura karia karena: (1)
Linda merupakan simbolik dari tari kelahiran kembali, (2) Linda sebagai tari
kemenangan karena dalam proses karia mampu melewati tahapan demi tahapan.
Pada gadis pingitan
yang disebut “ Nekaria/Kasampu Moose” ketika membawakan tari Linda biasanya
diberikan hadiah oeh hadirin dan undangan yan dilemparkan diatas panggung.
Tetapi biasanya penari yang lebih awal melemparkan samba (Selendang sutra)
kepada keluarga dan yang dilempari wajib mengembalikan samba tersebut disertai
hadiah. Proses itu disebut dengan istilah “Kagholuno Samba” .
Pemaknaan tari Linda
yag dipertunjukan peserta karia dapat dimaknai dalam beberapa aspek yaitu ; (1)
Dari aspek estetika bahwa sebagai perempuan harus mampu menunjukkan kemampuan
sesuatu yang indah dan berseni sebagai lambang keempuan wanita yang
menggambarkan jiwanya yang halus, (2) Dari aspek kejuangan bahwa perempuan yang
dikaria telah mampu melampaui perjuangan melawan hawa nafsu dalam songi (3)
Dari aspek pembentukan keluarga, bahwa dalam pertunjukan tari Linda yang
dilakoni oleh peserta karia bisa terjadi sebagai langkah awal perkenalan antara
laki-laki dengan perempuan untuk kemudian saling jatuh cinta yang dipertalikan
dengan kaghol samba.
7.
Kahapui
(Membersihkan)
Esok harinya setelah
acara kafosampu diadakanlah acara kahapui, yaitu acara ritual pemotongan pisang
yang telah ditanam dan atau disiapkan dimuka rumah koparapuuno (kopehano). Pada
acara ini dilakukan pogala yang diiringi dengan bunyi gong dan gendang yang
berirama perang. Mengawali acara pagola, maka terlebih dahulu pomantoto
memecahkan periuk (belangah tanah) sabagai aba-aba untuk memulai pagola.
Peserta pagola mereka yang dilatih khusus atau memilki keterampilan silat
tradisional Muna. Para peserta penari pagola dan atau mengaro beraksi dan
saling berebut untuk memotong pisang lebih awal dan cara potonganya diusahakan
satu kali langsung putus.
8.
Kaghorono
Bhansa dan atau Kafolantono Bhansa
Sebagai penutup dari
rangkaian acara upacara karia adalah kaghorono bhansa dan atau kafolantono
bhansa. Waktunya tidak mengikat, boleh dilakukan sehari sesudah acara kahapui
dan boleh juga lebih dari itu, karena tergantung kesepakatan dan kesempatan
seluruh peserta karia dan keluarga. Tempat untuk melakukan acara tersebut pada
sebuah kali/sungai yang airnya mengalir. Pakaian para gadis yang dipingit yaitu
pakaian kalempangi yang diiringi oleh pomantoto, kedua orang tua, keluarga,
sanak saudara, handai tolan, pemuda dan pemudi yang bersimpati dengan iringan
gong dan gendang hingga tiba ditempat yang dituju.
Pada acara ini yang
difolanto atau yang dighoro adalah Mayang Pinang (bhansa) yang pada saat dalam
pingitan (kaghombo) dipakai untuk memukul-mukulkan badan kasampu Moose (peserta
karia)
Filosofi dari acara ini
adalah melepaskan segala etika buruk yang ada pada peserta karia. Tetapi oleh
orang tua di Muna hal ini menjadi isyarat: jodoh, nasib dan takdir peserta
karia. Walaupun disadari bahwa semua itu kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Bahasa:
Sopan Santun dan Ucapan Salam
Suatu daerah tentu
memiliki tradisi berbahasa yang santun terlebih lagi kita di daerah Sulawesi
Tenggara yang dikenal dengan adat ketimuran yang kental. Selain berbahasa, juga
dituntut sikap dan pola tindakan yang sopan. Masyarakat etnik Muna juga
mementingkan aspek ini. Dalam hal ini, ada aturan yang mesti kita taati baik
itu tertulis maupun tidak tertulis. Kesopanan ditentukan oleh situasi pada saat
bentuk-bentuk sapaan digunakan. Kesopanan ditentukan jika pemakaian
bentuk-bentuk sapaan sesuai dengan situasi alamiah dan norma-norma menurut
hubungan pembicara yang sesuai dengan aturan-aturan dalam suatu komunikasi.
Sebaliknya pemakaian bentuk-bentuk sapaan yang tidak sesuai dengan
aturan-aturan akan dianggap tidak sopan. Jika tidak ditentukan oleh kontak
situasi, kesopanan ditentukan oleh perbedaan derajat kesopanan yang berkaitan
dengan sperior atau imperior, jarak jauh atau keintiman, dan pertimbangan
tinggi rendahnya suatu penghormayan yang ingin diungkapkan untuk disebut sopan
atau tidak sopan.
Secara budaya orang yang lebih muda diharapkan
menujukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Sebaliknya orang yang lebih
tua diharapkan juga menunjukan tenggang rasa terhadap yang muda. Unsur timbal
balik ini tercermin dalam pemakaian pronomina dalam bahasa Muna. Pronomina
inodi ‘saya’ lebih umum dipakai daripada insaidi ‘saya’ oleh orang muda
terhadap orang tua untuk menunjukkan rasa hormat. Sedangkan untuk penggunaan
insaidi dalam percakapan biasa berarti kami.
Dalam bahasa Muna hanya dikenal status sosial
bangsawan dan bukan bangsawan atau golongan biasa. Ciri golongan bangsawan nama
diri selalu di awali dengan La Odhe (laki-laki) Wa Odhe (perempuan), sedangkan
golongan bukan bangsawan diawali dengan La (laki-laki), Wa (perempuan). Jadi
yang dimaksud dengan status sosial tinggi adalah kaum bangsawan tersebut.
Golongan bangsawan ini selalu disapa dengan waompu atau kolaki. (Uraian lebih
lanjut dapat dilihat pada bentuk nomina diri).
Sapaan bahasa Muna bisa
pula terjadi karena mempertimbangkan:
1. Kedudukan pembicara dan lawan bicara
2. Jenis kelamin pembicara lawan bicara
3. Usia
pembicara dan lawan bicara
4. Kekeluaragaan.
5. Situasi
pembicara.
Contoh sopan santun
yang berlaku disebagian masyarakat etnik Muna yaitu:
-
Tabea, amangka deki!
(Permisi,
saya mau lewat dulu), diucapkan saat dikerumunan orang dan hendak melewati
jalan di antara kerumunan orang tersebut. Bias juga saat berjumpa denga orang
tua dan hendak jalan lagi.
-
Aeowa bhirita ingka
dofobhasi dakumala we kamafaka.
(Saya
bawa pesan, kita dipanggil di acara mufakat), disampaikan pada orang yang
setingkat lebih tinggi dari kita.
-
Okumala nehamai?
(Mau
ke mana?), biasa dipakai menyapa aatau bertanya pada teman sebaya.
-
dan sebagainya.
Dalam bahasa Muna
dikenal juga sistem sapaan untuk menyapa orang yang belum dikenal dan menyapa
sang khalik serta hewan atau benda yang sangat tabu bila diucapkan secara
langsung.
Bahasa bukan hanya alat
berinteraksi di antara anggota-anggota suatu komuniti semata-mata sebagaimana
perkiraan anggapan umum selama ini, melainkan hakikatnya unsur yang pokok dari
kebudayaan. Setiap daerah memiliki aspek kebahasaan yang merujuk pada
terciptanya manusia yang berbudaya. Ada banyak hal yang menjadi titik tumpu di
mana bahasa dibangun yang kemudian mencerminkan kearifan (sopan santun) suatu
daerah.
Masyarakat etnik Muna
juga meletakkan bahasa sebagai media untuk membentuk karakter seseorang dalam
stratifikasi sosial. Keragaman latar berpikir mengantarkan masyarakat pada efek
berbahasa dalam kesantunan, misalnya sapaan, ucapan salam, sebagai implementasi
dari karakterisasi manusia yang berbudi. Masyarakat etnik Muna juga masih
memegang teguh adat-adat dalam berucap dan berjumpa sua. Ada beberapa contoh
ucapan salam yang masih buming hingga
saat ini di kalangan masyarakat Muna, misalnya:
-
Mentaemo
pisa, pokumala okumaradha?
Biasanya
diucapkan saat bertemu dengan orang saat pagi hari dan hendak memulai aktivitas
sehari-hari, misalnya kerja dan sebagainya.
-
Pedahae
itu, ingka nomponamo awurako!
Diucapkan
saat bertemu dengan orang yang sudah lama pergi dan baru bertemu kembali.
-
Kakodohono
wuluno matamu!
Diucapkan
pada sahabat atau keluarga yang baru datang dari daerah yang jauh. Ucapan ini
sebenarya bernuansa kiasan dan begitu membudaya dikalangan masyarakat etnik
Muna.
-
Tamealaimo
deki bhela!
Diucapkan
saat hendak menutup perjumpaan yang sebelumnya telah diawali dengan salam dan
bercengkrama sejenak.
Masih banyak lagi
ucapan-ucapan salam yang lain yang dikonstruksi untuk sebuah cara berbahasa
yang merunut pada konsep sopan dan santun. Hal ini tentu masih harus
dibudayakan sebagai bentuk aktualisasi diri dalam berkomunikasi yang masih
tetap mempertahankan nilai-nilai kedaerahan tanpa bermaksud mengaburkan bahasa
yang sifatnya lebih ke arah formal.
Budaya malu menggunakan
bahasa daerah saat bertemu dengan rekan atau kerabat yang satu etnik seyogyanya
harus dihilangkan karena akan melunturkan bahasa daerah kita yang menjadi aspek
penting pendukung bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia.
3.
Kesenian
Tradisional
Ada banyak sendi-sendi kesenian di daerah Muna,
yaitu:
a.
Seni
Tari
Dari aspek tari daerah, banyak potensi kesenian yang
lahir. Salah satu seni tari yang populer etnik Muna adalah tari Linda. Tari
Linda pertama kali dikenal pada masa pemerintahan Muna La Ode Husain atau
Omputo Sangia sekitar 350 tahun yang lalu. Pada saat itu sang raja hendak
melangsungkan upacara pingitan (karia)
bagi putrinya Wa Ode Kamomono Kamba. Karia adalah suatu prosesi upacara
adat yang harus dilalui oleh setiap gadis remaja. Pada saat itu mereka
diajarkan nilai-nilai moral dan keagamaan. Pada puncak upacara, dipentaskan
tari Linda yang diiringi lagu “La Kadandio”.
Saat
ini tari Linda tidak hanya dipakai pada saat upacara adat seperti karia, tetapi
juga sudah menjadi ikon daerah Muna dibeberapa festival yang dijadikan tangkai
lomba, digelar saat perayaan-perayaan daerah, dan sebagainya. Tari Linda kini
menjadi kebanggan masyarakat Muna karena sudah mampu ,meramba dunia
(internasional) misalnya, di Australia, Italia, Belgia, dan beberapa negara
lainnya.
b.
Seni
Ukir
Salah
satu aspek yang menjadi andalan masyarakat etnik Muna adalah seni ukir atau
kerajinan tangan. Masyrakat Muna mempunyai berbagai jenis ukiran yang terbuat
dari kayu jati (gambol). Beragam furniture seperti meja, kursi, jam dinding,
hingga ukiran kuda sebagai symbol Kab. Muna dapat dijumpai. Para pengrajinnya
dapat ditemui hamper di setiap sudut kota.
c.
Atraksi
Perkelahian Kuda
Kesenian
tradisional lain yang menjadi daya tarik di daerah Muna adalah atraksi
perkelahian kuda yang sangat terkenal dan hanya terdapat di Kec. Lawa, 15 km
dari Kota Raha, ibu kota Kab. Muna.
Pertunjukan
dimulai pada saat kuda dibuat marah
dengan cara menarik kuda betina di depan kuda jantan. Sehingga kedua
kuda jantan terpancing untuk dapat mendekati kuda betina. Pertunjukan kuda
biasanya dilakukan pada pesta panen, menyambut musim tanam, atau acara-acara
lain (festival budaya).
4.
Permainan
Tradisional
Selain kesenian,
aspek-aspek budaya yang begitu unggul juga terdapat di daerah Muna, diantaranya
kaghati (layang-layang), kalego,
a.
Kaghati
Kaghati
adalah layang-layang tradisional masyarakat Muna yang bahan-bahannya hanya
terbuat dari daun gadung/ubi hutan (Discorea
hispida) dan rangkanya terbuat dari
bambu. Pada kondisi angin yang stabil, kaghati
dapat terbang di udara selama tujuh hari tujuh malam (seminggu). Masyarakat
Muna percaya bahwa kaghati bukan
hanya permainan di kala senggang, tetapi juga memiliki arti yang dalam dan
sakral.
Kaghati
menjadi harapan dan kebanggan masyarakat etnik Muna karena saat ini, kaghati menjadi ikon Muna di mata dunia.
Berbagai festival laying-layang digelar baik tingkat regional, nasional, maupun
internasional dan menempatkan laying-layang tradisional Muna (kaghati) sebagai ikon utamanya. Dalam
kurun waktu beberapa tahun terakhir, festival laying-layang internasional banyak
digelar, diantaranya di Muna sendiri (Indonesia), Prancis, Jepang, Jerman,
Malaysia, Brunai Darussalam, Italia, Belgia, dan sebagainya yang selalu
menjadikan laying-layang tradisional Muna (kaghati)
sebagai pemenang dan paling unik dari berbagai sisi dan kriteria penilaian.
b.
Kalego
Kalego
adalah salah satu jenis perrmainan tradisional etnik yang sangat terkenal
dikalangan petua-petua kampung. Permainan ini biasanya dilakukan di sebuah
lapangan kecil (tana lapa) misalnya di halaman luas, lapangan, ataupun di mana
saja yang memungkinkan dapat dimainkan. Permainan ini sangat sederhana yaitu
bahannya adakah tempurung kelapa yang dibelah dua. Kalego dimainkan oleh
perempuan dan lelaki yakni dua orang perempuan dan dua orang laki-laki atau
bias juga semuanya laki-laki atau semuanya perempuan. Letak keunikan permaianan
tradisional ini adalah semua pemain dituntut untuk dapat menggeser tempurung
kelapa hingga mengenai tempurung kelapa yang lain yang sudah diatur dan
didesain sedemikian rupa. Banyak kehebohan dan kelucuan bila kita menyaksikan
permaianan ini. Masyarakat etnik Muna biasa menggelar permainan kalego
ini di acara-acara festival kebudayaan, perayaan adat, atau senagaja
digelar sebagai ajang lomba tahunan.
c.
Dopohule
Kata
dopohule berasal dari kata dasar “hule” yang artinya gasing. Permainan ini
adalah jenis permainan tradisional musiman bagi sebagian masyarakat etnik
Muna. Hule/gasing ini dibuat dari kayu
besi (kusambi) yang diukir sedemikian rupa sehingga menyerupai corong/kerucut
yang khas dan unik. Hule/gasing ini pada bagian tengahnya dibuat semacam
belahan di mana tali bias dililitkan sehingga ketika dilepas dengan sedikit
tarikan dan tekanan hule dapat berputar dan berthan lama. Oleh masyarakat Muna,
permainan dopohule dimainkan oleh beberapa kaum lelaki. Awalnya seseorang
memutar gasing dan laki-laki lain memutar juga namun sebelumnya harus mengenai
gasing yang diputar oleh orang pertama tadi. Penentuan pemenang adalah gasing
yang dapat berputar dan bertahan lama atau gasing yang diputar ketika dihantam
oleh gasing lain masih tetap berputar. Permainan ini begitu disenangi kalangan
anak-anak saat ini.
d.
Dopobhinte
Sebuah
permainan tradisional Muna yang banyak dimainkan oleh sekelompok anak kecil.
Permainan ini cukup unik karena mereka memanfaatkan kulit kerang, batu, dan
bambu belah sebagai alat permainannya. Pada mulanya mereka mengumpulkan kulit
kerang terlebih dahulu kemudian menjejerkan kulit kerang pada bambu belah yang
ujung kanan dan kirinya disanggah dengan batu masing-masing sattu atau dua
buah. Selanjutnya, beberapa anak memegang batu pula sebagai alat untuk melempar
bambu belah yang berisi kulit kerang tadi. Pemenang ditentukan dari banyaknya
kulit kerang yang dikumpulkan oleh anak-anak setelah menjatuhkan kulit kerang
yang ada pada lempengan bambu. Demikian permainan ini berlanjut hingga
anak-anak kehabisan kulit kerang untuk bermain.
e.
Doposubha
Jenis
permainan ini menggunakan media kayu sebagai alat main. Permainan ini tidak
hanya dikenal oleh anak-anak kecil namun masyarakat dewasa pun turut memainkan
permainan ini. Permainan ini sesungguhnya membawa dampak positif dan bermanfaat
terlebih bagi anak-anak karena permaian ini melatih kemampuan berhitung anak.
Permainan ini dimulai dengan mengambil sebatang kayu dengan diameter berapa
saja (disesuaikan dengan keinginan). Kayu dipotong dengan dua bagian, pertama
sebagai induknya(dinamai Ibu) kayu dipotong lebih panjang dari bagian kedua
yaitu sebagai anak yang panjangnya kira-kira ukurannya sejengkal tangan. Bila
sudah didapatkan dua bagian kayu, selanjutnya digali tanah tetapi tidak agak
dalam karena sifatnya hanya sebagai penyanggah anak kayu.
Ada
tiga (3) tahap untuk mendapatkan poin sampai memenangkan permaian ini. Pertama,
kayu yang dipotong sejengkal tadi (dinamai anak) diletakan di antara lubang dan
dicungkil sejauh mungkin agar tidak
tertangkap oleh penjaganya (anak-anak yang menjadi lawan). Kedua, anak kayu
tadi dipukul sejauh mungkin dengan menggunakan ibu kayu agar tidak tertangkap
pula. Dan ketika penjaga melempar kembali kita sebagai pemain dapat memukul
pantul kembali. Saat anak kayu berhenti, mulailah kita menghitung dengan ukuran
panjang ibu kayu. Dan tahap terakhir, anak kayu dibaringkan pada ujung lubang,
dipukul ujungnya dan dengan menggunakan ibu kayu, anak kayu dipantul-pantulkan
sebanyak mungkin sesuai dengan kesepakatan hitungan dan dipukul jauh. Semakin
banyak pantulan yang kita lakukan maka sebanyak poin yang akan didapatkan
karena masuk pada kategori kredit poin. Pemenang dari lomba ini adalah yang
telah mencapai poin yang telah ditentukan (biasanya disepakati poin pemenang
yaitu 1000, 2000, 5000, 10.000, dan seterusnya). Letak keunikan dari permainan
ini adalah yang kalah mendapat sanksi dari pemenang berupa menggendong pemenang
atau hukuman lain yang telah disepakati sebelumnya.
5.
Pakaian
Adat
Pakaian adat Etnik Muna
saat ini tercermin dari pakaian pengantin mengingat makin bergesernya
nilai-nilai budaya akibat globalisasi. Namun dengan demikian, nilai-nilai yang
tercermin dari suatu pakaian masih tercermin dari pagelaran adat yang masih
tetap diselenggarakan masyarakat etnik Muna di Sulawesi Tenggara. Berikut
adalah pakaian adat etnik Muna dari aspek pakaian pengantin baik pria maupun
wanita.
a.
Pakaian
Pengantin Pria
Pakaian
pengntin pria etnik Muna terdiri atas baju, sarung, dan celana.
-
Bhadhu kopo (baju
dasar)
Baju
dasar pengantin pria disebut baju kopo yang maksudnya adalah baju yang tidak
terbelah pada bagian dada, kecuali mempunyai lubang kepala sampai bagian atas
dada. Baju kopo merupakan baju dasar taua baju dalam berlengan panjang. Bahan
pembuatan baju kopo dari kain yang berwarna putih.
-
Balahadhadha (baju
luar)
Di
atas baju kopo dipasang pula baju luar yang disebut balahadhadha (baju yang
terbelah pada bagian dada) dan berlengan panjang. Balahadhadha terbuat dari
kain beludru warna hitam. Hiasan pada balahadhadha berupa renda berwarna perak
atau kuning keemasan yang dilekatkan pada kedua pinggir baju bagian bawah dan
pada kedua ujung lengan, serta sekeliling pinggir bagian bawah baju.
-
Salapandi (celana
panjang)
Salapandi
adalah celana panjang pengantin pria sebagai pasangan baju balahadhadha. Bahan
dan warna salapandi sama dengan bahan dan warna dengan baju balahadhadha yaitu
kain beludru warna hitam. Hiasan pada celana berupa renda warna kuning
cemerlang yang dilekatkan pada sekeliling ujung celana bagian bawah.
-
Botu dan ledha (sarung)
Sarung
pengantin pria biasanya berwarna hitam, merah dan kuning yang dihiasi dengan
kotak-kotak yang terbuat dari benang putih cemerlang atau kuning keemasan
sarung semacam ini disebut botu dan ledha.
Perhiasan
Pengantin Pria
-
Perhiasan kepala
Tutup
kepala (destar) penantin pria disebut kampurui. Kampurui terbuat dari tekstil,
setidak-tidaknya bahan dan warna sama dengan bahan dan warna dari baju atau
celana. Hiasan pada pinggir destar disebut dhambe yang terdiri dari renda-renda
berwarna kuning keemasan. Bentuknya berdiri membalut kepala sehingga pengantin
pria kelihatan jantan dan gagah.
-
Perhiasan pinggang
Pengantin
pria memakai perhiasan pinggang yang disebut sulupe (ikat pinggang). Sulupe
bahannya terbuat dari logam yang disepuh dengan air emas sehingga berwarna
kuning keemasan. Sulupe mempunyai kepala sebagai tepat pertautan, kepala sulupe
berbentuk lonjong atau persegi panjang yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran. Pada
sulupe biasanya diselipkan sebilah keris menghadap keluar yang disebut tobho.
b.
Pakaian
Pengantin Wanita
Pakaian pengantin
wanita etnik Muna terdiri dari baju kombo, bia-bia (sarung), dan selendang.
-
Baju kombo (baju
pengantin)
Baju
kombo adalah pakaian pengantin etnis Muna. Baju kombo tidak terbelah pada
bagian depannya kecuali mempunyai lubang kepala sampai bagian atas dada. Baju
kombo terbuat dari kain tenunan daerah atau kain beludru. Hiasan yang terdapat
pada baju berupa renda warna cemerlang yang dilekatkan pada sekeliling lubang
kepada dan sekeliling ujung lengan baju serta pinggir ujung baju bagian bawah.
-
Bia-bia (sarung)
Sarung
pengantin wanita terbuat dari bahan kain tenunan daerah yang bahan dasarnya
dari benang cemerlang keputihan atau kuning keemasan dibentuk dalam garis-garis
lurus yang dasarnya biasanya hitam, kuning, merah dan sebagainya. Sarung
semacam ini disebut bia-bia.
-
Selendang
Selendang
pengantin wanita dibuat dari bahan yang sama dengan bahan sarung, sedang
warnanya disesuaikan dengan keserasian baju dan sarung. Hiasan pada selendang
berupa renda warna cemerlang dan dikombinasikan dengan taburan manik-manik.
Hiasan renda ditempelkan pada seluruh pinggir selendang.
Perhiasan
Pengantin Wanita
-
Perhiasan kepala
Perhiasan
kepala pengantin wanita disebut panto yang artinya tusuk kundai. Bentuknya
merupakan sekuntum bunga yang terdiri dari beberapa tangkai yang menghiasi
kepala pengantin. Bahannya terdiri dari kain dan lidi serta dihiasi dengan kain
warna-warni sehingga berbentuk sekuntum bunga.
Di samping itu, untuk menguatkan konde digunakan tusuk konde yang bahannya
terbuat dari logam yang disepuh dengan air emas.
-
Perhiasan talinga
Perhiasan
teling disebut dali atau anting-anting yang disematkan pada telinga. Bentuknya
menyerupai ayam, bahannya dari logam yang disepuh dengan air emas.
-
Perhiasan teling dan
dada
Perhiasan
leher juga merupakan perhiasan dada. Pada leher pengantin tergantung seuntai
rantai pannjang yang pada rantai itu bergantung serupa mata uang logam yang
jumlahnya sesuai dengan kemampuan keluarga pengantin. Hiasan yang bergantung
pada rantai itu menjadi hiasan dada. Benda hiasan itu merupakan mainan dari
rantai yang disebut salawi. Di samping itu, pada dada baju dipasang kancing
yang terbuat dari meas atau perak yang disebut kunsi juga menjadi hiasan dada.
-
Perhiasan tangan
Pada
perhiasan tangan terdapat perhiasan yang disebut simbi atau gelang tangan.
Bahannya terbuat dari logam yang disepuh dengan air emas atau perak. Jumlah
gelang yang dipakai pada setiap pergelangan tangan pengantin sebanyak empat
buah. Selain itu, padajari tangan
terdapat cincin emas yang terbentuk belahan rotan disebut ampanelo.
-
Perhiasan kaki
Pada
pergelangan kaki dikenakan gelang kaki yang disebut kinondo, bahannya terbuat
dari logam yang disepuh dengan air emas. Jumlahnya sebanyak-banyaknya dua buah
tiap kaki.
6.
Rumah
Adat
Rumah adat etnik Muna
atau rumah tempat tinggal masyarakat Muna pada umumnya disebut lambu. Kata
lambu (rumah) mempunyai pengertian umum sebagai tempat berlindung dari
panas/dingin, gangguan binatang buas (jahat), serta tempat untuk melaksanakan
segala kegiatan kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Typologi tempat tinggal
dari masyarakat etnik Muna, baik yang disebut lambu, kaombela, rompo/bhantea,
lambu bhalano atau kamali, berbentuk segi empat. Typology demikian bertolak
dari penghayatan budi dan rasa bahwa manusia terdiri atas muka, belakang, sisi
kiri dan kanan.
Rumah adat etnik Muna
yang menjadi tempat tinggal umumnya terdiri atas bagian-bagian yang sebagian
masyarakat Muna dikenal sebagai berikut:
-
Sandi, yaitu tempat
bertumpunya tiang rumah sehingga ujung tiang tidak mudah lapuk, biasanya dibuat
dari batu yang rata agar tidak bergeser atau goyang saat menjadi tumpuan.
-
Katumbulao, yaitu tiang
utama yang duduk pada sandi yang berbentuk segiempat atau bulat.
-
Garaga, yaitu kayu-kayu
yang dipasang pada bagian bawah sebagai tempat tumpuan lantai. Biasanya terbuat
dari kayu bulat atau yang dibuat segiempat lebih kecil dari katumbulao.
-
Hale (lantai) yang
terbuat dari bamboo, batang pinang, atau kayu-kayu hutan yang kecil.
-
Palengku (tangga rumah) dibuat dari kayu yang
tidak mudah lapuk.
-
Karondomi (dinding)
terbuat dari anyaman bambu yaitu jelaja, anyaman daun kelapa tua atau papan.
-
Kantee, yaitu pembatas
yang dipasang pada pintu yang tingginya kurang lebi satu hasta yang secara
simbolis dimaknai bahwa laki-laki tidak boleh masuk dalam rumah tanpa izin atau
rumah tersebut tidak ada laki-laki. Jadi, kantee sebagai kode adat bertamu.
-
Kalonga dan dhanila,
yaitu celah atau jendela berbentuk segiempat, layaknya rumah-rumah pada umumya.
-
Ghato (atap) terbuat
dari daun nipah atau daun rotan.
-
Ghilei (laying-layang
rumah) yaitu bagian rumah yang menutupi rumah yang berbentuk limas, biasanya
terdapat di depan atau di belakang rumah.
-
Kawuwu (bumbungan
rumah) yakni penutup bagian atas rumah
-
Saho, yaitu kayu yang
berfungsi sebagai tempat atap dipasang.
Rumah adat etnik Muna juga memiliki susunan ruangan,
yaitu karete (halaman rumah), olo-lemangku (ruang tamu), kaodoha (ruang/tempat
tidur), tombi (ruang tambahan/serambi/teras), bhate-bhate (loteng), ghabu
(dapur), ghahu (ruangan atas/langit-langit rumah), ghahu-mburake (celah pada
loteng). Selain itu, rumah adat etnik Muna juga terbagi dalam bebarapa bagian
menurut fungsi sosial atau system sosial yaitu lambu (rumah masyarakat pada
umumnya), lambu bhalano (rumah pejabat), dan kamali (rumah raja).
7.
Aneka
Makanan Tradisional
Hal lain yang perlu
diketahui dalam proses mengenali etnik suatu daerah adalah mengenali aspek
makanan tradisionalnya. Masyarakat Muna memiliki aneka makanan tradisional yang
khas dan tidak terdapat di daerah lain, misalnya kolope, katumbu,
kahogo-hogo/kabuto, kambeweno kahitela, kaparende kaliwu meliura, sirkaya
kahitela, dan sebagainya.
a.
Kolope
Kolope
yang biasa dikenal dengan gadung/ubi
hutan merupakan salah satu jenis tumbuhan yang begitu potensial tumbuh di daerah
Muna. Oleh masyarakat setempat, tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang menjalar
dan multi fungsi yakni daunnya sebagai bahan membuat layang-layang (kaghati)
dan umbinya bias dimanfaatkan sebagai makanan tradisional yang sifatnya musiman
(musim kemarau).
Proses mengolah umbi gadung menjadi makanan olahan masyarakat
tidak instan. Mengolahnya harus melalui beberapa tahapan dan jika ada tahapan
yang tidak dilalui atau ada kesalahan/tidak teliti dalam mengolahnya maka akan
menyebabkan keracunan. Proses mengolah dimulai dari pengambilan ubi yang tumbuh
liar dalam hutan, selanjutnya dikupas dan diiris tipis, kemudian dijemur hingga
kering selam beberapa hari. Irisan-irisan ubi yang sudah kering selanjtnya
dikarungi untuk dicuci dan direndam selama beberapa malam di laut sesuai dengan
keinginan pemgolahnya. Selama proses perendaman, ada beberapa tahap lagi yaitu
membersihkan, mengeringkan, dan menyaringnya. Kolope yang sudah siap disaring kemudian selanjtnya dipadatkan pada
keranjang dan selanjtnya dibentuk dengan cetakan tempurung kelapa dan diikat
dengan janur atau daun enau. Biasanya
masyarakat etnik Muna cenderung membagi-bagikan hasil olahan kepada kerabat
terlebih dahulu sebagai bentuk menjaga hubungan kekeluargaan untuk kemudian
dipasarkan sebagai salah satu mata pencaharian musiman. Untuk dijadikan
makanan, kolope dikukus selama
beberapa menit setelah dicuci, dan bila sudah selesai dikukus dapat disajikan
dengan kelapa parut. Cita rasa khas dapat Anda temui bila mengkonsumsi kolope ini.
b.
Kabuto
Kabuto yaitu
salah satu jenis makanan tradisional Muna yang bahannya dari ubi kayu namun
melalui beberapa proses hingga menjadi makanan olahan. Pertama, dimulai dari
mengupas ubi kayu hingga bersih lalu dijemur selama beberapa hari hingga ubi
kayu berjamur atau menunjukan tanda-tanda hitam. Kedua, ubi kayu yang sudah
kering dan siap untuk diolah menjadi makanan selanjutnya direndam dengan air,
dan biasanya beberapa masyarakat merendamnya semalaman untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik – dalam hal ini ubi yang empuk dan legit. Ketiga, ubi kayu yang
sudah direndam kemudian diiris tipis lalu dikukus. Terakhir, bila sudah matang
maka selanjutnya untuk menambah kenikmatannya dapat ditambahkan dengan taburan
kelapa parut.
c.
Kambuse
Kambuse
yaitu jenis makanan tradisional etnik Muna yang bahannya langsung dari jagung
hasil panen rakyat setempat. Makanan ini umumnya standar yakni jagung dicuci
bersih lalu direbus hingga matang, selanjutnya dapat disajikan dengan ikan
kering yang dibakar atau digoreng. Namun, banyak masyarakat Muna mengolah
jagung dengan berbagai jenis, yaitu:
-
Katumbu, yaitu jagung
muda yang diolah dengan cara digiling atau ditumbuk hingga halus kemudian
dicampur dengan gula merah, sedikit garam dan gula, dan dibungkus dengan daun
jagung lalu dikukud hingga matang. Katumbu biasanya banyak dibuat pada
musim-musim tanam jagung.
-
Kapusu, yaitu jagung
tua yang dimasak dengan campuran kapur yang dimasak berkali-kali hingga kulit
biji jagung terkelupas dan tampak membengkak. Biasanya makanan olahan ini
dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk dijadikan katumbu juga namun dengan
tidak menambahkan bahan apapun.
-
Kambeweno kahitela,
makanan ini adalah jenis makanan tradisional yang bahan utama pembuatannya
adalah jagung yang banyak terdapat di daerah Muna. Cara pengolahannya adalah
jagung dimasak dengan kapur sirih, setelah setengah masak diangkat dan dicuci
bersih, giling halus kemudian dicampur dengan kelapa parut. Selanjutnya
dibungkus dengan daun uru, diikat rapi lalu direbus sampai matang.
d.
Kaparende
Kaliwu Meliura
Makanan ini adalah
masuk dikategori lauk yaitu sup kerang meliura. Kerang laut paling potensial
juga di daerah Muna sehingga banyak masyarakat yang mengolahnya sebagai
lauk. Kaparende kaliwu meliura dengan
bahan dasar kerang dan diolah dengan sejumlah bumbu yaitu bawang, merica,
garam, batang daun bawang, jahe, keladi, jagung muda (pasele). Selanjutnya
kerang dicuci bersih lalu direbus hingga matang. Bumbu yang sudah ada ditumis
sampai harum kemudian rebusan kerang dimasukan bersama keladi yang dipotong kecil
dan pasele juga daun bawang. Selanjutnya sup siap dihidangkan.
e.
Sirkaya
Kahitela
Makanan ini sangat
jarang ditemui pada hari-hari biasa. Masyarakat etnik Muna biasanya membuat
makanan ini pada acara-acara adat misalnya karia, katoba, kangkilo, kawinan,
dan sebagainya. Makanan ini masuk pada kategori makanan penutup (desert) dengan
bahan dasar jagung dan didukung oleh bahan lainnya yakni gula pasir, telur
ayam, susu/santan kental dan sirup. Langkah pembuatannya yaitu dimulai dengan
membuat caramel dari gula, selanjutnya sisa gulam jagung, susu/santan kental
dan sirup diblender hingga halus. Hasilnya kemudian dituang pada cetakan yang
sudah diisi caramel sebelumnya lalu ditim dalam oven hingga matang. Setelah
dingin dikeluarkan dari cetakan dan siap dihidangkan.
8.
Perayaan
Setiap daerah tentu
memiliki khasanah budaya yang sangat beragam. Salah satu aspek yang tidak dapat
dipisahkan dari bagian sendi-sendi kebudayaan ini adalah perayaan yang
merupakan bagian dari warisan budaya bagia suatu daerah. Di Muna sendiri,
masyaraktnya masih mempertahankan nilai-nilai budaya dari sebuah perayaan.
Aneka perayaan yang masih menjadi tradisi/warisan budaya yaitu tobheha (acara panen padi/jagung), kaago-ago (acara membuka lahan baru), kampua (acara potong rambut), katisa (musi, tanam), weano wamba (hajatan), dan sebagainya.
a.
Tobheha
Tobheha
merupakan perayaan yang digelar masyarakat etnik Muna pada saat musim panen
tiba, baik panen padi maupun jagung. Pada perayaan ini biasanya masyarakat
menggelar aneka permainan kesenian (modero,
kabhanti, kantola, dan sebagainya) baik tradisional maupun moderen. Di
sebagian daerah atraksi perkelahian kuda sangat mendominasi acara sebagai
bagian dari rasa syukur dan kebahagian masyarakat saat musim panen tiba.
b.
Kaago-ago
Kaago-ago
merupakan perayaan tradisional masyarakat etnik Muna yang sarat makna,
religiusitas, ritual, penghargaan terhadap leluhur dan penghuni bumi selain
manusia (yang bersifat gaib). Kaago-ago
digelar pada saat masyarakat membuka lahan baru atau juga saat ada penghuni
kebun ada yang sakit. Dalam perayaan ini yang lebih kental adalah nilai-nilai
ritual dan kesakralan sebuah prosesi adat, misalnya ayam sebagai tumbal, kameko (air sadapan dari pohon enau yang
dipercaya sebagai air minum para jin), mendirikan tiang bambu yang diretakan
ujungnya dan disumpal dengan tempurung kelapa kering dan selanjutnya diikat
dengan kain tiga warna kecil yaitu putih, merah, dan kuning, terakhir
dimantrai. Sampai saat ini, masyarakat masih melestarikan perayaan ini di
tengah himpitan moderenitas dan globalisasi.
c.
Kampua
Kampua
juga merupakan jenis perayaan yang dihadirkan lain oleh masyarakat etnik Muna.
Secara umum, kampua (acara potong
rambut) dilaksanakan seperti layaknya dalam tradisi aqiqahan. Namun yang lain
adalah ketika prosesi inti kampua
selesai, dalam hal ini barasanji dan pemotongan rambut, maka perayaan berlanjut
dengan nuansa kemeriahan.
Ada
sesuatu yang berbeda dalam pelaksanaan perayaan ini. Biasanya kemeriahan dalam kampua akan ada ketika keluarga yang
akan menggelar kampua dikaruniai sepasang anak laki-laki dan perempuan.
Puncak
kemeriahan perayaan kampua adalah
pada saat selesai shalat Dzuhur, arak-arakan akan digelar. Semua persiapan
mulai dari pohon pisang, bhengke/geraba
(periuk dari tanah liat), kayu yang diikat dan dibakar ujungnya sebagai ewanga (alat silat), parang dan keris,
para penari hingga seorang sando
(tokoh adat perempuan/yang melahirkan anak).
Setelah
semua perangkat prosesi selesai, acara arak-arakan pun mulai digelar di jalan
hingga sampai pada batas tempat yang telah ditentukan. Dalam arak-arakan, yang
meriah adalah hadirnya silat Muna yang begitu khas diringi pukulan gong yang
merdu pula. Ketika sampai pada batas tempat yang telah ditentukan, seorang sando mulai melakukan ritual dengan
mencari sebuah pohon untuk kemudian menggantung pohon pisang dan kelapa yang
ditutup dengan kantofi (anyaman janur
yang dibentuk menyerupai kerucut) sebagai sebuah persembahan dan seorang tokoh
adat laki-laki memanah kantofi yang berisi kelapa tersebut dengan cara meniup
anak panah yang terbuat dari lidi enau ayng dibungkus dengan kapuk dengan
corong bambu kecil sebagai wadah saat anak panah hendak ditiup.
Setelah
selesai, selanjutnya digelar acara minum kameko
(tuak tradisional khas Muna) dibawah pohon yang digantungkan kantofi. Ketika prosesi di batas telah
selesai, selanjtnya arak-arakan pulang ke rumah yang mengadakan acara kampua untuk selanjutnya melakukan
proses lain. Ketika sampai, rombongan arak-arakan mengelilingi rumah sebanyak 3
atau 7 kali putaran. Selanjutnya pohon pisang yang sudah disiapkan ditanam
dihalaman rumah dan di bawahnya disimpan bhengke/gerabah.
Pemain silat kemudian mengadu silatnya dan memotong pisang serta memecahkan bhengke/gerabah.
Anak
yang diaqiqah selanjutnya didudukan di atas pohon pisang yang sudah ditebang.
Selanjtnya imam kampung mengambil sedikit tanah lalu diusapkan pada titik-titik
tubuh seperti dahi, ketiak, pusat, kaki, dan bagian tubuh yang lain sebagai
bentuk pengenalan terhadap tanah kelahirannya. Setelah selesai, kemudian
digelar acara tari Linda oleh para penari seperti saweran hingga selesai.
Acara
perayaan kampua hingga saat ini masih
terjaga ketradisionalannya karena masyarakat etnik Muna percaya bahwa banyak
filosofi, manfaat dan niali-nilai adat yang khas yang harus tetap
dipertahankan.
d.
Katisa
Katisa
merupakan acara menyambut musim tanam dengan menjalin kekerabatan sesama
masyarakat. Acara katisa secara umum
hanpir sama pelaksanaannya di setiap daerah karena yang dibangun adalah
semangat kegotongroyongan.
e.
Weano
wamba
Weano
wamba yang berarti “asal
kata/bahasa/ucapan”. Weano wamba adalah realisasi dari sebuah nazar
yaitu hajatan, misalnya seseorang yang bernazar bahwa akan menggelar acara kampua yang meriah jika anaknya lahir
nanti, dan sebagainya.
9.
Cerita
Rakyat
Masyarakat Etnik Muna
juga memiliki warisan tradisi cerita rakyat yang masih terjaga orisinalitasnya
karena sudah banyak orang yang mengenalnya, baik itu dari buku-buku cerita
rakyat yang ditulis oleh masyarakat etnnik Muna sendiri maupun didengar
langsung dari orang Muna. Banyak cerita rakyat daerah yang berkembang yaitu La
Sirimbone, Wa Bunga Bansa Patola dan Wa Sama Samamparia, dan masih banyak lagi
cerita lainnya. Berikut salah satu cerita daerah dari daerah Muna.
10. Agama
Masyarakat etnik Muna
menganut agama Islam. Bilapun ada beberapa etnik yang beragama lain itu
dikarenakon faktor lintas etnis atau lintas agama atau karena pengaruh masuknya
beberapa etnik dengan sudut pandang agama lain berbaur dengan masyarakat Muna.
Tetapi dominannya, masyarakat etnik Muna menganut agama Islam. Hal ini terlihat
dari berbagai bentuk dan pola kebudayaan yang disajikan dalam koridor islami.
0 comments: