ASPEK BUDAYA ETNIK MUNA

September 26, 2017 Unknown 0 Comments






Suatu daerah tentu lahir dari rahim budaya yang begitu beragam dengan keunikan dan kekhasan masing sebagai wujud khasanah budaya. Sulawesi Tenggara sebagai kawasan wilayah Timur Indonesia juga memiliki potensi budaya dari ragam etnik/suku yang ada, diantaranya Muna, Bugis, Buton, dan Tolaki. Masing-masing daerah membawa karakteristik budaya yang unggul dan berbeda dengan etnik lain ditiap daerah. Berikut disajikan keunggulan budaya yang khas dan potensial salah satu daerahnya yaitu etnik Muna. Aspek budayanya mencakup asal-usul dan adat istiadat, sopan santun dan ucapan salam sebagai bentuk dari kearifan lokal, aneka kesenian, permainan tradisional, pakaian daerah, rumah adat, aneka makanan tradisional, perayaan, serta cerita rakyat.

1.      Asal-Usul dan Adat Istiadat
Kata Muna berasal dari kata “Wuna” yang artinya “Bunga”. Sebutan nama “Wuna” berdasarkan pada penemuan “Kontu kowuna” (batu berbunga) yang terletak di kota Wuna, yaitu 22 km sebelah selatan kota Raha Ibu kota kabupaten Muna. Batu tersebut berbentuk kecurut, besarnya seperti sebuah rumah dengan tinggi 7 m dari permukaan tanah. Bagian sekelilingnya sampai permukaan bagian atas ditumbuhi semacam bungan berwarna putih dan berumpun dan sangat indah tampaknya. Itulah sebabnya Pulau Muna biasa disebut juga “Witeno Wuna” artinya “Tanah Muna”.
Ketika Belanda mulai menanamkan pengaruh kekuasaannya di Muna tahun 1906 sebutan Wuna “diganti dengan “Muna” yang disesuaikan dengan ucapan atau lidah orang Belanda, dimana sebutan konsonan “W” menjadi “M”. Sejak itulah sebutan Muna menjadi populer dan secara umum digunakan oleh masyarakat, terutama orang asing  atan yang berasal dari luar daerah muna. Walaupun demikian penduduk asli Pulau Muna, sebutan “Wuna” tidak hilang, melainkan tetap digunakan dalam percakapan sehari-hari terutama sesame orang Muna.
Perlu ditambahkan pula bahwa disebelah Utara tempat batu berbungan ( 300m) terdapat bangunan masjid tua yang dikenal sebagai masjid pertama yang didirikan di Pulai Muna. Letak masjid tersebut sangat strategis berada pada ketibggian ± 1.000 m diatas permukaan laut maka nampak seakan-akan dikelilingi oleh lautan. Tidak heran tempat tersebut biasa disebut pula sebagai pusat kota Muna.
Berdasarkan sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa pulau Muna telah dihuni manusia sejak zaman pra sejarah. Bukti-bukti tentang adanya kehidupan pada zaman itu antara lain didasarkan pada penemuan gambar-gambar atau lukisan digua Metanduno, Liang Kobori, Gua Toko, terdapat didesa balo kecamatan katobu.
Pada dinding gua-gua tersebut terdapat lukisan gambar orang berburu babi, gambar matahari, dll. Adanya lukisan orang berburu babi. Menggambarkan cirri kehidupan/mata pencahariab manusia pada zaman pra sejarah. Adanya gambar/lukisan matahari menggambarkan cirri kehidupan manusia yang memuja pada dewa matahari. Selain itu ditemukan pula lukisan manusia yang sedang mengendarai kuda dengan memegang tombak, yang diduga binatang yang digunakan untuk berburu adalah kuda dengan bersenjatakan tombak.
Berdasarkan urutan diatas maka dapat disimpulkan bahwa : penghuni pulau Muna pertama bukan berasal dari Luwu/sawerigading sebagaimana diungkapkan oleh sebagian orang Muna dalam tradisi sejarah  yang diwariskan secara turun-temurun. Berbicara tentang asal-usul penduduk pulau Muna sebenarnya harus didasarkan atas migrasi rumpun bangsa Malayu Austronesia dari daerah Yunan (Cina selatan) ke Nusantara.
Karena dari perpindahan bangsa Malayu Austronesia tersebut, kemudian menjadi cikal bakal penghuni pertama kepulauan nusantara. Sudah tentu hal tersebut didasarkan pula pada jenis-jenis kebudayaan Nusantara yang pertama, dimana sisa-sisanya tersebar/terdapat diberbagai daerah dari batas sampai timur.
Berdasarkan penelitian para ahli purbakala disimpulkan bahwa penduduk pulau Muna adalah bagian yang tak terpisahkan dari persebaran penduduk pertama yang mendiami kepulauan Nusantara yaitu ras Mongoloid dan ras Austro melanesoid.
Adapun proses persebarannya hingga sampai dipulau Muna dan pulau Bution dan sekitarnya, menurut Prof. Rustam E. Tamburaka melalui dua arah dan empat gelombang. Pertama : dari arah utara terdiri dari atas tiga gelombang perpindahan yaitu : gelombang pertama dan kedua ras mongoloid dan cina selatan dan dari kepulauan Riukyu di Jepang melalui Vietnam, kepulauan Filiphina, Mindanao, Sulawesi Utara, Halmahera, Sulawesi bagian Timur, laut masuk didaratan Sulawesi Tenggara terus kepulau Muna dan Buton serta pulau-pulau sekitarnya. Perpindahan gelombang ketiga yang oleh Dr. Alb. Kruyt disebut gelombang deutro Melayu, juga dari Utara dan dating di Sulawesio Tenggara melalui Danan Towuti. Kedua : perpindahan gelombang keempat yaitu ras Austro Melanesoid dari Australia Utara. Mereka melalui kepulauan Maluku Tenggara, Irian Jaya bagian Selatan, Nusa Tenggara Timur lalu memasuki Pulau Buton, Pulau Muna dan sekitarnya.
Rustam E Tamburaka lebih melihat cirri-ciri fisik anthropologis seperti : Cephali Indeks (bentuk ukuran tengkorak kepala termasuk volume taknya mata agak bulat dengan kening agak tebal, rambut hitam keriting, warna kulit agak gelap/coklat, tinggi badan rata-rata 160 cm), maka etnis Muna dan Buton didominasi oleh ras Austro Melanesoid walaupun sudah bercampur dengan ras Mongoloid (Rustam E. Tamburaka dalam Profil kependudukan Sulawesi Tenggara 1989 : 14).
Dengan demikian, tradisi masyarakat Muna yang mengatakan bahwa penghuni pertama pulau Muna atau nenek moyang pertama berasal dari rombongan Sawerigading (Luwu) yang perahunya kandas didaratan Muna, adalah kurang serasi dengan fakta sejarah. Sebab kisah kandasnya perahu Sawerigading disebutkan terjadi sekitar abad XIV suatu yang tidak logis bila dikatakan bahwa Pulau Muna nanti mulai dihuni manusia pada abad XIV.
Nilai-nilai budaya suatu bangsa merupakan khasanah kekayaan bangsa atau daerah. Indonesia sebagai bangsa memiliki potensi kaenekaragaman budaya. Salah satunya adalah budaya masyarakat Muna. Budaya Muna sebagai objek akan menjadi lemah apabila proses pewarisannya hanya dilakukan melalui penuturan cerita, pandengaran dan pandangan mata. Oleh karena itu budaya muna tidak harus hanya sebatas cerita tetapi dapat dibaca dalam dokumen, hal ini akan menjadi solusi terbaik untuk menjaga degradasi nilai-nilai budaya masyarakat Muna. Ada beberapa macam jenis budaya yang digunakan dalam masyrakat Muna salah satunya adalah ‘Upacara Adat Kariya’.
            Kariya adalah upacara adat bagi masyarakat Muna yang pertama diadakan pada masa pemerintahan Raja La Ode Husain yang bergelar Ompute Sangia terhadap putrinya yang bernama Wa Ode Kamomo Kamba. Menurut kaidah bahasa Muna bahwa karia berasal dari kata ‘kari’ yang artinya: (1) sikat atau pembersih: (2)penuh atau sesak. Pemaknaan dari simbolik nokari atau penuh, bahwa perempuan yang dikariya telah penuh pemahamannya terhadap materi yang disampaikan oleh pemangku adat atau toko agama, khususnya seluk beluk yang berkaitan dengan rumah tangga. Sedangkan makna secara kongkrit bahwa kata kariya (Muna) berarti ribut atau keributan dan kariya adalah ramai atau keramaian.
            Pendekatan secara filosofis jika ditinjau dari aspek filologi bahwa kariya berarti ribut, ramai dan keramaian benar adanya karena dalam pelaksanaan upacara adat kariya tidak hanya berdiri sendiri sebagai suatu acara tutura, akan tetapi lengkap pelaksanaannya jika dibarengi dengan tradisi-tradisi lainnya sehingga acara itu menjadi sakral dan lengkap prosesnya. Dalam acara kariya dimana sang gadis selama  empat hari empat malam ditempa dalam sebuah tempat tertutup (songi atau sua). Untuk menhilangkan stres para gadis dalam tempat itu maka diselingi dengan acara-acara lain yaitu : rambi Wuna, rambi Padangga, Mangaro yaitu acara sandiwara perkelahian. Selama para gadis dalam songi atau sua, acara rambi wuna, rambi padangga, mangaro senantiasa didemonstrasikan oleh orang-orang yang telah dipilih dan ditetapkan secara adat.
            Dalam acara tersebut mungkin orang-orang akan bertanya, mengapa harus pukul Gong atau rambi wuna yang harus ditampilkan? Menjawab pertanyaan itu akan dideskripsikan sebagai berikut : Pertama : Jenis rambi seperti itu bersifat ajakan bagi setiap orang yang mendengarnya untuk hadir di tempat pelaksanaan upacara adat kariya agar suasana senantiasa ramai. Kadua : Ditetapkan secara adapt untuk melakukan demonstrasi rambi padangga adalah merupakan ciri khas yang dapat memberi isyarat kepada semua orang yang menyaksikan upacara tersebut sebagai suasana kekerabatan sehingga walaupun orang jauh datang beramai-ramai di tempat itu..
            Proses ini dilakukan dengan harapan bahwa seorang wanita ketika telah diisyarati dengan ritual kariya maka dianggap lengkaplah proses pembersihan diri secara hakiki. Kepercayaan masyarakat Muna bahwa upacara ritual kariya manjadi kewajiban bagi setiap orang tua yang memiliki anak perempuan. Karena itu proses pembersihan diri me;lalui ritual kariya menjadi tanggung jawab orang tua. Hal itu dapat dipandang secara teoritis bahwa pembersihan diri tidak hanya dilakukan dengan air tetapi sesuai pula dengan konsepsi adapt dan agama bahwa pembersihan diri dapat dilakukan dengan cara lain yaitu melalui ritual kariya.
            Kariya juga menjadi suatu media pendidikan  yang menurut teori pendidikan, dimana ada dua metode yang dianggap efektif yaitu (1) Charakter building, (2) titilasi. Melalui character building manusia digembleng watak dan mentalnya sehingga muncul rasa percaya diri yang kokoh,sedangkan titilasi merupakan pembinaan minat agar bangkit gairah untuk mengetahui dirinya sendiri. Implementasi ke dua teori tersebut dapat dilihat pada prosesnya. Di mana didalam sangi atau sua para gadis diatur makan, minum dan jam tidurnya dan itu merupakan salah satu pembinaan hidup dalam kesederhanaan. Sebenarnya proses terpenting dalam acara kariya adalah merupakan pembentukan diri untuk melawan musuh terbesar dalam hidupnya yaitu hawa nafsu.
            Kariya sebagai upacara peresmian atau pelantikan erupakan proses kejadian manusia dari suatu tahapan kehidupan ketahapan  berikutnya, dikenal dengan kronologi Insiasi. Istilah ini berasal dari bahasa latin “Initiatio” ndalam bahasa prancis disebut “rites de passage” dan dalam bahasa Inggris di sebut “Crisis rites”. Indikator yang menguatkan bahwa kariya sebagai upacara peresmian atau pelantikan ditandai dengan model pakaian yang dikenakan oleh peserta kariya. Pada bagian kepala disematkan Panto (Mahkota) bagaikan putri ratu yang telah dilantik  sebagai raja disebuah kerajaan. Oleh karena itu cirri khas pakaian perempuan yang dikariya menunjukan ciri khas pakaian kebesaran sesuai dengan golongan sosialnya masing-masing, misalnya Kaomu, Walaka dan Maradhika.

Pelaksanaan Upacara Adat Karia
A.     Proses awal pelaksanaan Upacara Karia (Pingitan)
Karia atau pingitan adalah salah satu bentuk kebudayaan masyarakat Muna yang tetap dilestarikan sampai saat ini. Adapun proses awal dari pelaksanaannya adalah dengan tahapan-tahapan sebagai berikut :

1.     Kaalano Oe Kaghombo (Pengambilan Air yang Dipingit)
Pengambilan air untuk mengawali proses pelaksanaan upacara karia adalah mengambil air yang akan di ghombo bersama peserta karia pingitan. Air tidak di ambil dalam rumah atau di bak mandi, tetapi di rempat khusus untuk pengambilannya. Di masa lau air yang dimaksud hanya bole di ambil di sebuah tempat yaitu kali laende, sebagaimana yang diamanatkan oleh Raja Muna, Laode Maktubu Milano Wakaleleha (1903-1915) bahwa kali laende dinobatkan sebagai air Al kausar, Tetapi dapat juga diambil di kali/sungai lain yang airnya mengalir.
Pengambilan air dilakukan oleh delegasi atau petugas khusus yang mengetahui seluk beluk tempat itu yang dalam bahasa Muna dikenal dengan Kodasano (keturunan manusia yang mendiami daerah sekitar wilayah itu).
Cara pengambilan air tidak menggunakan sembarang alat misalnya : Kendi atau Jergen, tetapi menurut ketentuan adapt di Muna bahwa alat ayng digunakan untuk mengambil air adalah seruas bamboo (tombula) dengan kapasitas/volume air yang di ambil sesuai kebutuhan.                  

2.     Kaalano Bansa (Pengambilan Mayang Pinang)
Dalam proses persiapan pelaksanaan Kaghombo atau pingitan maka ada petugas yang telah diberi kepercayaan untuk mengambil mayang pinang (Bhansa atau Bea). Etika pengambilannya tidak boleh menoleh kekiri dan kekanan (konsentrasi) sehingga walaupun ditanya tidak boleh menjawab. Oleh karena itu, pengambilannya hendak memilih waktu yang hening. Pada saat memanjat pinang mayang tidak boleh dijatuhkan tetapi harus dipegang sampai ditanah (Sido Thamrin:1997). Perlakuan ini merupakan isyarat untuk mempertahankan mayang pinang agar tidak tersentuh tanah dan tetap terjaga kesuciannya.   

3.     Kaalano Kamba Wuna (Pengambilan Kembang Kamba Wuna)
Pada hari yang sama dilanjutkan dengan pengambilan kuncup bunga (Kamba Wuna) yang tak jauh tempatnya dari pengambilan air. Pengambilan kuncup bunga juga dilakukan oleh petugas  atau delegasi khusus yag disebut ‘Kodasano’ tetapi sekarang dapat diambil oleh petugas yang diberikan kepercayaan oleh koparapuuna (Yang Punya Hajatan).
Apakah bunga ini benar adanya atau dapat dikembangbiakan. Menurut Rosiman Tawid bahwa bunga ini dapat diperoleh melalui pertapaan dimulut Gua Kamba Wuna oleh Kodasano. Selanjutnya kuncup bunga diambil pada saat penyumpahan raja dan acara karia. Dalam pelaksanaan upacara karia saat ini bunga ‘Kamba Wuna’ daapat diganti dengan bunga-bunga lain yang wangi; misalnya bunga Siroja.
Setelah seluruh perlengkapan siap selanjutnya diserahkan kepada pemandu (Pomantoto) untuk siap dipergunakan pada acara kaghombo (yang dipingit). Bunga tersebut sebagai wangi-wangian dalm suo atau songi. Filosofi dari bunga tersebut adalah simbolik dari keempukan dianalogikan sama dengan bunga.              

B.     Pelaksanaan Kegiatan Karia (Pingitan)
Pelaksanaan kegiatan inti dari upacara karia adal;ah proses penenpaan para gadis/ perempuan untuk melewati 4 (empat) alam sebagai proses kejadian manusia sampai dilahirkan dimuka bumi ini yaitu : (1) Alam arwa (2) alam Misal (3) alam Aj’sam (4) alam Insani
Silogi proses pemindahan dari satu alam ke alam yang lain hinggsa manusia dilahirkan bagaikan kertas putih polos dan suci, dapat digambarkan dari prosesi pelaksanaan acara kronologis dan Alfabel yaitu :

1.     Kafoluku
Kafoluku yaitu peserta yang dimasukkan dalam tempat yang telah dikemas khusus rewmapt karia yang disebut suo khusus bagi putri-putri raja dan songi untuk golongan masyarakat umum. Prosesnya adalah sebagai berikut:
1.      Pembacaan doa oleh imam Kota Muna yang disertai dengan dulang.
2.      Dimandikan dengan air yang telah dibacakan doa oleh imam air terdiri atas dua tempat yaitu oe modaino dan oe metaano.
3.      Perangakat yang dimasukkan ke dalam kaghombo atau pingitan yaitu :
1.      Dua buah palangga (tempat yang dibuat dari lidi pohon aren dalam bentuk anyaman)
2.      Padjamara (lampu tradisional Muna)  yang tidak dinyalakan
3.      Polulu (kampak) Kandole
4.      Bongsano Bea (kuncup bunga pinang dan kuncup bunga kelapa
5.      Jagung dan umbi-umbian yang merupakan simbolik kehidupan
6.      Kapas dan benang swebagai bahan sarung
7.      Anyaman daun kelapa yang masih muda (Bhale)
8.      Tikar yang terbuat dari daun agel (Ponda bale)
9.      Kain putih sebagai alas tikar ponda bhale merupakan symbol kesucian
10.  Posisi peserta berdasarkan urutan paling kanan adalah peserta dari anak yang mempunyai hajatan acara dan selankutnya disusul oleh peserta yang lain.    

2.     Proses Kabansule
Yaitu proses perubahan posisi yang dipingit. Awalnya posisis kepala sebelah barat dengan baring menindis kanan selanjutnya posisinya dibalik kearah timur, ke dua tangan kanan di bawah kepala tindis kiri. Filosofi dari proses ini adalah perpindahan dari alam Arwah kea lam Aj’san. Kondisi ini konon katanya diibaratkan pada posisi bayi yang masih berada dalam kandungan yang senantiasa bergerak dan berpindah arah.
Mengawali proses perpindahan itu ada kegiatan yang dilakukan oleh para peserta yaitu:
a.       Semua peserta kariya dikelilingkan lampu padjamara dan cermin ke kiri dan ke kanan, ini isyrat bahwa ke depan peserta kariya diharapkan mendapatkan kehidupan yang terang benderangsedangkan cermin adalah symbol kesungguhan dan keseriusan dalam menghadapi tangtangan hidup dimasa depan
b.      acara rebut ketupat dan telur yang diambil dari belakang masing-masing dengan tidak ada batas jumlahnya untuk dimakan.

3.     Proses Kalempengi
Kalempengi diawali dengan proses Debhalengke. Yaitu membuka pintu kaghombo. Pada tahapan ini proses perpindahan dari alam Aj’san kea lam insani. Para gadis dimandikan kemudian dirapikan rambut dan keningnya (dibhindu) oleh petugas atau keluarga yang diserahi tugas. Semua bulu rambut ditada pada piring yang berisi beras dan telur selanjutnya para peserta kariya siap untuk dirias dengan model pakaian kariya yang disebut kalempengi.

4.     Kafosampu (pemindahan peserta karia dari rumah ka panggung)
Pada hari ke empat menjelang magrib para gadis pingitan siap dikeluarkan dari rumah dibawa ketempat tertentu yang disebut Bhawono Koruma (panggung). Pada waktu mereka diantar kepanggung para peserta tidak boleh menginjak atau menyentuh tanah dan biasanya menggunankan bentangan kain putih dari rumah sampai ke panggung, tetapi dapat pula digendong atau disoda/dipapa oleh dua orang laki-laki. Selain itu para kariya tidak diperbolehkan membuka mata sebagai isyarat kekhusyuan menuju tempat bertangdang dipanggung.
Di depan Bhawono Koruma telah menunggu gadis-gadis lain yang telah dipilih dan diberi tanggung jawab duduk berjejer dalam keadaan bersimpuh. Setelah pembacaan doa selesai barulah peserta kariya diperbolehkan membuka matanya. Doa tersebut adalah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar para peserta kariya dapat diberikan keimanan yang kuat dalam menjalani kehidupannya.
Gadis-gadis yang mendapingi peserta kariya harus yang masih hidup ke dua orang tuanya. Mereka bertugas memegang sulutaru (semacam pohon terang yang terbuat dari kertas warna-warni dan dipuncaknnya dipasangkan lilin yang menyala). Hal ini berlambangkan Nur Illahi yang akan menjadi penentu dalam hidup.  

5.     Proses Katandano Wite
Pada saat peserta yang karia smpai ditempat/panggung diisyaatakan proses pemindahan alam, dari alam missal ke alam insani. Katando wite adalah langkah ke empat dalam karia. Proses ini diakukan oleh pegawai sarah yang diawali dari peserta yang paling kanan duduknya, diatur berdasarkan urutan pertama adalah putri dari kopehano (yang punya acara). Tanah yang digunakan untuk upacara tersebut diambil ditempat khusus yaitu wadumapa kota Muna, tetapi dapat  juga diambil ditempat lain yang penting dapat dipastikan bahwa tempat itu bersih dan suci.
Katandano wite yaitu sentuhan tanah pada ubun-ubun, dahi dan selanjutnya seluruh persendian hingga pada telapak kaki kepada para peserta yang dipingit dengan etika sebagai berikut:
a.       Pegawai sarah mengambil tanah dari tempat yang telah disediakan (piring putih) kemudian melakukan proses katandano wite (sentuhan tanah) dari ubun-ubun turun ke dahi dengan menggambarakn huruf alif. Huruf alif adalah merupakan rahasia Tuhan yang tersimpul pada manusia. Menurut Rosimin Tawid bahwa Proses katandano wite digambarkan dengan huruf alif adalah merupakan isyarat bahwa peserta yang dikaria (dipingit) telah digodok dan diisi secara sempurnah terutama yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangga dan pengenalan diri secara utuh.
b.      Kabasano Dhoa (Pembacaan Do’a)
c.       Setelah katandano wite selesai maka proses selanjutnya adalah pembacaan doa selamat sebagai tanda syukur bahwa segsala kegiatan telah selesai dan mendoakan agar peserta karia dan seluruh jajaran keluarga serta seluruh yang hadir dapat menjalani kehidupan dimuka bumi penuh berkah dan tanggung jawab. Proses ini dalam tradisi Muna disebut dengan Dhoa harasulu. 

6.     Linda
Setelah rangkaian acara selesai maka pomantoto (pemandu) melakuan tari Linda sebagai pendahuluan yang kemudian disusul oleh peserta karia secara berurutan yang dimulai dari putri tuan rumah (parapu/kopehano)dan seterusnya disusul oleh peserta yang lain secara bergiliran berdasarka urutan duduknya. Linda ini disebut dengan Linda setangke kulubea yang artinya hanya memutar dan bergerak di seputar tempatnya saja. Tari Linda menjadi rangkaian dari pelaksanaan tutura karia karena: (1) Linda merupakan simbolik dari tari kelahiran kembali, (2) Linda sebagai tari kemenangan karena dalam proses karia mampu melewati tahapan demi tahapan.
Pada gadis pingitan yang disebut “ Nekaria/Kasampu Moose” ketika membawakan tari Linda biasanya diberikan hadiah oeh hadirin dan undangan yan dilemparkan diatas panggung. Tetapi biasanya penari yang lebih awal melemparkan samba (Selendang sutra) kepada keluarga dan yang dilempari wajib mengembalikan samba tersebut disertai hadiah. Proses itu disebut dengan istilah “Kagholuno Samba” .
Pemaknaan tari Linda yag dipertunjukan peserta karia dapat dimaknai dalam beberapa aspek yaitu ; (1) Dari aspek estetika bahwa sebagai perempuan harus mampu menunjukkan kemampuan sesuatu yang indah dan berseni sebagai lambang keempuan wanita yang menggambarkan jiwanya yang halus, (2) Dari aspek kejuangan bahwa perempuan yang dikaria telah mampu melampaui perjuangan melawan hawa nafsu dalam songi (3) Dari aspek pembentukan keluarga, bahwa dalam pertunjukan tari Linda yang dilakoni oleh peserta karia bisa terjadi sebagai langkah awal perkenalan antara laki-laki dengan perempuan untuk kemudian saling jatuh cinta yang dipertalikan dengan kaghol samba.  

7.     Kahapui (Membersihkan)
Esok harinya setelah acara kafosampu diadakanlah acara kahapui, yaitu acara ritual pemotongan pisang yang telah ditanam dan atau disiapkan dimuka rumah koparapuuno (kopehano). Pada acara ini dilakukan pogala yang diiringi dengan bunyi gong dan gendang yang berirama perang. Mengawali acara pagola, maka terlebih dahulu pomantoto memecahkan periuk (belangah tanah) sabagai aba-aba untuk memulai pagola. Peserta pagola mereka yang dilatih khusus atau memilki keterampilan silat tradisional Muna. Para peserta penari pagola dan atau mengaro beraksi dan saling berebut untuk memotong pisang lebih awal dan cara potonganya diusahakan satu kali langsung putus.         

8.     Kaghorono Bhansa dan atau Kafolantono Bhansa  
Sebagai penutup dari rangkaian acara upacara karia adalah kaghorono bhansa dan atau kafolantono bhansa. Waktunya tidak mengikat, boleh dilakukan sehari sesudah acara kahapui dan boleh juga lebih dari itu, karena tergantung kesepakatan dan kesempatan seluruh peserta karia dan keluarga. Tempat untuk melakukan acara tersebut pada sebuah kali/sungai yang airnya mengalir. Pakaian para gadis yang dipingit yaitu pakaian kalempangi yang diiringi oleh pomantoto, kedua orang tua, keluarga, sanak saudara, handai tolan, pemuda dan pemudi yang bersimpati dengan iringan gong dan gendang hingga tiba ditempat yang dituju.
Pada acara ini yang difolanto atau yang dighoro adalah Mayang Pinang (bhansa) yang pada saat dalam pingitan (kaghombo) dipakai untuk memukul-mukulkan badan kasampu Moose (peserta karia)
Filosofi dari acara ini adalah melepaskan segala etika buruk yang ada pada peserta karia. Tetapi oleh orang tua di Muna hal ini menjadi isyarat: jodoh, nasib dan takdir peserta karia. Walaupun disadari bahwa semua itu kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.          

2.     Sopan Santun dan Ucapan Salam
Suatu daerah tentu memiliki tradisi berbahasa yang santun terlebih lagi kita di daerah Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan adat ketimuran yang kental. Selain berbahasa, juga dituntut sikap dan pola tindakan yang sopan. Masyarakat etnik Muna juga mementingkan aspek ini. Dalam hal ini, ada aturan yang mesti kita taati baik itu tertulis maupun tidak tertulis. Kesopanan ditentukan oleh situasi pada saat bentuk-bentuk sapaan digunakan. Kesopanan ditentukan jika pemakaian bentuk-bentuk sapaan sesuai dengan situasi alamiah dan norma-norma menurut hubungan pembicara yang sesuai dengan aturan-aturan dalam suatu komunikasi. Sebaliknya pemakaian bentuk-bentuk sapaan yang tidak sesuai dengan aturan-aturan akan dianggap tidak sopan. Jika tidak ditentukan oleh kontak situasi, kesopanan ditentukan oleh perbedaan derajat kesopanan yang berkaitan dengan sperior atau imperior, jarak jauh atau keintiman, dan pertimbangan tinggi rendahnya suatu penghormayan yang ingin diungkapkan untuk disebut sopan atau tidak sopan.
Secara budaya orang yang lebih muda diharapkan menujukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Sebaliknya orang yang lebih tua diharapkan juga menunjukan tenggang rasa terhadap yang muda. Unsur timbal balik ini tercermin dalam pemakaian pronomina dalam bahasa Muna. Pronomina inodi ‘saya’ lebih umum dipakai daripada insaidi ‘saya’ oleh orang muda terhadap orang tua untuk menunjukkan rasa hormat. Sedangkan untuk penggunaan insaidi dalam percakapan biasa berarti kami.
Dalam bahasa Muna hanya dikenal status sosial bangsawan dan bukan bangsawan atau golongan biasa. Ciri golongan bangsawan nama diri selalu di awali dengan La Odhe (laki-laki) Wa Odhe (perempuan), sedangkan golongan bukan bangsawan diawali dengan La (laki-laki), Wa (perempuan). Jadi yang dimaksud dengan status sosial tinggi adalah kaum bangsawan tersebut. Golongan bangsawan ini selalu disapa dengan waompu atau kolaki. (Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada bentuk nomina diri).
Sapaan bahasa Muna bisa pula terjadi karena mempertimbangkan:
1.       Kedudukan pembicara dan lawan bicara
2.       Jenis kelamin pembicara lawan bicara
3.      Usia pembicara dan lawan bicara
4.      Kekeluaragaan.
5.      Situasi pembicara.
Contoh sopan santun yang berlaku disebagian masyarakat etnik Muna yaitu:
-    Tabea, amangka deki!
(Permisi, saya mau lewat dulu), diucapkan saat dikerumunan orang dan hendak melewati jalan di antara kerumunan orang tersebut. Bias juga saat berjumpa denga orang tua dan hendak jalan lagi.
-    Aeowa bhirita ingka dofobhasi dakumala we kamafaka.
(Saya bawa pesan, kita dipanggil di acara mufakat), disampaikan pada orang yang setingkat lebih tinggi dari kita.
-    Okumala nehamai?
(Mau ke mana?), biasa dipakai menyapa aatau bertanya pada teman sebaya.
-    dan sebagainya.

Dalam bahasa Muna dikenal juga sistem sapaan untuk menyapa orang yang belum dikenal dan menyapa sang khalik serta hewan atau benda yang sangat tabu bila diucapkan secara langsung.
Bahasa bukan hanya alat berinteraksi di antara anggota-anggota suatu komuniti semata-mata sebagaimana perkiraan anggapan umum selama ini, melainkan hakikatnya unsur yang pokok dari kebudayaan. Setiap daerah memiliki aspek kebahasaan yang merujuk pada terciptanya manusia yang berbudaya. Ada banyak hal yang menjadi titik tumpu di mana bahasa dibangun yang kemudian mencerminkan kearifan (sopan santun) suatu daerah.
Masyarakat etnik Muna juga meletakkan bahasa sebagai media untuk membentuk karakter seseorang dalam stratifikasi sosial. Keragaman latar berpikir mengantarkan masyarakat pada efek berbahasa dalam kesantunan, misalnya sapaan, ucapan salam, sebagai implementasi dari karakterisasi manusia yang berbudi. Masyarakat etnik Muna juga masih memegang teguh adat-adat dalam berucap dan berjumpa sua. Ada beberapa contoh ucapan salam yang masih buming hingga saat ini di kalangan masyarakat Muna, misalnya:
-         Mentaemo pisa, pokumala okumaradha?
Biasanya diucapkan saat bertemu dengan orang saat pagi hari dan hendak memulai aktivitas sehari-hari, misalnya kerja dan sebagainya.
-         Pedahae itu, ingka nomponamo awurako!
Diucapkan saat bertemu dengan orang yang sudah lama pergi dan baru bertemu kembali.
-         Kakodohono wuluno matamu!
Diucapkan pada sahabat atau keluarga yang baru datang dari daerah yang jauh. Ucapan ini sebenarya bernuansa kiasan dan begitu membudaya dikalangan masyarakat etnik Muna.
-         Tamealaimo deki bhela!
Diucapkan saat hendak menutup perjumpaan yang sebelumnya telah diawali dengan salam dan bercengkrama sejenak.

Masih banyak lagi ucapan-ucapan salam yang lain yang dikonstruksi untuk sebuah cara berbahasa yang merunut pada konsep sopan dan santun. Hal ini tentu masih harus dibudayakan sebagai bentuk aktualisasi diri dalam berkomunikasi yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai kedaerahan tanpa bermaksud mengaburkan bahasa yang sifatnya lebih ke arah formal.
Budaya malu menggunakan bahasa daerah saat bertemu dengan rekan atau kerabat yang satu etnik seyogyanya harus dihilangkan karena akan melunturkan bahasa daerah kita yang menjadi aspek penting pendukung bahasa persatuan kita, bahasa Indonesia. 


3.     Kesenian Tradisional
Ada banyak sendi-sendi kesenian di daerah Muna, yaitu:
a.      Seni Tari
Dari aspek tari daerah, banyak potensi kesenian yang lahir. Salah satu seni tari yang populer etnik Muna adalah tari Linda. Tari Linda pertama kali dikenal pada masa pemerintahan Muna La Ode Husain atau Omputo Sangia sekitar 350 tahun yang lalu. Pada saat itu sang raja hendak melangsungkan upacara pingitan (karia)  bagi putrinya Wa Ode Kamomono Kamba. Karia adalah suatu prosesi upacara adat yang harus dilalui oleh setiap gadis remaja. Pada saat itu mereka diajarkan nilai-nilai moral dan keagamaan. Pada puncak upacara, dipentaskan tari Linda yang diiringi lagu “La Kadandio”.
Saat ini tari Linda tidak hanya dipakai pada saat upacara adat seperti karia, tetapi juga sudah menjadi ikon daerah Muna dibeberapa festival yang dijadikan tangkai lomba, digelar saat perayaan-perayaan daerah, dan sebagainya. Tari Linda kini menjadi kebanggan masyarakat Muna karena sudah mampu ,meramba dunia (internasional) misalnya, di Australia, Italia, Belgia, dan beberapa negara lainnya.

b.     Seni Ukir
Salah satu aspek yang menjadi andalan masyarakat etnik Muna adalah seni ukir atau kerajinan tangan. Masyrakat Muna mempunyai berbagai jenis ukiran yang terbuat dari kayu jati (gambol). Beragam furniture seperti meja, kursi, jam dinding, hingga ukiran kuda sebagai symbol Kab. Muna dapat dijumpai. Para pengrajinnya dapat ditemui hamper di setiap sudut kota.

c.      Atraksi Perkelahian Kuda
Kesenian tradisional lain yang menjadi daya tarik di daerah Muna adalah atraksi perkelahian kuda yang sangat terkenal dan hanya terdapat di Kec. Lawa, 15 km dari Kota Raha, ibu kota Kab. Muna.
Pertunjukan dimulai pada saat kuda dibuat marah  dengan cara menarik kuda betina di depan kuda jantan. Sehingga kedua kuda jantan terpancing untuk dapat mendekati kuda betina. Pertunjukan kuda biasanya dilakukan pada pesta panen, menyambut musim tanam, atau acara-acara lain (festival budaya).

4.     Permainan Tradisional
Selain kesenian, aspek-aspek budaya yang begitu unggul juga terdapat di daerah Muna, diantaranya kaghati (layang-layang), kalego,
a.      Kaghati
Kaghati adalah layang-layang tradisional masyarakat Muna yang bahan-bahannya hanya terbuat dari daun gadung/ubi hutan (Discorea hispida) dan rangkanya terbuat dari bambu. Pada kondisi angin yang stabil, kaghati dapat terbang di udara selama tujuh hari tujuh malam (seminggu). Masyarakat Muna percaya bahwa kaghati bukan hanya permainan di kala senggang, tetapi juga memiliki arti yang dalam dan sakral.
Kaghati menjadi harapan dan kebanggan masyarakat etnik Muna karena saat ini, kaghati menjadi ikon Muna di mata dunia. Berbagai festival laying-layang digelar baik tingkat regional, nasional, maupun internasional dan menempatkan laying-layang tradisional Muna (kaghati) sebagai ikon utamanya. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, festival laying-layang internasional banyak digelar, diantaranya di Muna sendiri (Indonesia), Prancis, Jepang, Jerman, Malaysia, Brunai Darussalam, Italia, Belgia, dan sebagainya yang selalu menjadikan laying-layang tradisional Muna (kaghati) sebagai pemenang dan paling unik dari berbagai sisi dan kriteria penilaian.

b.     Kalego
Kalego adalah salah satu jenis perrmainan tradisional etnik yang sangat terkenal dikalangan petua-petua kampung. Permainan ini biasanya dilakukan di sebuah lapangan kecil (tana lapa) misalnya di halaman luas, lapangan, ataupun di mana saja yang memungkinkan dapat dimainkan. Permainan ini sangat sederhana yaitu bahannya adakah tempurung kelapa yang dibelah dua. Kalego dimainkan oleh perempuan dan lelaki yakni dua orang perempuan dan dua orang laki-laki atau bias juga semuanya laki-laki atau semuanya perempuan. Letak keunikan permaianan tradisional ini adalah semua pemain dituntut untuk dapat menggeser tempurung kelapa hingga mengenai tempurung kelapa yang lain yang sudah diatur dan didesain sedemikian rupa. Banyak kehebohan dan kelucuan bila kita menyaksikan permaianan ini. Masyarakat etnik Muna biasa menggelar permainan kalego  ini di acara-acara festival kebudayaan, perayaan adat, atau senagaja digelar sebagai ajang lomba tahunan.

c.      Dopohule
Kata dopohule berasal dari kata dasar “hule” yang artinya gasing. Permainan ini adalah jenis permainan tradisional musiman bagi sebagian masyarakat etnik Muna.  Hule/gasing ini dibuat dari kayu besi (kusambi) yang diukir sedemikian rupa sehingga menyerupai corong/kerucut yang khas dan unik. Hule/gasing ini pada bagian tengahnya dibuat semacam belahan di mana tali bias dililitkan sehingga ketika dilepas dengan sedikit tarikan dan tekanan hule dapat berputar dan berthan lama. Oleh masyarakat Muna, permainan dopohule dimainkan oleh beberapa kaum lelaki. Awalnya seseorang memutar gasing dan laki-laki lain memutar juga namun sebelumnya harus mengenai gasing yang diputar oleh orang pertama tadi. Penentuan pemenang adalah gasing yang dapat berputar dan bertahan lama atau gasing yang diputar ketika dihantam oleh gasing lain masih tetap berputar. Permainan ini begitu disenangi kalangan anak-anak saat ini.

d.     Dopobhinte
Sebuah permainan tradisional Muna yang banyak dimainkan oleh sekelompok anak kecil. Permainan ini cukup unik karena mereka memanfaatkan kulit kerang, batu, dan bambu belah sebagai alat permainannya. Pada mulanya mereka mengumpulkan kulit kerang terlebih dahulu kemudian menjejerkan kulit kerang pada bambu belah yang ujung kanan dan kirinya disanggah dengan batu masing-masing sattu atau dua buah. Selanjutnya, beberapa anak memegang batu pula sebagai alat untuk melempar bambu belah yang berisi kulit kerang tadi. Pemenang ditentukan dari banyaknya kulit kerang yang dikumpulkan oleh anak-anak setelah menjatuhkan kulit kerang yang ada pada lempengan bambu. Demikian permainan ini berlanjut hingga anak-anak kehabisan kulit kerang untuk bermain.

e.      Doposubha
Jenis permainan ini menggunakan media kayu sebagai alat main. Permainan ini tidak hanya dikenal oleh anak-anak kecil namun masyarakat dewasa pun turut memainkan permainan ini. Permainan ini sesungguhnya membawa dampak positif dan bermanfaat terlebih bagi anak-anak karena permaian ini melatih kemampuan berhitung anak. Permainan ini dimulai dengan mengambil sebatang kayu dengan diameter berapa saja (disesuaikan dengan keinginan). Kayu dipotong dengan dua bagian, pertama sebagai induknya(dinamai Ibu) kayu dipotong lebih panjang dari bagian kedua yaitu sebagai anak yang panjangnya kira-kira ukurannya sejengkal tangan. Bila sudah didapatkan dua bagian kayu, selanjutnya digali tanah tetapi tidak agak dalam karena sifatnya hanya sebagai penyanggah anak kayu.
Ada tiga (3) tahap untuk mendapatkan poin sampai memenangkan permaian ini. Pertama, kayu yang dipotong sejengkal tadi (dinamai anak) diletakan di antara lubang dan dicungkil sejauh mungkin  agar tidak tertangkap oleh penjaganya (anak-anak yang menjadi lawan). Kedua, anak kayu tadi dipukul sejauh mungkin dengan menggunakan ibu kayu agar tidak tertangkap pula. Dan ketika penjaga melempar kembali kita sebagai pemain dapat memukul pantul kembali. Saat anak kayu berhenti, mulailah kita menghitung dengan ukuran panjang ibu kayu. Dan tahap terakhir, anak kayu dibaringkan pada ujung lubang, dipukul ujungnya dan dengan menggunakan ibu kayu, anak kayu dipantul-pantulkan sebanyak mungkin sesuai dengan kesepakatan hitungan dan dipukul jauh. Semakin banyak pantulan yang kita lakukan maka sebanyak poin yang akan didapatkan karena masuk pada kategori kredit poin. Pemenang dari lomba ini adalah yang telah mencapai poin yang telah ditentukan (biasanya disepakati poin pemenang yaitu 1000, 2000, 5000, 10.000, dan seterusnya). Letak keunikan dari permainan ini adalah yang kalah mendapat sanksi dari pemenang berupa menggendong pemenang atau hukuman lain yang telah disepakati sebelumnya.

5.     Pakaian Adat
Pakaian adat Etnik Muna saat ini tercermin dari pakaian pengantin mengingat makin bergesernya nilai-nilai budaya akibat globalisasi. Namun dengan demikian, nilai-nilai yang tercermin dari suatu pakaian masih tercermin dari pagelaran adat yang masih tetap diselenggarakan masyarakat etnik Muna di Sulawesi Tenggara. Berikut adalah pakaian adat etnik Muna dari aspek pakaian pengantin baik pria maupun wanita.
a.      Pakaian Pengantin Pria
Pakaian pengntin pria etnik Muna terdiri atas baju, sarung, dan celana.
-    Bhadhu kopo (baju dasar)
Baju dasar pengantin pria disebut baju kopo yang maksudnya adalah baju yang tidak terbelah pada bagian dada, kecuali mempunyai lubang kepala sampai bagian atas dada. Baju kopo merupakan baju dasar taua baju dalam berlengan panjang. Bahan pembuatan baju kopo dari kain yang berwarna putih.
-    Balahadhadha (baju luar)
Di atas baju kopo dipasang pula baju luar yang disebut balahadhadha (baju yang terbelah pada bagian dada) dan berlengan panjang. Balahadhadha terbuat dari kain beludru warna hitam. Hiasan pada balahadhadha berupa renda berwarna perak atau kuning keemasan yang dilekatkan pada kedua pinggir baju bagian bawah dan pada kedua ujung lengan, serta sekeliling pinggir bagian bawah baju.
-    Salapandi (celana panjang)
Salapandi adalah celana panjang pengantin pria sebagai pasangan baju balahadhadha. Bahan dan warna salapandi sama dengan bahan dan warna dengan baju balahadhadha yaitu kain beludru warna hitam. Hiasan pada celana berupa renda warna kuning cemerlang yang dilekatkan pada sekeliling ujung celana bagian bawah.
-    Botu dan ledha (sarung)
Sarung pengantin pria biasanya berwarna hitam, merah dan kuning yang dihiasi dengan kotak-kotak yang terbuat dari benang putih cemerlang atau kuning keemasan sarung semacam ini disebut botu dan ledha.
Perhiasan Pengantin Pria
-    Perhiasan kepala
Tutup kepala (destar) penantin pria disebut kampurui. Kampurui terbuat dari tekstil, setidak-tidaknya bahan dan warna sama dengan bahan dan warna dari baju atau celana. Hiasan pada pinggir destar disebut dhambe yang terdiri dari renda-renda berwarna kuning keemasan. Bentuknya berdiri membalut kepala sehingga pengantin pria kelihatan jantan dan gagah.
-    Perhiasan pinggang
Pengantin pria memakai perhiasan pinggang yang disebut sulupe (ikat pinggang). Sulupe bahannya terbuat dari logam yang disepuh dengan air emas sehingga berwarna kuning keemasan. Sulupe mempunyai kepala sebagai tepat pertautan, kepala sulupe berbentuk lonjong atau persegi panjang yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran. Pada sulupe biasanya diselipkan sebilah keris menghadap keluar yang disebut tobho.

b.     Pakaian Pengantin Wanita
Pakaian pengantin wanita etnik Muna terdiri dari baju kombo, bia-bia (sarung), dan selendang.
-    Baju kombo (baju pengantin)
Baju kombo adalah pakaian pengantin etnis Muna. Baju kombo tidak terbelah pada bagian depannya kecuali mempunyai lubang kepala sampai bagian atas dada. Baju kombo terbuat dari kain tenunan daerah atau kain beludru. Hiasan yang terdapat pada baju berupa renda warna cemerlang yang dilekatkan pada sekeliling lubang kepada dan sekeliling ujung lengan baju serta pinggir ujung baju bagian bawah.
-    Bia-bia (sarung)
Sarung pengantin wanita terbuat dari bahan kain tenunan daerah yang bahan dasarnya dari benang cemerlang keputihan atau kuning keemasan dibentuk dalam garis-garis lurus yang dasarnya biasanya hitam, kuning, merah dan sebagainya. Sarung semacam ini disebut bia-bia.
-    Selendang
Selendang pengantin wanita dibuat dari bahan yang sama dengan bahan sarung, sedang warnanya disesuaikan dengan keserasian baju dan sarung. Hiasan pada selendang berupa renda warna cemerlang dan dikombinasikan dengan taburan manik-manik. Hiasan renda ditempelkan pada seluruh pinggir selendang.

Perhiasan Pengantin Wanita
-    Perhiasan kepala
Perhiasan kepala pengantin wanita disebut panto yang artinya tusuk kundai. Bentuknya merupakan sekuntum bunga yang terdiri dari beberapa tangkai yang menghiasi kepala pengantin. Bahannya terdiri dari kain dan lidi serta dihiasi dengan kain warna-warni sehingga berbentuk sekuntum bunga.  Di samping itu, untuk menguatkan konde digunakan tusuk konde yang bahannya terbuat dari logam yang disepuh dengan air emas.
-    Perhiasan talinga
Perhiasan teling disebut dali atau anting-anting yang disematkan pada telinga. Bentuknya menyerupai ayam, bahannya dari logam yang disepuh dengan air emas.
-    Perhiasan teling dan dada
Perhiasan leher juga merupakan perhiasan dada. Pada leher pengantin tergantung seuntai rantai pannjang yang pada rantai itu bergantung serupa mata uang logam yang jumlahnya sesuai dengan kemampuan keluarga pengantin. Hiasan yang bergantung pada rantai itu menjadi hiasan dada. Benda hiasan itu merupakan mainan dari rantai yang disebut salawi. Di samping itu, pada dada baju dipasang kancing yang terbuat dari meas atau perak yang disebut kunsi juga menjadi hiasan dada.
-    Perhiasan tangan
Pada perhiasan tangan terdapat perhiasan yang disebut simbi atau gelang tangan. Bahannya terbuat dari logam yang disepuh dengan air emas atau perak. Jumlah gelang yang dipakai pada setiap pergelangan tangan pengantin sebanyak empat buah.  Selain itu, padajari tangan terdapat cincin emas yang terbentuk belahan rotan disebut ampanelo.
-    Perhiasan kaki
Pada pergelangan kaki dikenakan gelang kaki yang disebut kinondo, bahannya terbuat dari logam yang disepuh dengan air emas. Jumlahnya sebanyak-banyaknya dua buah tiap kaki.

6.     Rumah Adat
Rumah adat etnik Muna atau rumah tempat tinggal masyarakat Muna pada umumnya disebut lambu. Kata lambu (rumah) mempunyai pengertian umum sebagai tempat berlindung dari panas/dingin, gangguan binatang buas (jahat), serta tempat untuk melaksanakan segala kegiatan kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Typologi tempat tinggal dari masyarakat etnik Muna, baik yang disebut lambu, kaombela, rompo/bhantea, lambu bhalano atau kamali, berbentuk segi empat. Typology demikian bertolak dari penghayatan budi dan rasa bahwa manusia terdiri atas muka, belakang, sisi kiri dan kanan.
Rumah adat etnik Muna yang menjadi tempat tinggal umumnya terdiri atas bagian-bagian yang sebagian masyarakat Muna dikenal sebagai berikut:
-       Sandi, yaitu tempat bertumpunya tiang rumah sehingga ujung tiang tidak mudah lapuk, biasanya dibuat dari batu yang rata agar tidak bergeser atau goyang saat menjadi tumpuan.
-       Katumbulao, yaitu tiang utama yang duduk pada sandi yang berbentuk segiempat atau bulat.
-       Garaga, yaitu kayu-kayu yang dipasang pada bagian bawah sebagai tempat tumpuan lantai. Biasanya terbuat dari kayu bulat atau yang dibuat segiempat lebih kecil dari katumbulao.
-       Hale (lantai) yang terbuat dari bamboo, batang pinang, atau kayu-kayu hutan yang kecil.
-        Palengku (tangga rumah) dibuat dari kayu yang tidak mudah lapuk.
-       Karondomi (dinding) terbuat dari anyaman bambu yaitu jelaja, anyaman daun kelapa tua atau papan.
-       Kantee, yaitu pembatas yang dipasang pada pintu yang tingginya kurang lebi satu hasta yang secara simbolis dimaknai bahwa laki-laki tidak boleh masuk dalam rumah tanpa izin atau rumah tersebut tidak ada laki-laki. Jadi, kantee sebagai kode adat bertamu.
-       Kalonga dan dhanila, yaitu celah atau jendela berbentuk segiempat, layaknya rumah-rumah pada umumya.
-       Ghato (atap) terbuat dari daun nipah atau daun rotan.
-       Ghilei (laying-layang rumah) yaitu bagian rumah yang menutupi rumah yang berbentuk limas, biasanya terdapat di depan atau di belakang rumah.
-       Kawuwu (bumbungan rumah) yakni penutup bagian atas rumah
-       Saho, yaitu kayu yang berfungsi sebagai tempat atap dipasang.

Rumah adat etnik Muna juga memiliki susunan ruangan, yaitu karete (halaman rumah), olo-lemangku (ruang tamu), kaodoha (ruang/tempat tidur), tombi (ruang tambahan/serambi/teras), bhate-bhate (loteng), ghabu (dapur), ghahu (ruangan atas/langit-langit rumah), ghahu-mburake (celah pada loteng). Selain itu, rumah adat etnik Muna juga terbagi dalam bebarapa bagian menurut fungsi sosial atau system sosial yaitu lambu (rumah masyarakat pada umumnya), lambu bhalano (rumah pejabat), dan kamali (rumah raja).

7.     Aneka Makanan Tradisional
Hal lain yang perlu diketahui dalam proses mengenali etnik suatu daerah adalah mengenali aspek makanan tradisionalnya. Masyarakat Muna memiliki aneka makanan tradisional yang khas dan tidak terdapat di daerah lain, misalnya kolope, katumbu, kahogo-hogo/kabuto, kambeweno kahitela, kaparende kaliwu meliura, sirkaya kahitela, dan sebagainya.
a.       Kolope
Kolope yang biasa dikenal dengan  gadung/ubi hutan merupakan salah satu jenis tumbuhan yang begitu potensial tumbuh di daerah Muna. Oleh masyarakat setempat, tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang menjalar dan multi fungsi yakni daunnya sebagai bahan membuat layang-layang (kaghati) dan umbinya bias dimanfaatkan sebagai makanan tradisional yang sifatnya musiman (musim kemarau).
Proses mengolah  umbi gadung menjadi makanan olahan masyarakat tidak instan. Mengolahnya harus melalui beberapa tahapan dan jika ada tahapan yang tidak dilalui atau ada kesalahan/tidak teliti dalam mengolahnya maka akan menyebabkan keracunan. Proses mengolah dimulai dari pengambilan ubi yang tumbuh liar dalam hutan, selanjutnya dikupas dan diiris tipis, kemudian dijemur hingga kering selam beberapa hari. Irisan-irisan ubi yang sudah kering selanjtnya dikarungi untuk dicuci dan direndam selama beberapa malam di laut sesuai dengan keinginan pemgolahnya. Selama proses perendaman, ada beberapa tahap lagi yaitu membersihkan, mengeringkan, dan menyaringnya. Kolope yang sudah siap disaring kemudian selanjtnya dipadatkan pada keranjang dan selanjtnya dibentuk dengan cetakan tempurung kelapa dan diikat dengan janur atau daun enau.  Biasanya masyarakat etnik Muna cenderung membagi-bagikan hasil olahan kepada kerabat terlebih dahulu sebagai bentuk menjaga hubungan kekeluargaan untuk kemudian dipasarkan sebagai salah satu mata pencaharian musiman. Untuk dijadikan makanan, kolope dikukus selama beberapa menit setelah dicuci, dan bila sudah selesai dikukus dapat disajikan dengan kelapa parut. Cita rasa khas dapat Anda temui bila mengkonsumsi kolope ini.

b.      Kabuto
Kabuto yaitu salah satu jenis makanan tradisional Muna yang bahannya dari ubi kayu namun melalui beberapa proses hingga menjadi makanan olahan. Pertama, dimulai dari mengupas ubi kayu hingga bersih lalu dijemur selama beberapa hari hingga ubi kayu berjamur atau menunjukan tanda-tanda hitam. Kedua, ubi kayu yang sudah kering dan siap untuk diolah menjadi makanan selanjutnya direndam dengan air, dan biasanya beberapa masyarakat merendamnya semalaman untuk mendapatkan hasil yang lebih baik – dalam hal ini ubi yang empuk dan legit. Ketiga, ubi kayu yang sudah direndam kemudian diiris tipis lalu dikukus. Terakhir, bila sudah matang maka selanjutnya untuk menambah kenikmatannya dapat ditambahkan dengan taburan kelapa parut.

c.       Kambuse
Kambuse yaitu jenis makanan tradisional etnik Muna yang bahannya langsung dari jagung hasil panen rakyat setempat. Makanan ini umumnya standar yakni jagung dicuci bersih lalu direbus hingga matang, selanjutnya dapat disajikan dengan ikan kering yang dibakar atau digoreng. Namun, banyak masyarakat Muna mengolah jagung dengan berbagai jenis, yaitu:
-    Katumbu, yaitu jagung muda yang diolah dengan cara digiling atau ditumbuk hingga halus kemudian dicampur dengan gula merah, sedikit garam dan gula, dan dibungkus dengan daun jagung lalu dikukud hingga matang. Katumbu biasanya banyak dibuat pada musim-musim tanam jagung.
-    Kapusu, yaitu jagung tua yang dimasak dengan campuran kapur yang dimasak berkali-kali hingga kulit biji jagung terkelupas dan tampak membengkak. Biasanya makanan olahan ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk dijadikan katumbu juga namun dengan tidak menambahkan bahan apapun.
-    Kambeweno kahitela, makanan ini adalah jenis makanan tradisional yang bahan utama pembuatannya adalah jagung yang banyak terdapat di daerah Muna. Cara pengolahannya adalah jagung dimasak dengan kapur sirih, setelah setengah masak diangkat dan dicuci bersih, giling halus kemudian dicampur dengan kelapa parut. Selanjutnya dibungkus dengan daun uru, diikat rapi lalu direbus sampai matang.

d.      Kaparende Kaliwu Meliura
Makanan ini adalah masuk dikategori lauk yaitu sup kerang meliura. Kerang laut paling potensial juga di daerah Muna sehingga banyak masyarakat yang mengolahnya sebagai lauk.  Kaparende kaliwu meliura dengan bahan dasar kerang dan diolah dengan sejumlah bumbu yaitu bawang, merica, garam, batang daun bawang, jahe, keladi, jagung muda (pasele). Selanjutnya kerang dicuci bersih lalu direbus hingga matang. Bumbu yang sudah ada ditumis sampai harum kemudian rebusan kerang dimasukan bersama keladi yang dipotong kecil dan pasele juga daun bawang. Selanjutnya sup siap dihidangkan.

e.       Sirkaya Kahitela
Makanan ini sangat jarang ditemui pada hari-hari biasa. Masyarakat etnik Muna biasanya membuat makanan ini pada acara-acara adat misalnya karia, katoba, kangkilo, kawinan, dan sebagainya. Makanan ini masuk pada kategori makanan penutup (desert) dengan bahan dasar jagung dan didukung oleh bahan lainnya yakni gula pasir, telur ayam, susu/santan kental dan sirup. Langkah pembuatannya yaitu dimulai dengan membuat caramel dari gula, selanjutnya sisa gulam jagung, susu/santan kental dan sirup diblender hingga halus. Hasilnya kemudian dituang pada cetakan yang sudah diisi caramel sebelumnya lalu ditim dalam oven hingga matang. Setelah dingin dikeluarkan dari cetakan dan siap dihidangkan.

8.     Perayaan
Setiap daerah tentu memiliki khasanah budaya yang sangat beragam. Salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari bagian sendi-sendi kebudayaan ini adalah perayaan yang merupakan bagian dari warisan budaya bagia suatu daerah. Di Muna sendiri, masyaraktnya masih mempertahankan nilai-nilai budaya dari sebuah perayaan. Aneka perayaan yang masih menjadi tradisi/warisan budaya yaitu tobheha (acara panen padi/jagung), kaago-ago (acara membuka lahan baru), kampua (acara potong rambut), katisa (musi, tanam), weano wamba (hajatan), dan sebagainya.

a.      Tobheha
Tobheha merupakan perayaan yang digelar masyarakat etnik Muna pada saat musim panen tiba, baik panen padi maupun jagung. Pada perayaan ini biasanya masyarakat menggelar aneka permainan kesenian (modero, kabhanti, kantola, dan sebagainya) baik tradisional maupun moderen. Di sebagian daerah atraksi perkelahian kuda sangat mendominasi acara sebagai bagian dari rasa syukur dan kebahagian masyarakat saat musim panen tiba.

b.     Kaago-ago
Kaago-ago merupakan perayaan tradisional masyarakat etnik Muna yang sarat makna, religiusitas, ritual, penghargaan terhadap leluhur dan penghuni bumi selain manusia (yang bersifat gaib). Kaago-ago digelar pada saat masyarakat membuka lahan baru atau juga saat ada penghuni kebun ada yang sakit. Dalam perayaan ini yang lebih kental adalah nilai-nilai ritual dan kesakralan sebuah prosesi adat, misalnya ayam sebagai tumbal, kameko (air sadapan dari pohon enau yang dipercaya sebagai air minum para jin), mendirikan tiang bambu yang diretakan ujungnya dan disumpal dengan tempurung kelapa kering dan selanjutnya diikat dengan kain tiga warna kecil yaitu putih, merah, dan kuning, terakhir dimantrai. Sampai saat ini, masyarakat masih melestarikan perayaan ini di tengah himpitan moderenitas dan globalisasi.

c.      Kampua
Kampua juga merupakan jenis perayaan yang dihadirkan lain oleh masyarakat etnik Muna. Secara umum, kampua (acara potong rambut) dilaksanakan seperti layaknya dalam tradisi aqiqahan. Namun yang lain adalah ketika prosesi inti kampua selesai, dalam hal ini barasanji dan pemotongan rambut, maka perayaan berlanjut dengan nuansa kemeriahan.
Ada sesuatu yang berbeda dalam pelaksanaan perayaan ini. Biasanya kemeriahan dalam kampua akan ada ketika keluarga yang akan menggelar kampua dikaruniai sepasang anak laki-laki dan perempuan.
Puncak kemeriahan perayaan kampua adalah pada saat selesai shalat Dzuhur, arak-arakan akan digelar. Semua persiapan mulai dari pohon pisang, bhengke/geraba (periuk dari tanah liat), kayu yang diikat dan dibakar ujungnya sebagai ewanga (alat silat), parang dan keris, para penari hingga seorang sando (tokoh adat perempuan/yang melahirkan anak).
Setelah semua perangkat prosesi selesai, acara arak-arakan pun mulai digelar di jalan hingga sampai pada batas tempat yang telah ditentukan. Dalam arak-arakan, yang meriah adalah hadirnya silat Muna yang begitu khas diringi pukulan gong yang merdu pula. Ketika sampai pada batas tempat yang telah ditentukan, seorang sando mulai melakukan ritual dengan mencari sebuah pohon untuk kemudian menggantung pohon pisang dan kelapa yang ditutup dengan kantofi (anyaman janur yang dibentuk menyerupai kerucut) sebagai sebuah persembahan dan seorang tokoh adat laki-laki memanah kantofi yang berisi kelapa tersebut dengan cara meniup anak panah yang terbuat dari lidi enau ayng dibungkus dengan kapuk dengan corong bambu kecil sebagai wadah saat anak panah hendak ditiup.
Setelah selesai, selanjutnya digelar acara minum kameko (tuak tradisional khas Muna) dibawah pohon yang digantungkan kantofi. Ketika prosesi di batas telah selesai, selanjtnya arak-arakan pulang ke rumah yang mengadakan acara kampua untuk selanjutnya melakukan proses lain. Ketika sampai, rombongan arak-arakan mengelilingi rumah sebanyak 3 atau 7 kali putaran. Selanjutnya pohon pisang yang sudah disiapkan ditanam dihalaman rumah dan di bawahnya disimpan bhengke/gerabah. Pemain silat kemudian mengadu silatnya dan memotong pisang serta memecahkan bhengke/gerabah.
Anak yang diaqiqah selanjutnya didudukan di atas pohon pisang yang sudah ditebang. Selanjtnya imam kampung mengambil sedikit tanah lalu diusapkan pada titik-titik tubuh seperti dahi, ketiak, pusat, kaki, dan bagian tubuh yang lain sebagai bentuk pengenalan terhadap tanah kelahirannya. Setelah selesai, kemudian digelar acara tari Linda oleh para penari seperti saweran hingga selesai.
Acara perayaan kampua hingga saat ini masih terjaga ketradisionalannya karena masyarakat etnik Muna percaya bahwa banyak filosofi, manfaat dan niali-nilai adat yang khas yang harus tetap dipertahankan.

d.     Katisa
Katisa merupakan acara menyambut musim tanam dengan menjalin kekerabatan sesama masyarakat. Acara katisa secara umum hanpir sama pelaksanaannya di setiap daerah karena yang dibangun adalah semangat kegotongroyongan.

e.      Weano wamba
Weano wamba yang berarti “asal kata/bahasa/ucapan”. Weano wamba adalah realisasi dari sebuah nazar yaitu hajatan, misalnya seseorang yang bernazar bahwa akan menggelar acara kampua yang meriah jika anaknya lahir nanti, dan sebagainya.

9.     Cerita Rakyat
Masyarakat Etnik Muna juga memiliki warisan tradisi cerita rakyat yang masih terjaga orisinalitasnya karena sudah banyak orang yang mengenalnya, baik itu dari buku-buku cerita rakyat yang ditulis oleh masyarakat etnnik Muna sendiri maupun didengar langsung dari orang Muna. Banyak cerita rakyat daerah yang berkembang yaitu La Sirimbone, Wa Bunga Bansa Patola dan Wa Sama Samamparia, dan masih banyak lagi cerita lainnya. Berikut salah satu cerita daerah dari daerah Muna.
La Sirimbone

Alkisah, di sebuah daerah di Sulawesi Tenggara, Muna, hiduplah seorang janda cantik bernama Wa Roe bersama seorang anak laki-lakinya yang masih kecil bernama La Sirimbone. Mereka tinggal di sebuah gubuk di pinggir kampung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, Wa Roe bekerja mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar.
Pada suatu hari, datang seorang pedagang kain dari negeri seberang yang bernama La Patamba. Ia menawarkan barang dagangannya dari satu rumah penduduk ke rumah penduduk lainnya. Ia memulainya dari sebuah gubuk yang terletak di paling ujung kampung itu, yang tidak lain adalah tempat tinggal Wa Roe. Alangkah terkejutnya La Patamba saat melihat penghuni gubuk itu adalah seorang perempuan cantik jelita.

“Aduhai, cantik sekali perempuan ini,” ucapnya dalam hati dengan takjub.
Dengan perasaan gugup, La Patamba menawarkan kain dagangannya kepada Wa Roe. Namun, Wa Roe tidak membeli karena tidak mempunyai uang. Setelah itu, La Patamba mohon diri untuk menawarkan untuknya kepada penduduk lainnya. Dalam perjalanan berkeliling kampung, wajah Wa Roe selalu terbayang-bayang di depan matanya.
Saat hari mulai gelap, La Patamba kembali ke rumahnya di negeri seberang. Keesokan harinya, La Patamba kembali ke kampung itu. Namun, ia kembali bukannya untuk berdagang, melainkan ingin meminang Wa Roe. Untuk menghargai warga di kampung itu, La Patamba terlebih dahulu meminta restu kepada sesepuh kampung itu dan sekaligus meminta tolong untuk menemaninya pergi meminang Wa Roe. Setelah mendapat restu, maka berangkatlah La Patamba bersama sesempuh kampung itu ke tempat Wa Roe.
“Maaf, Wa Roe, jika kami datang secara tiba-tiba tanpa memberitahukanmu sebelumnya. Maksud kedatangan kami adalah ingin menyampaikan pinangan La Patamba,” ungkap sesepuh kampung itu.
Mendengar hal itu, Wa Roe terdiam sejenak. Ia betul-betul tidak menyangka, begitu cepatnya La Patamba mengambil keputusan ingin menikah dengannya. Padahal ia baru sekali bertemu dan belum saling mengenal. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu memikirkan dirinya, tapi ia mengkhawatirkan anaknya. Setelah berpikir, Wa Roe bersedia menerima pinangan La Patamba.
“Baiklah. Saya menerima pinangan La Patamba, tapi dengan syarat ia bersedia menyayangi anakku, La Sirimbone,” jawab Wa Roe.
Mendengar jawaban dari Wa Roe, sesepuh kampung itu pun balik bertanya kepada La Patamba tentang syarat yang diajukan Wa Roe itu.
“Bagaiman menurutmu, La Patamba? Apakah kamu sanggup memenuhi syarat itu?”
“Aku bukanlah orang yang membenci anak. Aku akan menyayangi La Sirimbone seperti halnya anak kandungku sendiri,” janji La Patamba.
Wa Roe pun terbuai dengan kata-kata manis La Patamba. Akhirnya mereka pun menikah. Pada awalnya mereka hidup bahagia. La Patamba sangat menyayangi La Sirimbone seperti anak kandunyanya sendiri. Setiap pulang dari berdagang kain dari satu kampung ke kampung lainnya, ia selalu membawakannya oleh-oleh. Namun, kebahagiaan itu hanya berjalan satu bulan. La Patamba tiba-tiba membenci anak tirinya tanpa alasan. Hampir setiap hari ia memarahi dan memukuli La Sirimbone. Bahkan ia menyuruh istrinya agar membuang La Sirimbone ke tengah hutan. Namun, Wa Roe menolak perintah itu.
“Bang! Masih ingatkah dengan perjanjian kita sebelum menikah? Bukankah Abang berjanji akan menyayangi La Sirimbone seperti anak kandung Abang sendiri? Tapi, mengapa tiba-tiba Abang begitu membencinya?”
“Ah, persetan dengan janji itu! Waktu itu aku hanya berpura-pura memenuhi syarat itu agar aku dapat menikahimu,” jawab La Patamba dengan marah.
Wa Roe bersama anaknya menjadi ketakutan mendengar kemarahan La Patamba. Akhirnya, Wa Roe pun memutuskan untuk membuang anaknya ke tengah hutan dan segera mempersiapkan bekal untuknya. Sambil mempersiapkan bekal, air matanya berderai membasahi pipinya, karena sedih memikirkan nasib anaknya yang malang.
Keesokan harinya, berangkatlah Wa Roe bersama La Sirimbone menuju hutan. Setelah melewati tujuh buah lembah dan tujuh buah gunung, mereka pun berhenti di sebuah hutan lebat dan sepi.
“Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa meninggalkanmu sendiri di sini,” kata Wa Roe sambil memeluk anak semata wayangnya.
“Ibu...! Bagaimana dengan nasibku, Bu?” tanya La Sirimbone mengiba sambil menangis.
“Pergilah sendiri melewati gunung dan lembah! Jagalah dirimu baik-baik! Ibu akan mendoakanmu semoga Tuhan selalu melindungimu,” jawab Wa Roe seraya berpamitan pulang.
Setelah ibunya pergi, La Sirimbone pun melanjutkan perjalanannya menelusuri hutan dan lembah. Sudah tujuh hari tujuh malam ia berjalan sendiri dan sudah tujuh lembah dan gunung yang ia lewati.
Pada suatu hari, ketika menyusuri sebuah hutan, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat besar. 
“Wah, Aneh! Kenapa ada tapak kaki menusia sebesar ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh karena penasaran, ia pun mengikuti tapak kaki raksasa itu. Setelah beberapa jauh berjalan, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara gemuruh. Alangkah terkejutnya ia saat mendekati sumber suara itu. Ia melihat seorang raksasa perempuan sedang menumbuk. Ia pun menjadi gemetar ketakutan dan segera mendekap di betis raksasa perempuan itu.
“Hei, anak manusia! Siapa kamu dan kenapa berada di tengah hutan ini?” tanya raksasa perempuan itu.
Dengan perasaan takut, La Sirimbone pun menceritakan tentang dirinya dan semua yang dialaminya hingga ia sampai di hutan itu. Mendengar cerita itu, rakasasa perempuan itu pun merasa iba dan mengajak La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. Di rumah itu, La Sirimbone dimasukkan ke dalam sebuah kurungan.
“Kenapa aku dimasukkan ke dalam kurungan?” keluh La Sirimbone.
“Maaf, La Sirimbone! Aku sengaja memasukkanmu ke dalam kurungan ini agar kamu tidak dimakan oleh raksasa laki-laki. Ia selalu berkeliaran di hutan ini mencari mangsa,” jawab raksasa perempuan itu.
La Sirimbone pun menuruti perintah raksasa perempuan itu, karena takut dimakan oleh raksasa laki-laki. Demikianlah, setiap hari La Sirimbone tinggal di dalam kurungan hingga ia tumbuh menjadi dewasa.
Oleh karena jenuh tinggal terus di dalam kurungan, La Sirimbone meminta izin untuk pergi berjalan-jalan dan berburu binatang di dalam hutan itu. Ia pun diizinkan dan dibuatkan panah oleh raksasa perempuan itu. Setelah setengah hari berburu, ia pun memperoleh banyak binatang buruan.
Tiga hari kemudian, La Sirimbone kembali meminta izin untuk pergi menangkap ikan di sungai yang banyak ikannya. Ia pun diizinkan dan dibuatkan bubu (salah satu alat penangkap ikan). Bubu itu ia pasang di sungai. Alangkah gembiranya ia, karena banyak ikan yang terperangkap ke dalam bubunya. Sebelum pulang, ia memasang kembali bubunya di sungai itu.
Keesokan harinya, La Sirimbone kembali ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Alangkah terkejutnya ia saat melihat bubunya kosong, tidak seekor ikan pun yang terperangkap di dalamnya.
“Aneh! Kenapa bubuku kosong? Padahal masih banyak sekali ikan di sungai ini,” keluh La Sirimbone dalam hati.
Akhirnya, ia kembali memasang bubunya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Ketika sampai di sungai, ia melihat jin sedang mengangkat bubunya. Oleh karena kesal, La Sirimbone pun menyerang jin itu. Maka terjadilah perkelahian dahsyat antara jin dan La Sirimbone. Dalam perkelahian itu La Sirimbone berhasil mengalahkan dan menangkap jin itu. La Sirimbone tidak mau melepaskannya, hingga akhirnya jin itu berjanji akan memberikan sebuah jimat berupa cincin yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan mampu menghidupkan kembali orang mati.
Setelah menerima jimat itu, La Sirimbone bergegas pulang ke rumah raksasa perempuan dengan menyusuri tepi sungai. Di tengah perjalanan, ia melihat seekor babi yang sedang berjalan di atas air.
“Hei, Babi! Bagaimana kamu bisa berjalan di atas air?” tanya La Sirimbone heran.
“Aku memakai jimat kalung,” jawab babi itu.
“Maukah kamu memberikan jimat itu kepadaku?” pinta La Sirimbone.
Babi itu pun memberikan jimat kalungnya kepada La Sirimbone. Kemudian La Sirimbone mengalungkan jimat itu ke lehernya dan bisa berjalan di atas air. Tidak beberapa lama berjalan, ia bertemu dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan.
“Hei, Pak Nelayan! Alat apa yang Bapak gunakan menangkap ikan di sungai?” tanya La Sirimbone.
“Saya menggunakan sebuah keris pusaka yang dapat menikam sendiri jika diperintah,” jawab nelayan itu.
Oleh karena tertarik, La Sirimbone pun meminta keris itu kepada si nelayan. Si nelayan pun memberinya dengan suka rela. Setelah itu, La Sirimbone kembali ke darat untuk meneruskan perjalanannya dengan menyusuri hutan. Di tengah perjalanan, ia bertemu orang-orang yang sedang mengusung jenazah. Ia pun memerintahkan orang-orang itu untuk menurunkan jenazah itu dari usungannya. Setelah membuka kain kafan jenazah itu, ia segera menggosok-gosokkan cincin pemberian jin di pusar jenazah itu. Seketika itu pula, jenazah itu hidup kembali. Semua pengantar jenazah tercengang melihat peristiwa itu. Setelah itu, La Sirimbone pulang ke rumah raksasa perempuan. Sesampainya di rumah raksasa perempuan, La Sirimbone pun menceritakan semua peristiwa yang dialaminya.
Pada hari berikutnya, La Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu binatang di tempat yang agak jauh. Raksasa perempuan pun mengizinkannya, karena sudah tidak khawatir lagi dengan La Sirimbone. Apalagi La Sirimbone telah memiliki beberapa senjata pusaka. Setelah berpamitan, ia pun berangkat dengan menyusuri hutan dan lembah.
Saat melewati sebuah perkampungan, La Sirimbone memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meminta air minum kepada penduduk kampung karena kehausan. Ia pun berhenti di depan sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka. Ia berpikir bahwa penghuni rumah itu ada di dalam. 
“Permisi! Apakah ada orang di dalam?” tanya La Sirimbone sambil mengetuk pintu rumah itu.
Alangkah terkejutnya La Sirimbone saat melihat seorang gadis cantik jelita muncul dari dalam rumah. Namun, wajah gadis cantik itu tampak murung dan gelisah.
“Maaf kalau saya mengganggu. Bolehkah saya meminta seteguk air minum?” pinta La Sirimbone.
“Boleh. Silahkan duduk dulu!” seru gadis itu seraya masuk ke dapur.
Tidak berapa lama, gadis itu kembali sambil membawa segelas air minum dan memberikannya kepada La Sirimbone.
“Terima kasih, gadis cantik!  ucap La Sirimbone.
“O, iya! Perkenalkan, nama saya La Sirimbone. Saya hanya kebetulan lewat di kampung ini dan hendak pergi berburu di sebuah hutan tidak jauh dari sini. Kamu siapa?” tanya La Sirimbone.
“Aku Wa Ngkurorio,” jawab gadis itu dengan suara lirih.
“Kenapa kamu tampak sedih dan murung seperti itu?” tanya La Sirimbone sedikit memberi perhatian.
“Iya. Saya memang sedih, karena ajalku sebentar lagi tiba,” jawab gadis itu.
“Apa maksdumu, Wa Ngkurorio?” tanya La Sirimbone penasaran.
“Saya sekarang sedang menunggu giliran dimakan oleh seekor ular naga. Saudara-saudaraku yang tujuh orang, kini sudah habis dimakan oleh ular naga itu. Yang hidup sekarang tinggal saya, ayah, dan ibu saya,” jelas Wa Ngkurorio dengan perasaan sedih.
“Sebaiknya kamu segera meninggalkan tempat ini. Saya khawatir kamu juga akan dimakan oleh ular naga itu,” tambah gadis itu.

“Kamu jangan khawatir, ular naga itu tidak akan memakan kita. Jika dia datang, saya akan melawannya dengan senjata pusaka ini,” kata La Sirimbone sambil mengeluarkan keris pusakanya dari balik bajunya.
“Tapi, ular naga itu sangat besar dan ganas. Walaupun seluruh penduduk di sini menghadapinya tidak akan sanggup mengalahkannya,” ucap Wa Ngkurorio dengan perasaan cemas.
“Sudahlah, Wa Ngkurorio! Jangan takut, saya akan melumpuhkannya dengan keris pusakaku yang sakti ini,” jawab La Sirimbone menenangkan hati gadis itu.
Menjelang sore hari, ular naga itu datang ke rumah Wa Ngkurorio. Mengetahui hal itu, gadis itu tiba-tiba menggigil ketakutan, sedangkan La Sirimbone tenang-tenang saja. Saat ular naga itu hendak masuk ke dalam rumah itu, La Sirimbone segera berbisik kepada keris pusakanya. Dengan secepat kilat, keris itu meluncur masuk ke dalam perut ular naga itu. Dalam sekejap, ular naga itu pun mati seketika, karena seluruh isi perutnya dikoyak-koyak oleh keris itu.
Wa Ngkurorio takjub melihat keampuhan keris pusaka La Sirimbone. Ia pun berterima kasih kepada La Sirimbone karena telah menyelamatkan nyawanya. Tidak berapa lama, para penduduk pun berdatangan ingin melihat ular naga yang sudah tergeletak di tanah itu. Mereka sangat gembira, karena kampung mereka telah aman dari ancaman ular naga pemakan manusia itu.
Untuk merayakan kegembiraan itu, mereka mengadakan pesta besar-besaran, dan untuk membalas jasa La Sirimbone, penduduk kampung itu menikahkan La Sirimbone dengan Wa Ngkurorio. Akhirnya, La Sirimbone tinggal di kampung itu dan hidup berbahagia bersama Wa Ngkurorio.



You Might Also Like

0 comments: