ASPEK BUDAYA ETNIK MUNA
Suatu daerah tentu lahir
dari rahim budaya yang begitu beragam dengan keunikan dan kekhasan masing
sebagai wujud khasanah budaya. Sulawesi Tenggara sebagai kawasan wilayah Timur
Indonesia juga memiliki potensi budaya dari ragam etnik/suku yang ada,
diantaranya Muna, Bugis, Buton, dan Tolaki. Masing-masing daerah membawa
karakteristik budaya yang unggul dan berbeda dengan etnik lain ditiap daerah. Berikut
disajikan keunggulan budaya yang khas dan potensial salah satu daerahnya yaitu
etnik Muna. Aspek budayanya mencakup asal-usul dan adat istiadat, sopan santun
dan ucapan salam sebagai bentuk dari kearifan lokal, aneka kesenian, permainan
tradisional, pakaian daerah, rumah adat, aneka makanan tradisional, perayaan,
serta cerita rakyat.
1. Asal-Usul dan Adat Istiadat
Kata Muna berasal dari
kata “Wuna” yang artinya “Bunga”. Sebutan nama “Wuna” berdasarkan pada penemuan
“Kontu kowuna” (batu berbunga) yang terletak di kota Wuna, yaitu 22 km sebelah
selatan kota Raha Ibu kota kabupaten Muna. Batu tersebut berbentuk kecurut,
besarnya seperti sebuah rumah dengan tinggi 7 m dari permukaan tanah. Bagian
sekelilingnya sampai permukaan bagian atas ditumbuhi semacam bungan berwarna
putih dan berumpun dan sangat indah tampaknya. Itulah sebabnya Pulau Muna biasa
disebut juga “Witeno Wuna” artinya “Tanah Muna”.
Ketika Belanda mulai
menanamkan pengaruh kekuasaannya di Muna tahun 1906 sebutan Wuna “diganti
dengan “Muna” yang disesuaikan dengan ucapan atau lidah orang Belanda, dimana sebutan
konsonan “W” menjadi “M”. Sejak itulah sebutan Muna menjadi populer dan secara
umum digunakan oleh masyarakat, terutama orang asing atan yang berasal dari luar daerah muna.
Walaupun demikian penduduk asli Pulau Muna, sebutan “Wuna” tidak hilang, melainkan
tetap digunakan dalam percakapan sehari-hari terutama sesame orang Muna.
Perlu ditambahkan pula
bahwa disebelah Utara tempat batu berbungan ( 300m) terdapat bangunan masjid
tua yang dikenal sebagai masjid pertama yang didirikan di Pulai Muna. Letak
masjid tersebut sangat strategis berada pada ketibggian ± 1.000 m diatas
permukaan laut maka nampak seakan-akan dikelilingi oleh lautan. Tidak heran
tempat tersebut biasa disebut pula sebagai pusat kota Muna.
Berdasarkan
sumber-sumber sejarah menunjukkan bahwa pulau Muna telah dihuni manusia sejak
zaman pra sejarah. Bukti-bukti tentang adanya kehidupan pada zaman itu antara
lain didasarkan pada penemuan gambar-gambar atau lukisan digua Metanduno, Liang
Kobori, Gua Toko, terdapat didesa balo kecamatan katobu.
Pada dinding gua-gua
tersebut terdapat lukisan gambar orang berburu babi, gambar matahari, dll.
Adanya lukisan orang berburu babi. Menggambarkan cirri kehidupan/mata
pencahariab manusia pada zaman pra sejarah. Adanya gambar/lukisan matahari
menggambarkan cirri kehidupan manusia yang memuja pada dewa matahari. Selain
itu ditemukan pula lukisan manusia yang sedang mengendarai kuda dengan memegang
tombak, yang diduga binatang yang digunakan untuk berburu adalah kuda dengan
bersenjatakan tombak.
Berdasarkan urutan
diatas maka dapat disimpulkan bahwa : penghuni pulau Muna pertama bukan berasal
dari Luwu/sawerigading sebagaimana diungkapkan oleh sebagian orang Muna dalam
tradisi sejarah yang diwariskan secara
turun-temurun. Berbicara tentang asal-usul penduduk pulau Muna sebenarnya harus
didasarkan atas migrasi rumpun bangsa Malayu Austronesia dari daerah Yunan
(Cina selatan) ke Nusantara.
Karena dari perpindahan
bangsa Malayu Austronesia tersebut, kemudian menjadi cikal bakal penghuni
pertama kepulauan nusantara. Sudah tentu hal tersebut didasarkan pula pada
jenis-jenis kebudayaan Nusantara yang pertama, dimana sisa-sisanya
tersebar/terdapat diberbagai daerah dari batas sampai timur.
Berdasarkan penelitian
para ahli purbakala disimpulkan bahwa penduduk pulau Muna adalah bagian yang
tak terpisahkan dari persebaran penduduk pertama yang mendiami kepulauan
Nusantara yaitu ras Mongoloid dan ras Austro melanesoid.
Adapun proses
persebarannya hingga sampai dipulau Muna dan pulau Bution dan sekitarnya,
menurut Prof. Rustam E. Tamburaka melalui dua arah dan empat gelombang. Pertama
: dari arah utara terdiri dari atas tiga gelombang perpindahan yaitu :
gelombang pertama dan kedua ras mongoloid dan cina selatan dan dari kepulauan
Riukyu di Jepang melalui Vietnam, kepulauan Filiphina, Mindanao, Sulawesi
Utara, Halmahera, Sulawesi bagian Timur, laut masuk didaratan Sulawesi Tenggara
terus kepulau Muna dan Buton serta pulau-pulau sekitarnya. Perpindahan
gelombang ketiga yang oleh Dr. Alb. Kruyt disebut gelombang deutro Melayu, juga
dari Utara dan dating di Sulawesio Tenggara melalui Danan Towuti. Kedua
: perpindahan gelombang keempat yaitu ras Austro Melanesoid dari Australia
Utara. Mereka melalui kepulauan Maluku Tenggara, Irian Jaya bagian Selatan,
Nusa Tenggara Timur lalu memasuki Pulau Buton, Pulau Muna dan sekitarnya.
Rustam E Tamburaka lebih
melihat cirri-ciri fisik anthropologis seperti : Cephali Indeks (bentuk ukuran
tengkorak kepala termasuk volume taknya mata agak bulat dengan kening agak
tebal, rambut hitam keriting, warna kulit agak gelap/coklat, tinggi badan
rata-rata 160 cm), maka etnis Muna dan Buton didominasi oleh ras Austro
Melanesoid walaupun sudah bercampur dengan ras Mongoloid (Rustam E. Tamburaka
dalam Profil kependudukan Sulawesi Tenggara 1989 : 14).
Dengan demikian, tradisi
masyarakat Muna yang mengatakan bahwa penghuni pertama pulau Muna atau nenek
moyang pertama berasal dari rombongan Sawerigading (Luwu) yang perahunya kandas
didaratan Muna, adalah kurang serasi dengan fakta sejarah. Sebab kisah kandasnya
perahu Sawerigading disebutkan terjadi sekitar abad XIV suatu yang tidak logis
bila dikatakan bahwa Pulau Muna nanti mulai dihuni manusia pada abad XIV.
Nilai-nilai budaya suatu
bangsa merupakan khasanah kekayaan bangsa atau daerah. Indonesia sebagai bangsa
memiliki potensi kaenekaragaman budaya. Salah satunya adalah budaya masyarakat
Muna. Budaya Muna sebagai objek akan menjadi lemah apabila proses pewarisannya
hanya dilakukan melalui penuturan cerita, pandengaran dan pandangan mata. Oleh
karena itu budaya muna tidak harus hanya sebatas cerita tetapi dapat dibaca
dalam dokumen, hal ini akan menjadi solusi terbaik untuk menjaga degradasi
nilai-nilai budaya masyarakat Muna. Ada beberapa macam jenis budaya yang
digunakan dalam masyrakat Muna salah satunya adalah ‘Upacara Adat Kariya’.
Kariya
adalah upacara adat bagi masyarakat Muna yang pertama diadakan pada masa
pemerintahan Raja La Ode Husain yang bergelar Ompute Sangia terhadap putrinya
yang bernama Wa Ode Kamomo Kamba. Menurut kaidah bahasa Muna bahwa karia
berasal dari kata ‘kari’ yang
artinya: (1) sikat atau pembersih: (2)penuh atau sesak. Pemaknaan dari simbolik
nokari atau penuh, bahwa perempuan yang dikariya telah penuh pemahamannya
terhadap materi yang disampaikan oleh pemangku adat atau toko agama, khususnya
seluk beluk yang berkaitan dengan rumah tangga. Sedangkan makna secara kongkrit
bahwa kata kariya (Muna) berarti ribut atau keributan dan kariya adalah ramai
atau keramaian.
Pendekatan
secara filosofis jika ditinjau dari aspek filologi bahwa kariya berarti ribut,
ramai dan keramaian benar adanya karena dalam pelaksanaan upacara adat kariya
tidak hanya berdiri sendiri sebagai suatu acara tutura, akan tetapi lengkap
pelaksanaannya jika dibarengi dengan tradisi-tradisi lainnya sehingga acara itu
menjadi sakral dan lengkap prosesnya. Dalam acara kariya dimana sang gadis
selama empat hari empat malam ditempa
dalam sebuah tempat tertutup (songi atau sua). Untuk menhilangkan stres para
gadis dalam tempat itu maka diselingi dengan acara-acara lain yaitu : rambi
Wuna, rambi Padangga, Mangaro yaitu acara sandiwara perkelahian. Selama para
gadis dalam songi atau sua, acara rambi wuna, rambi padangga, mangaro
senantiasa didemonstrasikan oleh orang-orang yang telah dipilih dan ditetapkan
secara adat.
Dalam
acara tersebut mungkin orang-orang akan bertanya, mengapa harus pukul Gong atau
rambi wuna yang harus ditampilkan? Menjawab pertanyaan itu akan dideskripsikan
sebagai berikut : Pertama : Jenis rambi seperti itu bersifat ajakan bagi setiap
orang yang mendengarnya untuk hadir di tempat pelaksanaan upacara adat kariya
agar suasana senantiasa ramai. Kadua : Ditetapkan secara adapt untuk melakukan
demonstrasi rambi padangga adalah merupakan ciri khas yang dapat memberi
isyarat kepada semua orang yang menyaksikan upacara tersebut sebagai suasana
kekerabatan sehingga walaupun orang jauh datang beramai-ramai di tempat itu..
Proses
ini dilakukan dengan harapan bahwa seorang wanita ketika telah diisyarati
dengan ritual kariya maka dianggap lengkaplah proses pembersihan diri secara
hakiki. Kepercayaan masyarakat Muna bahwa upacara ritual kariya manjadi
kewajiban bagi setiap orang tua yang memiliki anak perempuan. Karena itu proses
pembersihan diri me;lalui ritual kariya menjadi tanggung jawab orang tua. Hal
itu dapat dipandang secara teoritis bahwa pembersihan diri tidak hanya
dilakukan dengan air tetapi sesuai pula dengan konsepsi adapt dan agama bahwa
pembersihan diri dapat dilakukan dengan cara lain yaitu melalui ritual kariya.
Kariya
juga menjadi suatu media pendidikan yang
menurut teori pendidikan, dimana ada dua metode yang dianggap efektif yaitu (1)
Charakter building, (2) titilasi. Melalui character building manusia digembleng
watak dan mentalnya sehingga muncul rasa percaya diri yang kokoh,sedangkan
titilasi merupakan pembinaan minat agar bangkit gairah untuk mengetahui dirinya
sendiri. Implementasi ke dua teori tersebut dapat dilihat pada prosesnya. Di
mana didalam sangi atau sua para gadis diatur makan, minum dan jam tidurnya dan
itu merupakan salah satu pembinaan hidup dalam kesederhanaan. Sebenarnya proses
terpenting dalam acara kariya adalah merupakan pembentukan diri untuk melawan
musuh terbesar dalam hidupnya yaitu hawa nafsu.
Kariya
sebagai upacara peresmian atau pelantikan erupakan proses kejadian manusia dari
suatu tahapan kehidupan ketahapan
berikutnya, dikenal dengan kronologi
Insiasi. Istilah ini berasal dari bahasa latin “Initiatio” ndalam bahasa prancis disebut “rites de passage” dan dalam bahasa Inggris di sebut “Crisis rites”. Indikator yang menguatkan
bahwa kariya sebagai upacara peresmian atau pelantikan ditandai dengan model
pakaian yang dikenakan oleh peserta kariya. Pada bagian kepala disematkan Panto
(Mahkota) bagaikan putri ratu yang telah dilantik sebagai raja disebuah kerajaan. Oleh karena
itu cirri khas pakaian perempuan yang dikariya menunjukan ciri khas pakaian
kebesaran sesuai dengan golongan sosialnya masing-masing, misalnya Kaomu,
Walaka dan Maradhika.
Pelaksanaan
Upacara Adat Karia
A. Proses awal pelaksanaan Upacara
Karia (Pingitan)
Karia atau pingitan
adalah salah satu bentuk kebudayaan masyarakat Muna yang tetap dilestarikan
sampai saat ini. Adapun proses awal dari pelaksanaannya adalah dengan
tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Kaalano Oe Kaghombo
(Pengambilan Air yang Dipingit)
Pengambilan air untuk
mengawali proses pelaksanaan upacara karia adalah mengambil air yang akan di
ghombo bersama peserta karia pingitan. Air tidak di ambil dalam rumah atau di
bak mandi, tetapi di rempat khusus untuk pengambilannya. Di masa lau air yang dimaksud
hanya bole di ambil di sebuah tempat yaitu kali laende, sebagaimana yang
diamanatkan oleh Raja Muna, Laode Maktubu Milano Wakaleleha (1903-1915) bahwa
kali laende dinobatkan sebagai air Al kausar, Tetapi dapat juga diambil di
kali/sungai lain yang airnya mengalir.
Pengambilan air
dilakukan oleh delegasi atau petugas khusus yang mengetahui seluk beluk tempat
itu yang dalam bahasa Muna dikenal dengan Kodasano (keturunan manusia yang
mendiami daerah sekitar wilayah itu).
Cara pengambilan air
tidak menggunakan sembarang alat misalnya : Kendi atau Jergen, tetapi menurut
ketentuan adapt di Muna bahwa alat ayng digunakan untuk mengambil air adalah
seruas bamboo (tombula) dengan kapasitas/volume air yang di ambil sesuai
kebutuhan.
2. Kaalano Bansa (Pengambilan
Mayang Pinang)
Dalam proses persiapan
pelaksanaan Kaghombo atau pingitan maka ada petugas yang telah diberi
kepercayaan untuk mengambil mayang pinang (Bhansa atau Bea). Etika
pengambilannya tidak boleh menoleh kekiri dan kekanan (konsentrasi) sehingga
walaupun ditanya tidak boleh menjawab. Oleh karena itu, pengambilannya hendak
memilih waktu yang hening. Pada saat memanjat pinang mayang tidak boleh
dijatuhkan tetapi harus dipegang sampai ditanah (Sido Thamrin:1997). Perlakuan
ini merupakan isyarat untuk mempertahankan mayang pinang agar tidak tersentuh
tanah dan tetap terjaga kesuciannya.
3. Kaalano Kamba Wuna (Pengambilan
Kembang Kamba Wuna)
Pada hari yang sama
dilanjutkan dengan pengambilan kuncup bunga (Kamba Wuna) yang tak jauh tempatnya
dari pengambilan air. Pengambilan kuncup bunga juga dilakukan oleh petugas atau delegasi khusus yag disebut ‘Kodasano’
tetapi sekarang dapat diambil oleh petugas yang diberikan kepercayaan oleh
koparapuuna (Yang Punya Hajatan).
Apakah bunga ini benar
adanya atau dapat dikembangbiakan. Menurut Rosiman Tawid bahwa bunga ini dapat
diperoleh melalui pertapaan dimulut Gua Kamba Wuna oleh Kodasano. Selanjutnya
kuncup bunga diambil pada saat penyumpahan raja dan acara karia. Dalam
pelaksanaan upacara karia saat ini bunga ‘Kamba Wuna’ daapat diganti dengan
bunga-bunga lain yang wangi; misalnya bunga Siroja.
Setelah seluruh
perlengkapan siap selanjutnya diserahkan kepada pemandu (Pomantoto) untuk siap
dipergunakan pada acara kaghombo (yang dipingit). Bunga tersebut sebagai
wangi-wangian dalm suo atau songi. Filosofi dari bunga tersebut adalah simbolik
dari keempukan dianalogikan sama dengan bunga.
B. Pelaksanaan Kegiatan Karia
(Pingitan)
Pelaksanaan kegiatan
inti dari upacara karia adal;ah proses penenpaan para gadis/ perempuan untuk
melewati 4 (empat) alam sebagai proses kejadian manusia sampai dilahirkan
dimuka bumi ini yaitu : (1) Alam arwa (2) alam Misal (3) alam Aj’sam (4) alam
Insani
Silogi proses pemindahan
dari satu alam ke alam yang lain hinggsa manusia dilahirkan bagaikan kertas
putih polos dan suci, dapat digambarkan dari prosesi pelaksanaan acara
kronologis dan Alfabel yaitu :
1. Kafoluku
Kafoluku yaitu peserta
yang dimasukkan dalam tempat yang telah dikemas khusus rewmapt karia yang disebut
suo khusus bagi putri-putri raja dan songi untuk golongan masyarakat umum.
Prosesnya adalah sebagai berikut:
1.
Pembacaan doa oleh imam Kota
Muna yang disertai dengan dulang.
2.
Dimandikan dengan air yang
telah dibacakan doa oleh imam air terdiri atas dua tempat yaitu oe modaino dan
oe metaano.
3.
Perangakat yang dimasukkan ke
dalam kaghombo atau pingitan yaitu :
1.
Dua buah palangga (tempat yang
dibuat dari lidi pohon aren dalam bentuk anyaman)
2.
Padjamara (lampu tradisional
Muna) yang tidak dinyalakan
3.
Polulu (kampak) Kandole
4.
Bongsano Bea (kuncup bunga
pinang dan kuncup bunga kelapa
5.
Jagung dan umbi-umbian yang
merupakan simbolik kehidupan
6.
Kapas dan benang swebagai bahan
sarung
7.
Anyaman daun kelapa yang masih
muda (Bhale)
8.
Tikar yang terbuat dari daun
agel (Ponda bale)
9.
Kain putih sebagai alas tikar
ponda bhale merupakan symbol kesucian
10. Posisi
peserta berdasarkan urutan paling kanan adalah peserta dari anak yang mempunyai
hajatan acara dan selankutnya disusul oleh peserta yang lain.
2. Proses Kabansule
Yaitu proses perubahan
posisi yang dipingit. Awalnya posisis kepala sebelah barat dengan baring
menindis kanan selanjutnya posisinya dibalik kearah timur, ke dua tangan kanan
di bawah kepala tindis kiri. Filosofi dari proses ini adalah perpindahan dari
alam Arwah kea lam Aj’san. Kondisi ini konon katanya diibaratkan pada posisi
bayi yang masih berada dalam kandungan yang senantiasa bergerak dan berpindah
arah.
Mengawali proses
perpindahan itu ada kegiatan yang dilakukan oleh para peserta yaitu:
a.
Semua peserta kariya dikelilingkan
lampu padjamara dan cermin ke kiri dan ke kanan, ini isyrat bahwa ke depan
peserta kariya diharapkan mendapatkan kehidupan yang terang benderangsedangkan
cermin adalah symbol kesungguhan dan keseriusan dalam menghadapi tangtangan
hidup dimasa depan
b.
acara rebut ketupat dan telur
yang diambil dari belakang masing-masing dengan tidak ada batas jumlahnya untuk
dimakan.
3. Proses Kalempengi
Kalempengi diawali dengan proses Debhalengke. Yaitu
membuka pintu kaghombo. Pada tahapan ini proses perpindahan dari alam Aj’san
kea lam insani. Para gadis dimandikan kemudian dirapikan rambut dan keningnya
(dibhindu) oleh petugas atau keluarga yang diserahi tugas. Semua bulu rambut
ditada pada piring yang berisi beras dan telur selanjutnya para peserta kariya
siap untuk dirias dengan model pakaian kariya yang disebut kalempengi.
4. Kafosampu (pemindahan peserta
karia dari rumah ka panggung)
Pada hari ke empat
menjelang magrib para gadis pingitan siap dikeluarkan dari rumah dibawa
ketempat tertentu yang disebut Bhawono Koruma (panggung). Pada waktu mereka
diantar kepanggung para peserta tidak boleh menginjak atau menyentuh tanah dan
biasanya menggunankan bentangan kain putih dari rumah sampai ke panggung,
tetapi dapat pula digendong atau disoda/dipapa oleh dua orang laki-laki. Selain
itu para kariya tidak diperbolehkan membuka mata sebagai isyarat kekhusyuan
menuju tempat bertangdang dipanggung.
Di depan Bhawono Koruma
telah menunggu gadis-gadis lain yang telah dipilih dan diberi tanggung jawab
duduk berjejer dalam keadaan bersimpuh. Setelah pembacaan doa selesai barulah peserta kariya diperbolehkan membuka
matanya. Doa tersebut adalah permohonan kepada Tuhan Yang Maha Esa agar para
peserta kariya dapat diberikan keimanan yang kuat dalam menjalani kehidupannya.
Gadis-gadis yang
mendapingi peserta kariya harus yang masih hidup ke dua orang tuanya. Mereka
bertugas memegang sulutaru (semacam pohon terang yang terbuat dari kertas
warna-warni dan dipuncaknnya dipasangkan lilin yang menyala). Hal ini
berlambangkan Nur Illahi yang akan menjadi penentu dalam hidup.
5. Proses Katandano Wite
Pada saat peserta yang
karia smpai ditempat/panggung diisyaatakan proses pemindahan alam, dari alam
missal ke alam insani. Katando wite adalah langkah ke empat dalam karia. Proses
ini diakukan oleh pegawai sarah yang diawali dari peserta yang paling kanan
duduknya, diatur berdasarkan urutan pertama adalah putri dari kopehano (yang
punya acara). Tanah yang digunakan untuk upacara tersebut diambil ditempat
khusus yaitu wadumapa kota Muna, tetapi dapat
juga diambil ditempat lain yang penting dapat dipastikan bahwa tempat
itu bersih dan suci.
Katandano wite yaitu
sentuhan tanah pada ubun-ubun, dahi dan selanjutnya seluruh persendian hingga
pada telapak kaki kepada para peserta yang dipingit dengan etika sebagai
berikut:
a.
Pegawai sarah mengambil tanah
dari tempat yang telah disediakan (piring putih) kemudian melakukan proses
katandano wite (sentuhan tanah) dari ubun-ubun turun ke dahi dengan
menggambarakn huruf alif. Huruf alif adalah merupakan rahasia Tuhan yang
tersimpul pada manusia. Menurut Rosimin Tawid bahwa Proses katandano wite
digambarkan dengan huruf alif adalah merupakan isyarat bahwa peserta yang
dikaria (dipingit) telah digodok dan diisi secara sempurnah terutama yang
berkaitan dengan kehidupan berumah tangga dan pengenalan diri secara utuh.
b.
Kabasano Dhoa (Pembacaan Do’a)
c.
Setelah katandano wite selesai
maka proses selanjutnya adalah pembacaan doa selamat sebagai tanda syukur bahwa
segsala kegiatan telah selesai dan mendoakan agar peserta karia dan seluruh
jajaran keluarga serta seluruh yang hadir dapat menjalani kehidupan dimuka bumi
penuh berkah dan tanggung jawab. Proses ini dalam tradisi Muna disebut dengan
Dhoa harasulu.
6. Linda
Setelah rangkaian acara
selesai maka pomantoto (pemandu) melakuan tari Linda sebagai pendahuluan yang
kemudian disusul oleh peserta karia secara berurutan yang dimulai dari putri
tuan rumah (parapu/kopehano)dan seterusnya disusul oleh peserta yang lain
secara bergiliran berdasarka urutan duduknya. Linda ini disebut dengan Linda
setangke kulubea yang artinya hanya memutar dan bergerak di seputar tempatnya
saja. Tari Linda menjadi rangkaian dari pelaksanaan tutura karia karena: (1)
Linda merupakan simbolik dari tari kelahiran kembali, (2) Linda sebagai tari
kemenangan karena dalam proses karia mampu melewati tahapan demi tahapan.
Pada gadis pingitan yang
disebut “ Nekaria/Kasampu Moose” ketika membawakan tari Linda biasanya
diberikan hadiah oeh hadirin dan undangan yan dilemparkan diatas panggung.
Tetapi biasanya penari yang lebih awal melemparkan samba (Selendang sutra)
kepada keluarga dan yang dilempari wajib mengembalikan samba tersebut disertai
hadiah. Proses itu disebut dengan istilah “Kagholuno Samba” .
Pemaknaan tari Linda yag
dipertunjukan peserta karia dapat dimaknai dalam beberapa aspek yaitu ; (1)
Dari aspek estetika bahwa sebagai perempuan harus mampu menunjukkan kemampuan
sesuatu yang indah dan berseni sebagai lambang keempuan wanita yang
menggambarkan jiwanya yang halus, (2) Dari aspek kejuangan bahwa perempuan yang
dikaria telah mampu melampaui perjuangan melawan hawa nafsu dalam songi (3)
Dari aspek pembentukan keluarga, bahwa dalam pertunjukan tari Linda yang
dilakoni oleh peserta karia bisa terjadi sebagai langkah awal perkenalan antara
laki-laki dengan perempuan untuk kemudian saling jatuh cinta yang dipertalikan
dengan kaghol samba.
7. Kahapui (Membersihkan)
Esok harinya setelah
acara kafosampu diadakanlah acara kahapui, yaitu acara ritual pemotongan pisang
yang telah ditanam dan atau disiapkan dimuka rumah koparapuuno (kopehano). Pada
acara ini dilakukan pogala yang diiringi dengan bunyi gong dan gendang yang
berirama perang. Mengawali acara pagola, maka terlebih dahulu pomantoto
memecahkan periuk (belangah tanah) sabagai aba-aba untuk memulai pagola. Peserta
pagola mereka yang dilatih khusus atau memilki keterampilan silat tradisional
Muna. Para peserta penari pagola dan atau mengaro beraksi dan saling berebut
untuk memotong pisang lebih awal dan cara potonganya diusahakan satu kali
langsung putus.
8. Kaghorono Bhansa dan atau
Kafolantono Bhansa
Sebagai penutup dari
rangkaian acara upacara karia adalah kaghorono bhansa dan atau kafolantono
bhansa. Waktunya tidak mengikat, boleh dilakukan sehari sesudah acara kahapui
dan boleh juga lebih dari itu, karena tergantung kesepakatan dan kesempatan
seluruh peserta karia dan keluarga. Tempat untuk melakukan acara tersebut pada
sebuah kali/sungai yang airnya mengalir. Pakaian para gadis yang dipingit yaitu
pakaian kalempangi yang diiringi oleh pomantoto, kedua orang tua, keluarga,
sanak saudara, handai tolan, pemuda dan pemudi yang bersimpati dengan iringan
gong dan gendang hingga tiba ditempat yang dituju.
Pada acara ini yang
difolanto atau yang dighoro adalah Mayang Pinang (bhansa) yang pada saat dalam
pingitan (kaghombo) dipakai untuk memukul-mukulkan badan kasampu Moose (peserta
karia)
Filosofi dari acara ini
adalah melepaskan segala etika buruk yang ada pada peserta karia. Tetapi oleh
orang tua di Muna hal ini menjadi isyarat: jodoh, nasib dan takdir peserta
karia. Walaupun disadari bahwa semua itu kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.
2. Sopan Santun dan Ucapan Salam
Suatu
daerah tentu memiliki tradisi berbahasa yang santun terlebih lagi kita di
daerah Sulawesi Tenggara yang dikenal dengan adat ketimuran yang kental. Selain
berbahasa, juga dituntut sikap dan pola tindakan yang sopan. Masyarakat etnik
Muna juga mementingkan aspek ini. Dalam hal ini, ada aturan yang mesti kita
taati baik itu tertulis maupun tidak tertulis. Kesopanan ditentukan oleh situasi
pada saat bentuk-bentuk sapaan digunakan. Kesopanan ditentukan jika pemakaian
bentuk-bentuk sapaan sesuai dengan situasi alamiah dan norma-norma menurut
hubungan pembicara yang sesuai dengan aturan-aturan dalam suatu komunikasi.
Sebaliknya pemakaian bentuk-bentuk sapaan yang tidak sesuai dengan
aturan-aturan akan dianggap tidak sopan. Jika tidak ditentukan oleh kontak
situasi, kesopanan ditentukan oleh perbedaan derajat kesopanan yang berkaitan
dengan sperior atau imperior, jarak jauh atau keintiman, dan pertimbangan
tinggi rendahnya suatu penghormayan yang ingin diungkapkan untuk disebut sopan
atau tidak sopan.
Secara budaya
orang yang lebih muda diharapkan menujukkan rasa hormat kepada orang yang lebih
tua. Sebaliknya orang yang lebih tua diharapkan juga menunjukan tenggang rasa
terhadap yang muda. Unsur timbal balik ini tercermin dalam pemakaian pronomina
dalam bahasa Muna. Pronomina inodi ‘saya’ lebih umum dipakai daripada insaidi
‘saya’ oleh orang muda terhadap orang tua untuk menunjukkan rasa hormat. Sedangkan
untuk penggunaan insaidi dalam percakapan biasa berarti kami.
Dalam bahasa Muna
hanya dikenal status sosial bangsawan dan bukan bangsawan atau golongan biasa.
Ciri golongan bangsawan nama diri selalu di awali dengan La Odhe (laki-laki) Wa
Odhe (perempuan), sedangkan golongan bukan bangsawan diawali dengan La
(laki-laki), Wa (perempuan). Jadi yang dimaksud dengan status sosial tinggi
adalah kaum bangsawan tersebut. Golongan bangsawan ini selalu disapa dengan
waompu atau kolaki. (Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada bentuk nomina
diri).
Sapaan
bahasa Muna bisa pula terjadi karena mempertimbangkan:
1.
Kedudukan pembicara dan lawan bicara
2.
Jenis kelamin pembicara lawan bicara
3.
Usia pembicara
dan lawan bicara
4.
Kekeluaragaan.
5.
Situasi
pembicara.
Contoh
sopan santun yang berlaku disebagian masyarakat etnik Muna yaitu:
-
Tabea, amangka
deki!
(Permisi, saya mau lewat dulu), diucapkan saat dikerumunan orang
dan hendak melewati jalan di antara kerumunan orang tersebut. Bias juga saat
berjumpa denga orang tua dan hendak jalan lagi.
-
Aeowa bhirita
ingka dofobhasi dakumala we kamafaka.
(Saya bawa pesan, kita dipanggil di acara mufakat), disampaikan
pada orang yang setingkat lebih tinggi dari kita.
-
Okumala nehamai?
(Mau ke mana?), biasa dipakai menyapa aatau bertanya pada teman
sebaya.
-
dan sebagainya.
Dalam
bahasa Muna dikenal juga sistem sapaan untuk menyapa orang yang belum dikenal
dan menyapa sang khalik serta hewan atau benda yang sangat tabu bila diucapkan
secara langsung.
Bahasa bukan hanya alat berinteraksi di antara anggota-anggota suatu
komuniti semata-mata sebagaimana perkiraan anggapan umum selama ini, melainkan
hakikatnya unsur yang pokok dari kebudayaan. Setiap daerah memiliki aspek
kebahasaan yang merujuk pada terciptanya manusia yang berbudaya. Ada banyak hal yang
menjadi titik tumpu di mana bahasa dibangun yang kemudian mencerminkan kearifan
(sopan santun) suatu daerah.
Masyarakat etnik Muna juga meletakkan bahasa sebagai media untuk
membentuk karakter seseorang dalam stratifikasi sosial. Keragaman latar berpikir
mengantarkan masyarakat pada efek berbahasa dalam kesantunan, misalnya sapaan,
ucapan salam, sebagai implementasi dari karakterisasi manusia yang berbudi.
Masyarakat etnik Muna juga masih memegang teguh adat-adat dalam berucap dan
berjumpa sua. Ada
beberapa contoh ucapan salam yang masih buming
hingga saat ini di kalangan masyarakat Muna, misalnya:
-
Mentaemo pisa, pokumala okumaradha?
Biasanya diucapkan saat bertemu dengan orang saat
pagi hari dan hendak memulai aktivitas sehari-hari, misalnya kerja dan
sebagainya.
-
Pedahae itu, ingka nomponamo awurako!
Diucapkan saat bertemu dengan orang yang sudah
lama pergi dan baru bertemu kembali.
-
Kakodohono wuluno matamu!
Diucapkan pada sahabat atau keluarga yang baru
datang dari daerah yang jauh. Ucapan ini sebenarya bernuansa kiasan dan begitu
membudaya dikalangan masyarakat etnik Muna.
-
Tamealaimo deki bhela!
Diucapkan saat hendak menutup perjumpaan yang
sebelumnya telah diawali dengan salam dan bercengkrama sejenak.
Masih banyak lagi ucapan-ucapan salam yang lain yang dikonstruksi untuk
sebuah cara berbahasa yang merunut pada konsep sopan dan santun. Hal ini tentu
masih harus dibudayakan sebagai bentuk aktualisasi diri dalam berkomunikasi
yang masih tetap mempertahankan nilai-nilai kedaerahan tanpa bermaksud mengaburkan
bahasa yang sifatnya lebih ke arah formal.
Budaya malu menggunakan bahasa daerah saat bertemu dengan rekan atau
kerabat yang satu etnik seyogyanya harus dihilangkan karena akan melunturkan
bahasa daerah kita yang menjadi aspek penting pendukung bahasa persatuan kita,
bahasa Indonesia.
3. Kesenian Tradisional
Ada banyak sendi-sendi kesenian di daerah
Muna, yaitu:
a. Seni Tari
Dari aspek tari daerah, banyak potensi
kesenian yang lahir. Salah satu seni tari yang populer etnik Muna adalah tari
Linda. Tari Linda pertama kali dikenal pada masa pemerintahan Muna La Ode
Husain atau Omputo Sangia sekitar 350 tahun yang lalu. Pada saat itu sang raja
hendak melangsungkan upacara pingitan (karia)
bagi putrinya Wa Ode Kamomono Kamba. Karia adalah suatu prosesi upacara
adat yang harus dilalui oleh setiap gadis remaja. Pada saat itu mereka
diajarkan nilai-nilai moral dan keagamaan. Pada puncak upacara, dipentaskan
tari Linda yang diiringi lagu “La Kadandio”.
Saat ini tari Linda tidak hanya dipakai pada saat upacara
adat seperti karia, tetapi juga sudah menjadi ikon daerah Muna dibeberapa
festival yang dijadikan tangkai lomba, digelar saat perayaan-perayaan daerah,
dan sebagainya. Tari Linda kini menjadi kebanggan masyarakat Muna karena sudah
mampu ,meramba dunia (internasional) misalnya, di Australia, Italia, Belgia,
dan beberapa negara lainnya.
b. Seni Ukir
Salah satu aspek yang menjadi andalan masyarakat etnik Muna
adalah seni ukir atau kerajinan tangan. Masyrakat Muna mempunyai berbagai jenis
ukiran yang terbuat dari kayu jati (gambol). Beragam furniture seperti meja,
kursi, jam dinding, hingga ukiran kuda sebagai symbol Kab. Muna dapat dijumpai.
Para pengrajinnya dapat ditemui hamper di setiap sudut kota.
c. Atraksi Perkelahian Kuda
Kesenian tradisional lain yang menjadi daya tarik di daerah
Muna adalah atraksi perkelahian kuda yang sangat terkenal dan hanya terdapat di
Kec. Lawa, 15 km dari Kota Raha, ibu kota Kab. Muna.
Pertunjukan dimulai pada saat kuda dibuat marah dengan cara menarik kuda betina di depan kuda
jantan. Sehingga kedua kuda jantan terpancing untuk dapat mendekati kuda
betina. Pertunjukan kuda biasanya dilakukan pada pesta panen, menyambut musim
tanam, atau acara-acara lain (festival budaya).
4. Permainan Tradisional
Selain kesenian,
aspek-aspek budaya yang begitu unggul juga terdapat di daerah Muna, diantaranya
kaghati (layang-layang), kalego,
a. Kaghati
Kaghati
adalah layang-layang tradisional masyarakat Muna yang bahan-bahannya hanya
terbuat dari daun gadung/ubi hutan (Discorea
hispida) dan rangkanya terbuat dari
bambu. Pada kondisi angin yang stabil, kaghati
dapat terbang di udara selama tujuh hari tujuh malam (seminggu). Masyarakat
Muna percaya bahwa kaghati bukan
hanya permainan di kala senggang, tetapi juga memiliki arti yang dalam dan
sakral.
Kaghati
menjadi harapan dan kebanggan masyarakat etnik Muna karena saat ini, kaghati menjadi ikon Muna di mata dunia.
Berbagai festival laying-layang digelar baik tingkat regional, nasional, maupun
internasional dan menempatkan laying-layang tradisional Muna (kaghati) sebagai ikon utamanya. Dalam
kurun waktu beberapa tahun terakhir, festival laying-layang internasional
banyak digelar, diantaranya di Muna sendiri (Indonesia), Prancis, Jepang,
Jerman, Malaysia, Brunai Darussalam, Italia, Belgia, dan sebagainya yang selalu
menjadikan laying-layang tradisional Muna (kaghati)
sebagai pemenang dan paling unik dari berbagai sisi dan kriteria penilaian.
b. Kalego
Kalego
adalah salah satu jenis perrmainan tradisional etnik yang sangat terkenal
dikalangan petua-petua kampung. Permainan ini biasanya dilakukan di sebuah
lapangan kecil (tana lapa) misalnya di halaman luas, lapangan, ataupun di mana
saja yang memungkinkan dapat dimainkan. Permainan ini sangat sederhana yaitu
bahannya adakah tempurung kelapa yang dibelah dua. Kalego dimainkan oleh
perempuan dan lelaki yakni dua orang perempuan dan dua orang laki-laki atau
bias juga semuanya laki-laki atau semuanya perempuan. Letak keunikan permaianan
tradisional ini adalah semua pemain dituntut untuk dapat menggeser tempurung kelapa
hingga mengenai tempurung kelapa yang lain yang sudah diatur dan didesain
sedemikian rupa. Banyak kehebohan dan kelucuan bila kita menyaksikan permaianan
ini. Masyarakat etnik Muna biasa menggelar permainan kalego ini di acara-acara
festival kebudayaan, perayaan adat, atau senagaja digelar sebagai ajang lomba
tahunan.
c. Dopohule
Kata
dopohule berasal dari kata dasar “hule” yang artinya gasing. Permainan ini
adalah jenis permainan tradisional musiman bagi sebagian masyarakat etnik
Muna. Hule/gasing ini dibuat dari kayu
besi (kusambi) yang diukir sedemikian rupa sehingga menyerupai corong/kerucut
yang khas dan unik. Hule/gasing ini pada bagian tengahnya dibuat semacam
belahan di mana tali bias dililitkan sehingga ketika dilepas dengan sedikit
tarikan dan tekanan hule dapat berputar dan berthan lama. Oleh masyarakat Muna,
permainan dopohule dimainkan oleh beberapa kaum lelaki. Awalnya seseorang
memutar gasing dan laki-laki lain memutar juga namun sebelumnya harus mengenai
gasing yang diputar oleh orang pertama tadi. Penentuan pemenang adalah gasing
yang dapat berputar dan bertahan lama atau gasing yang diputar ketika dihantam
oleh gasing lain masih tetap berputar. Permainan ini begitu disenangi kalangan
anak-anak saat ini.
d. Dopobhinte
Sebuah
permainan tradisional Muna yang banyak dimainkan oleh sekelompok anak kecil.
Permainan ini cukup unik karena mereka memanfaatkan kulit kerang, batu, dan
bambu belah sebagai alat permainannya. Pada mulanya mereka mengumpulkan kulit
kerang terlebih dahulu kemudian menjejerkan kulit kerang pada bambu belah yang
ujung kanan dan kirinya disanggah dengan batu masing-masing sattu atau dua
buah. Selanjutnya, beberapa anak memegang batu pula sebagai alat untuk melempar
bambu belah yang berisi kulit kerang tadi. Pemenang ditentukan dari banyaknya
kulit kerang yang dikumpulkan oleh anak-anak setelah menjatuhkan kulit kerang
yang ada pada lempengan bambu. Demikian permainan ini berlanjut hingga
anak-anak kehabisan kulit kerang untuk bermain.
e. Doposubha
Jenis
permainan ini menggunakan media kayu sebagai alat main. Permainan ini tidak
hanya dikenal oleh anak-anak kecil namun masyarakat dewasa pun turut memainkan
permainan ini. Permainan ini sesungguhnya membawa dampak positif dan bermanfaat
terlebih bagi anak-anak karena permaian ini melatih kemampuan berhitung anak.
Permainan ini dimulai dengan mengambil sebatang kayu dengan diameter berapa
saja (disesuaikan dengan keinginan). Kayu dipotong dengan dua bagian, pertama
sebagai induknya(dinamai Ibu) kayu dipotong lebih panjang dari bagian kedua
yaitu sebagai anak yang panjangnya kira-kira ukurannya sejengkal tangan. Bila
sudah didapatkan dua bagian kayu, selanjutnya digali tanah tetapi tidak agak
dalam karena sifatnya hanya sebagai penyanggah anak kayu.
Ada tiga (3) tahap untuk mendapatkan poin sampai
memenangkan permaian ini. Pertama, kayu yang dipotong sejengkal tadi (dinamai
anak) diletakan di antara lubang dan dicungkil sejauh mungkin agar tidak tertangkap oleh penjaganya
(anak-anak yang menjadi lawan). Kedua, anak kayu tadi dipukul sejauh mungkin
dengan menggunakan ibu kayu agar tidak tertangkap pula. Dan ketika penjaga
melempar kembali kita sebagai pemain dapat memukul pantul kembali. Saat anak
kayu berhenti, mulailah kita menghitung dengan ukuran panjang ibu kayu. Dan
tahap terakhir, anak kayu dibaringkan pada ujung lubang, dipukul ujungnya dan
dengan menggunakan ibu kayu, anak kayu dipantul-pantulkan sebanyak mungkin
sesuai dengan kesepakatan hitungan dan dipukul jauh. Semakin banyak pantulan
yang kita lakukan maka sebanyak poin yang akan didapatkan karena masuk pada
kategori kredit poin. Pemenang dari lomba ini adalah yang telah mencapai poin
yang telah ditentukan (biasanya disepakati poin pemenang yaitu 1000, 2000,
5000, 10.000, dan seterusnya). Letak keunikan dari permainan ini adalah yang
kalah mendapat sanksi dari pemenang berupa menggendong pemenang atau hukuman
lain yang telah disepakati sebelumnya.
5. Pakaian Adat
Pakaian adat Etnik Muna
saat ini tercermin dari pakaian pengantin mengingat makin bergesernya
nilai-nilai budaya akibat globalisasi. Namun dengan demikian, nilai-nilai yang
tercermin dari suatu pakaian masih tercermin dari pagelaran adat yang masih
tetap diselenggarakan masyarakat etnik Muna di Sulawesi Tenggara. Berikut
adalah pakaian adat etnik Muna dari aspek pakaian pengantin baik pria maupun
wanita.
a. Pakaian Pengantin Pria
Pakaian
pengntin pria etnik Muna terdiri atas baju, sarung, dan celana.
-
Bhadhu kopo (baju dasar)
Baju dasar pengantin pria disebut baju kopo yang maksudnya
adalah baju yang tidak terbelah pada bagian dada, kecuali mempunyai lubang
kepala sampai bagian atas dada. Baju kopo merupakan baju dasar taua baju dalam
berlengan panjang. Bahan pembuatan baju kopo dari kain yang berwarna putih.
-
Balahadhadha (baju luar)
Di atas baju kopo dipasang pula baju luar yang disebut
balahadhadha (baju yang terbelah pada bagian dada) dan berlengan panjang.
Balahadhadha terbuat dari kain beludru warna hitam. Hiasan pada balahadhadha
berupa renda berwarna perak atau kuning keemasan yang dilekatkan pada kedua
pinggir baju bagian bawah dan pada kedua ujung lengan, serta sekeliling pinggir
bagian bawah baju.
-
Salapandi (celana panjang)
Salapandi adalah celana panjang pengantin pria sebagai
pasangan baju balahadhadha. Bahan dan warna salapandi sama dengan bahan dan
warna dengan baju balahadhadha yaitu kain beludru warna hitam. Hiasan pada
celana berupa renda warna kuning cemerlang yang dilekatkan pada sekeliling
ujung celana bagian bawah.
-
Botu dan ledha (sarung)
Sarung pengantin pria biasanya berwarna hitam, merah dan
kuning yang dihiasi dengan kotak-kotak yang terbuat dari benang putih cemerlang
atau kuning keemasan sarung semacam ini disebut botu dan ledha.
Perhiasan
Pengantin Pria
-
Perhiasan kepala
Tutup kepala (destar) penantin pria disebut kampurui.
Kampurui terbuat dari tekstil, setidak-tidaknya bahan dan warna sama dengan
bahan dan warna dari baju atau celana. Hiasan pada pinggir destar disebut
dhambe yang terdiri dari renda-renda berwarna kuning keemasan. Bentuknya
berdiri membalut kepala sehingga pengantin pria kelihatan jantan dan gagah.
-
Perhiasan pinggang
Pengantin pria memakai perhiasan pinggang yang disebut
sulupe (ikat pinggang). Sulupe bahannya terbuat dari logam yang disepuh dengan
air emas sehingga berwarna kuning keemasan. Sulupe mempunyai kepala sebagai
tepat pertautan, kepala sulupe berbentuk lonjong atau persegi panjang yang
dipenuhi dengan ukiran-ukiran. Pada sulupe biasanya diselipkan sebilah keris
menghadap keluar yang disebut tobho.
b. Pakaian Pengantin Wanita
Pakaian pengantin wanita
etnik Muna terdiri dari baju kombo, bia-bia (sarung), dan selendang.
-
Baju kombo (baju pengantin)
Baju kombo adalah pakaian pengantin etnis Muna. Baju kombo
tidak terbelah pada bagian depannya kecuali mempunyai lubang kepala sampai
bagian atas dada. Baju kombo terbuat dari kain tenunan daerah atau kain
beludru. Hiasan yang terdapat pada baju berupa renda warna cemerlang yang
dilekatkan pada sekeliling lubang kepada dan sekeliling ujung lengan baju serta
pinggir ujung baju bagian bawah.
-
Bia-bia (sarung)
Sarung pengantin wanita terbuat dari bahan kain tenunan
daerah yang bahan dasarnya dari benang cemerlang keputihan atau kuning keemasan
dibentuk dalam garis-garis lurus yang dasarnya biasanya hitam, kuning, merah
dan sebagainya. Sarung semacam ini disebut bia-bia.
-
Selendang
Selendang pengantin wanita dibuat dari bahan yang sama
dengan bahan sarung, sedang warnanya disesuaikan dengan keserasian baju dan
sarung. Hiasan pada selendang berupa renda warna cemerlang dan dikombinasikan
dengan taburan manik-manik. Hiasan renda ditempelkan pada seluruh pinggir
selendang.
Perhiasan
Pengantin Wanita
-
Perhiasan kepala
Perhiasan kepala pengantin wanita disebut panto yang artinya
tusuk kundai. Bentuknya merupakan sekuntum bunga yang terdiri dari beberapa
tangkai yang menghiasi kepala pengantin. Bahannya terdiri dari kain dan lidi
serta dihiasi dengan kain warna-warni sehingga berbentuk sekuntum bunga. Di samping itu, untuk menguatkan konde
digunakan tusuk konde yang bahannya terbuat dari logam yang disepuh dengan air
emas.
-
Perhiasan talinga
Perhiasan teling disebut dali atau anting-anting yang
disematkan pada telinga. Bentuknya menyerupai ayam, bahannya dari logam yang
disepuh dengan air emas.
-
Perhiasan teling dan dada
Perhiasan leher juga merupakan perhiasan dada. Pada leher
pengantin tergantung seuntai rantai pannjang yang pada rantai itu bergantung
serupa mata uang logam yang jumlahnya sesuai dengan kemampuan keluarga
pengantin. Hiasan yang bergantung pada rantai itu menjadi hiasan dada. Benda
hiasan itu merupakan mainan dari rantai yang disebut salawi. Di samping itu,
pada dada baju dipasang kancing yang terbuat dari meas atau perak yang disebut
kunsi juga menjadi hiasan dada.
-
Perhiasan tangan
Pada perhiasan tangan terdapat perhiasan yang disebut simbi
atau gelang tangan. Bahannya terbuat dari logam yang disepuh dengan air emas
atau perak. Jumlah gelang yang dipakai pada setiap pergelangan tangan pengantin
sebanyak empat buah. Selain itu,
padajari tangan terdapat cincin emas yang terbentuk belahan rotan disebut
ampanelo.
-
Perhiasan kaki
Pada pergelangan kaki dikenakan gelang kaki yang disebut
kinondo, bahannya terbuat dari logam yang disepuh dengan air emas. Jumlahnya
sebanyak-banyaknya dua buah tiap kaki.
6. Rumah Adat
Rumah adat etnik Muna
atau rumah tempat tinggal masyarakat Muna pada umumnya disebut lambu. Kata
lambu (rumah) mempunyai pengertian umum sebagai tempat berlindung dari
panas/dingin, gangguan binatang buas (jahat), serta tempat untuk melaksanakan
segala kegiatan kehidupan dengan sebaik-baiknya.
Typologi tempat tinggal
dari masyarakat etnik Muna, baik yang disebut lambu, kaombela, rompo/bhantea,
lambu bhalano atau kamali, berbentuk segi empat. Typology demikian bertolak
dari penghayatan budi dan rasa bahwa manusia terdiri atas muka, belakang, sisi
kiri dan kanan.
Rumah adat etnik Muna yang
menjadi tempat tinggal umumnya terdiri atas bagian-bagian yang sebagian
masyarakat Muna dikenal sebagai berikut:
-
Sandi, yaitu tempat bertumpunya
tiang rumah sehingga ujung tiang tidak mudah lapuk, biasanya dibuat dari batu
yang rata agar tidak bergeser atau goyang saat menjadi tumpuan.
-
Katumbulao, yaitu tiang utama
yang duduk pada sandi yang berbentuk segiempat atau bulat.
-
Garaga, yaitu kayu-kayu yang
dipasang pada bagian bawah sebagai tempat tumpuan lantai. Biasanya terbuat dari
kayu bulat atau yang dibuat segiempat lebih kecil dari katumbulao.
-
Hale (lantai) yang terbuat dari
bamboo, batang pinang, atau kayu-kayu hutan yang kecil.
-
Palengku (tangga rumah) dibuat dari kayu yang
tidak mudah lapuk.
-
Karondomi (dinding) terbuat
dari anyaman bambu yaitu jelaja, anyaman daun kelapa tua atau papan.
-
Kantee, yaitu pembatas yang
dipasang pada pintu yang tingginya kurang lebi satu hasta yang secara simbolis
dimaknai bahwa laki-laki tidak boleh masuk dalam rumah tanpa izin atau rumah
tersebut tidak ada laki-laki. Jadi, kantee sebagai kode adat bertamu.
-
Kalonga dan dhanila, yaitu
celah atau jendela berbentuk segiempat, layaknya rumah-rumah pada umumya.
-
Ghato (atap) terbuat dari daun
nipah atau daun rotan.
-
Ghilei (laying-layang rumah)
yaitu bagian rumah yang menutupi rumah yang berbentuk limas, biasanya terdapat
di depan atau di belakang rumah.
-
Kawuwu (bumbungan rumah) yakni
penutup bagian atas rumah
-
Saho, yaitu kayu yang berfungsi
sebagai tempat atap dipasang.
Rumah adat etnik Muna juga memiliki susunan
ruangan, yaitu karete (halaman rumah), olo-lemangku (ruang tamu), kaodoha
(ruang/tempat tidur), tombi (ruang tambahan/serambi/teras), bhate-bhate
(loteng), ghabu (dapur), ghahu (ruangan atas/langit-langit rumah),
ghahu-mburake (celah pada loteng). Selain itu, rumah adat etnik Muna juga
terbagi dalam bebarapa bagian menurut fungsi sosial atau system sosial yaitu
lambu (rumah masyarakat pada umumnya), lambu bhalano (rumah pejabat), dan
kamali (rumah raja).
7. Aneka Makanan Tradisional
Hal lain yang perlu
diketahui dalam proses mengenali etnik suatu daerah adalah mengenali aspek
makanan tradisionalnya. Masyarakat Muna memiliki aneka makanan tradisional yang
khas dan tidak terdapat di daerah lain, misalnya kolope, katumbu, kahogo-hogo/kabuto,
kambeweno kahitela, kaparende kaliwu meliura, sirkaya kahitela, dan sebagainya.
a.
Kolope
Kolope yang biasa dikenal dengan gadung/ubi hutan merupakan salah satu jenis
tumbuhan yang begitu potensial tumbuh di daerah Muna. Oleh masyarakat setempat,
tumbuhan ini merupakan tumbuhan yang menjalar dan multi fungsi yakni daunnya
sebagai bahan membuat layang-layang (kaghati) dan umbinya bias dimanfaatkan
sebagai makanan tradisional yang sifatnya musiman (musim kemarau).
Proses mengolah umbi gadung menjadi makanan olahan masyarakat
tidak instan. Mengolahnya harus melalui beberapa tahapan dan jika ada tahapan
yang tidak dilalui atau ada kesalahan/tidak teliti dalam mengolahnya maka akan
menyebabkan keracunan. Proses mengolah dimulai dari pengambilan ubi yang tumbuh
liar dalam hutan, selanjutnya dikupas dan diiris tipis, kemudian dijemur hingga
kering selam beberapa hari. Irisan-irisan ubi yang sudah kering selanjtnya
dikarungi untuk dicuci dan direndam selama beberapa malam di laut sesuai dengan
keinginan pemgolahnya. Selama proses perendaman, ada beberapa tahap lagi yaitu
membersihkan, mengeringkan, dan menyaringnya. Kolope yang sudah siap disaring kemudian selanjtnya dipadatkan pada
keranjang dan selanjtnya dibentuk dengan cetakan tempurung kelapa dan diikat
dengan janur atau daun enau. Biasanya
masyarakat etnik Muna cenderung membagi-bagikan hasil olahan kepada kerabat
terlebih dahulu sebagai bentuk menjaga hubungan kekeluargaan untuk kemudian
dipasarkan sebagai salah satu mata pencaharian musiman. Untuk dijadikan
makanan, kolope dikukus selama beberapa
menit setelah dicuci, dan bila sudah selesai dikukus dapat disajikan dengan
kelapa parut. Cita rasa khas dapat Anda temui bila mengkonsumsi kolope ini.
b.
Kabuto
Kabuto
yaitu salah satu jenis makanan tradisional Muna yang bahannya dari ubi kayu
namun melalui beberapa proses hingga menjadi makanan olahan. Pertama, dimulai
dari mengupas ubi kayu hingga bersih lalu dijemur selama beberapa hari hingga
ubi kayu berjamur atau menunjukan tanda-tanda hitam. Kedua, ubi kayu yang sudah
kering dan siap untuk diolah menjadi makanan selanjutnya direndam dengan air,
dan biasanya beberapa masyarakat merendamnya semalaman untuk mendapatkan hasil
yang lebih baik – dalam hal ini ubi yang empuk dan legit. Ketiga, ubi kayu yang
sudah direndam kemudian diiris tipis lalu dikukus. Terakhir, bila sudah matang
maka selanjutnya untuk menambah kenikmatannya dapat ditambahkan dengan taburan
kelapa parut.
c.
Kambuse
Kambuse
yaitu jenis makanan tradisional etnik Muna yang bahannya langsung dari jagung
hasil panen rakyat setempat. Makanan ini umumnya standar yakni jagung dicuci
bersih lalu direbus hingga matang, selanjutnya dapat disajikan dengan ikan
kering yang dibakar atau digoreng. Namun, banyak masyarakat Muna mengolah
jagung dengan berbagai jenis, yaitu:
-
Katumbu, yaitu jagung muda yang
diolah dengan cara digiling atau ditumbuk hingga halus kemudian dicampur dengan
gula merah, sedikit garam dan gula, dan dibungkus dengan daun jagung lalu
dikukud hingga matang. Katumbu biasanya banyak dibuat pada musim-musim tanam
jagung.
-
Kapusu, yaitu jagung tua yang
dimasak dengan campuran kapur yang dimasak berkali-kali hingga kulit biji
jagung terkelupas dan tampak membengkak. Biasanya makanan olahan ini
dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk dijadikan katumbu juga namun dengan
tidak menambahkan bahan apapun.
-
Kambeweno kahitela, makanan ini
adalah jenis makanan tradisional yang bahan utama pembuatannya adalah jagung
yang banyak terdapat di daerah Muna. Cara pengolahannya adalah jagung dimasak
dengan kapur sirih, setelah setengah masak diangkat dan dicuci bersih, giling
halus kemudian dicampur dengan kelapa parut. Selanjutnya dibungkus dengan daun
uru, diikat rapi lalu direbus sampai matang.
d.
Kaparende
Kaliwu Meliura
Makanan ini adalah masuk
dikategori lauk yaitu sup kerang meliura. Kerang laut paling potensial juga di
daerah Muna sehingga banyak masyarakat yang mengolahnya sebagai lauk. Kaparende kaliwu meliura dengan bahan dasar
kerang dan diolah dengan sejumlah bumbu yaitu bawang, merica, garam, batang
daun bawang, jahe, keladi, jagung muda (pasele). Selanjutnya kerang dicuci
bersih lalu direbus hingga matang. Bumbu yang sudah ada ditumis sampai harum
kemudian rebusan kerang dimasukan bersama keladi yang dipotong kecil dan pasele
juga daun bawang. Selanjutnya sup siap dihidangkan.
e.
Sirkaya
Kahitela
Makanan ini sangat
jarang ditemui pada hari-hari biasa. Masyarakat etnik Muna biasanya membuat
makanan ini pada acara-acara adat misalnya karia, katoba, kangkilo, kawinan,
dan sebagainya. Makanan ini masuk pada kategori makanan penutup (desert) dengan
bahan dasar jagung dan didukung oleh bahan lainnya yakni gula pasir, telur
ayam, susu/santan kental dan sirup. Langkah pembuatannya yaitu dimulai dengan
membuat caramel dari gula, selanjutnya sisa gulam jagung, susu/santan kental
dan sirup diblender hingga halus. Hasilnya kemudian dituang pada cetakan yang
sudah diisi caramel sebelumnya lalu ditim dalam oven hingga matang. Setelah
dingin dikeluarkan dari cetakan dan siap dihidangkan.
8. Perayaan
Setiap daerah tentu
memiliki khasanah budaya yang sangat beragam. Salah satu aspek yang tidak dapat
dipisahkan dari bagian sendi-sendi kebudayaan ini adalah perayaan yang
merupakan bagian dari warisan budaya bagia suatu daerah. Di Muna sendiri,
masyaraktnya masih mempertahankan nilai-nilai budaya dari sebuah perayaan. Aneka
perayaan yang masih menjadi tradisi/warisan budaya yaitu tobheha (acara panen padi/jagung), kaago-ago (acara membuka lahan baru), kampua (acara potong rambut), katisa
(musi, tanam), weano wamba (hajatan), dan sebagainya.
a. Tobheha
Tobheha
merupakan perayaan yang digelar masyarakat etnik Muna pada saat musim panen
tiba, baik panen padi maupun jagung. Pada perayaan ini biasanya masyarakat
menggelar aneka permainan kesenian (modero,
kabhanti, kantola, dan sebagainya) baik tradisional maupun moderen. Di sebagian
daerah atraksi perkelahian kuda sangat mendominasi acara sebagai bagian dari
rasa syukur dan kebahagian masyarakat saat musim panen tiba.
b. Kaago-ago
Kaago-ago
merupakan perayaan tradisional masyarakat etnik Muna yang sarat makna,
religiusitas, ritual, penghargaan terhadap leluhur dan penghuni bumi selain
manusia (yang bersifat gaib). Kaago-ago
digelar pada saat masyarakat membuka lahan baru atau juga saat ada penghuni
kebun ada yang sakit. Dalam perayaan ini yang lebih kental adalah nilai-nilai
ritual dan kesakralan sebuah prosesi adat, misalnya ayam sebagai tumbal, kameko (air sadapan dari pohon enau yang
dipercaya sebagai air minum para jin), mendirikan tiang bambu yang diretakan
ujungnya dan disumpal dengan tempurung kelapa kering dan selanjutnya diikat
dengan kain tiga warna kecil yaitu putih, merah, dan kuning, terakhir
dimantrai. Sampai saat ini, masyarakat masih melestarikan perayaan ini di
tengah himpitan moderenitas dan globalisasi.
c. Kampua
Kampua
juga merupakan jenis perayaan yang dihadirkan lain oleh masyarakat etnik Muna.
Secara umum, kampua (acara potong
rambut) dilaksanakan seperti layaknya dalam tradisi aqiqahan. Namun yang lain
adalah ketika prosesi inti kampua
selesai, dalam hal ini barasanji dan pemotongan rambut, maka perayaan berlanjut
dengan nuansa kemeriahan.
Ada
sesuatu yang berbeda dalam pelaksanaan perayaan ini. Biasanya kemeriahan dalam kampua akan ada ketika keluarga yang
akan menggelar kampua dikaruniai sepasang anak laki-laki dan perempuan.
Puncak
kemeriahan perayaan kampua adalah
pada saat selesai shalat Dzuhur, arak-arakan akan digelar. Semua persiapan
mulai dari pohon pisang, bhengke/geraba
(periuk dari tanah liat), kayu yang diikat dan dibakar ujungnya sebagai ewanga (alat silat), parang dan keris,
para penari hingga seorang sando
(tokoh adat perempuan/yang melahirkan anak).
Setelah
semua perangkat prosesi selesai, acara arak-arakan pun mulai digelar di jalan
hingga sampai pada batas tempat yang telah ditentukan. Dalam arak-arakan, yang
meriah adalah hadirnya silat Muna yang begitu khas diringi pukulan gong yang
merdu pula. Ketika sampai pada batas tempat yang telah ditentukan, seorang sando mulai melakukan ritual dengan
mencari sebuah pohon untuk kemudian menggantung pohon pisang dan kelapa yang
ditutup dengan kantofi (anyaman janur
yang dibentuk menyerupai kerucut) sebagai sebuah persembahan dan seorang tokoh
adat laki-laki memanah kantofi yang berisi kelapa tersebut dengan cara meniup
anak panah yang terbuat dari lidi enau ayng dibungkus dengan kapuk dengan
corong bambu kecil sebagai wadah saat anak panah hendak ditiup.
Setelah
selesai, selanjutnya digelar acara minum kameko
(tuak tradisional khas Muna) dibawah pohon yang digantungkan kantofi. Ketika prosesi di batas telah
selesai, selanjtnya arak-arakan pulang ke rumah yang mengadakan acara kampua untuk selanjutnya melakukan
proses lain. Ketika sampai, rombongan arak-arakan mengelilingi rumah sebanyak 3
atau 7 kali putaran. Selanjutnya pohon pisang yang sudah disiapkan ditanam
dihalaman rumah dan di bawahnya disimpan bhengke/gerabah.
Pemain silat kemudian mengadu silatnya dan memotong pisang serta memecahkan bhengke/gerabah.
Anak
yang diaqiqah selanjutnya didudukan di atas pohon pisang yang sudah ditebang.
Selanjtnya imam kampung mengambil sedikit tanah lalu diusapkan pada titik-titik
tubuh seperti dahi, ketiak, pusat, kaki, dan bagian tubuh yang lain sebagai
bentuk pengenalan terhadap tanah kelahirannya. Setelah selesai, kemudian
digelar acara tari Linda oleh para penari seperti saweran hingga selesai.
Acara
perayaan kampua hingga saat ini masih
terjaga ketradisionalannya karena masyarakat etnik Muna percaya bahwa banyak
filosofi, manfaat dan niali-nilai adat yang khas yang harus tetap
dipertahankan.
d. Katisa
Katisa
merupakan acara menyambut musim tanam dengan menjalin kekerabatan sesama
masyarakat. Acara katisa secara umum
hanpir sama pelaksanaannya di setiap daerah karena yang dibangun adalah
semangat kegotongroyongan.
e. Weano wamba
Weano
wamba yang berarti “asal
kata/bahasa/ucapan”. Weano wamba adalah realisasi dari sebuah nazar
yaitu hajatan, misalnya seseorang yang bernazar bahwa akan menggelar acara kampua yang meriah jika anaknya lahir
nanti, dan sebagainya.
9. Cerita Rakyat
Masyarakat Etnik Muna
juga memiliki warisan tradisi cerita rakyat yang masih terjaga orisinalitasnya
karena sudah banyak orang yang mengenalnya, baik itu dari buku-buku cerita
rakyat yang ditulis oleh masyarakat etnnik Muna sendiri maupun didengar
langsung dari orang Muna. Banyak cerita rakyat daerah yang berkembang yaitu La
Sirimbone, Wa Bunga Bansa Patola dan Wa Sama Samamparia, dan masih banyak lagi
cerita lainnya. Berikut salah satu cerita daerah dari daerah Muna.
La
Sirimbone
Alkisah, di sebuah
daerah di Sulawesi Tenggara, Muna, hiduplah seorang janda cantik bernama Wa Roe
bersama seorang anak laki-lakinya yang masih kecil bernama La Sirimbone. Mereka
tinggal di sebuah gubuk di pinggir kampung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka, Wa Roe bekerja mencari kayu bakar dan menjualnya ke pasar.
Pada suatu hari, datang
seorang pedagang kain dari negeri seberang yang bernama La Patamba. Ia
menawarkan barang dagangannya dari satu rumah penduduk ke rumah penduduk
lainnya. Ia memulainya dari sebuah gubuk yang terletak di paling ujung kampung
itu, yang tidak lain adalah tempat tinggal Wa Roe. Alangkah terkejutnya La
Patamba saat melihat penghuni gubuk itu adalah seorang perempuan cantik jelita.
“Aduhai, cantik sekali perempuan ini,”
ucapnya dalam hati dengan takjub.
Dengan perasaan gugup,
La Patamba menawarkan kain dagangannya kepada Wa Roe. Namun, Wa Roe tidak
membeli karena tidak mempunyai uang. Setelah itu, La Patamba mohon diri untuk
menawarkan untuknya kepada penduduk lainnya. Dalam perjalanan berkeliling
kampung, wajah Wa Roe selalu terbayang-bayang di depan matanya.
Saat hari mulai gelap,
La Patamba kembali ke rumahnya di negeri seberang. Keesokan harinya, La Patamba
kembali ke kampung itu. Namun, ia kembali bukannya untuk berdagang, melainkan
ingin meminang Wa Roe. Untuk menghargai warga di kampung itu, La Patamba
terlebih dahulu meminta restu kepada sesepuh kampung itu dan sekaligus meminta
tolong untuk menemaninya pergi meminang Wa Roe. Setelah mendapat restu, maka
berangkatlah La Patamba bersama sesempuh kampung itu ke tempat Wa Roe.
“Maaf, Wa Roe, jika kami datang secara
tiba-tiba tanpa memberitahukanmu sebelumnya. Maksud kedatangan kami adalah
ingin menyampaikan pinangan La Patamba,” ungkap sesepuh kampung itu.
Mendengar hal itu, Wa
Roe terdiam sejenak. Ia betul-betul tidak menyangka, begitu cepatnya La Patamba
mengambil keputusan ingin menikah dengannya. Padahal ia baru sekali bertemu dan
belum saling mengenal. Sebenarnya, Wa Roe tidak terlalu memikirkan dirinya,
tapi ia mengkhawatirkan anaknya. Setelah berpikir, Wa Roe bersedia menerima
pinangan La Patamba.
“Baiklah. Saya menerima pinangan La
Patamba, tapi dengan syarat ia bersedia menyayangi anakku, La Sirimbone,” jawab
Wa Roe.
Mendengar jawaban dari
Wa Roe, sesepuh kampung itu pun balik bertanya kepada La Patamba tentang syarat
yang diajukan Wa Roe itu.
“Bagaiman menurutmu, La Patamba? Apakah
kamu sanggup memenuhi syarat itu?”
“Aku bukanlah orang yang membenci anak. Aku
akan menyayangi La Sirimbone seperti halnya anak kandungku sendiri,” janji La
Patamba.
Wa Roe pun terbuai
dengan kata-kata manis La Patamba. Akhirnya mereka pun menikah. Pada awalnya
mereka hidup bahagia. La Patamba sangat menyayangi La Sirimbone seperti anak
kandunyanya sendiri. Setiap pulang dari berdagang kain dari satu kampung ke
kampung lainnya, ia selalu membawakannya oleh-oleh. Namun, kebahagiaan itu
hanya berjalan satu bulan. La Patamba tiba-tiba membenci anak tirinya tanpa
alasan. Hampir setiap hari ia memarahi dan memukuli La Sirimbone. Bahkan ia
menyuruh istrinya agar membuang La Sirimbone ke tengah hutan. Namun, Wa Roe
menolak perintah itu.
“Bang! Masih ingatkah dengan perjanjian
kita sebelum menikah? Bukankah Abang berjanji akan menyayangi La Sirimbone
seperti anak kandung Abang sendiri? Tapi, mengapa tiba-tiba Abang begitu
membencinya?”
“Ah, persetan dengan janji itu! Waktu itu
aku hanya berpura-pura memenuhi syarat itu agar aku dapat menikahimu,” jawab La
Patamba dengan marah.
Wa Roe bersama anaknya
menjadi ketakutan mendengar kemarahan La Patamba. Akhirnya, Wa Roe pun
memutuskan untuk membuang anaknya ke tengah hutan dan segera mempersiapkan
bekal untuknya. Sambil mempersiapkan bekal, air matanya berderai membasahi
pipinya, karena sedih memikirkan nasib anaknya yang malang.
Keesokan harinya,
berangkatlah Wa Roe bersama La Sirimbone menuju hutan. Setelah melewati tujuh
buah lembah dan tujuh buah gunung, mereka pun berhenti di sebuah hutan lebat
dan sepi.
“Maafkan Ibu, Nak! Ibu terpaksa
meninggalkanmu sendiri di sini,” kata Wa Roe sambil memeluk anak semata
wayangnya.
“Ibu...! Bagaimana dengan nasibku, Bu?”
tanya La Sirimbone mengiba sambil menangis.
“Pergilah sendiri melewati gunung dan
lembah! Jagalah dirimu baik-baik! Ibu akan mendoakanmu semoga Tuhan selalu
melindungimu,” jawab Wa Roe seraya berpamitan pulang.
Setelah ibunya pergi, La
Sirimbone pun melanjutkan perjalanannya menelusuri hutan dan lembah. Sudah tujuh
hari tujuh malam ia berjalan sendiri dan sudah tujuh lembah dan gunung yang ia
lewati.
Pada suatu hari, ketika
menyusuri sebuah hutan, La Sirimbone menemukan tapak kaki manusia yang sangat
besar.
“Wah, Aneh! Kenapa ada tapak kaki menusia
sebesar ini?” tanyanya dalam hati.
Oleh karena penasaran,
ia pun mengikuti tapak kaki raksasa itu. Setelah beberapa jauh berjalan,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara gemuruh. Alangkah terkejutnya ia saat
mendekati sumber suara itu. Ia melihat seorang raksasa perempuan sedang
menumbuk. Ia pun menjadi gemetar ketakutan dan segera mendekap di betis raksasa
perempuan itu.
“Hei, anak manusia! Siapa kamu dan kenapa
berada di tengah hutan ini?” tanya raksasa perempuan itu.
Dengan perasaan takut,
La Sirimbone pun menceritakan tentang dirinya dan semua yang dialaminya hingga
ia sampai di hutan itu. Mendengar cerita itu, rakasasa perempuan itu pun merasa
iba dan mengajak La Sirimbone untuk tinggal di rumahnya. Di rumah itu, La
Sirimbone dimasukkan ke dalam sebuah kurungan.
“Kenapa aku dimasukkan ke dalam kurungan?”
keluh La Sirimbone.
“Maaf, La Sirimbone! Aku sengaja
memasukkanmu ke dalam kurungan ini agar kamu tidak dimakan oleh raksasa
laki-laki. Ia selalu berkeliaran di hutan ini mencari mangsa,” jawab raksasa
perempuan itu.
La Sirimbone pun
menuruti perintah raksasa perempuan itu, karena takut dimakan oleh raksasa
laki-laki. Demikianlah, setiap hari La Sirimbone tinggal di dalam kurungan
hingga ia tumbuh menjadi dewasa.
Oleh karena jenuh
tinggal terus di dalam kurungan, La Sirimbone meminta izin untuk pergi
berjalan-jalan dan berburu binatang di dalam hutan itu. Ia pun diizinkan dan
dibuatkan panah oleh raksasa perempuan itu. Setelah setengah hari berburu, ia
pun memperoleh banyak binatang buruan.
Tiga hari kemudian, La
Sirimbone kembali meminta izin untuk pergi menangkap ikan di sungai yang banyak
ikannya. Ia pun diizinkan dan dibuatkan bubu (salah satu alat penangkap ikan).
Bubu itu ia pasang di sungai. Alangkah gembiranya ia, karena banyak ikan yang
terperangkap ke dalam bubunya. Sebelum pulang, ia memasang kembali bubunya di
sungai itu.
Keesokan harinya, La
Sirimbone kembali ke sungai itu untuk memeriksa bubunya. Alangkah terkejutnya
ia saat melihat bubunya kosong, tidak seekor ikan pun yang terperangkap di
dalamnya.
“Aneh! Kenapa bubuku kosong? Padahal masih
banyak sekali ikan di sungai ini,” keluh La Sirimbone dalam hati.
Akhirnya, ia kembali
memasang bubunya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia pergi ke sungai itu
untuk memeriksa bubunya. Ketika sampai di sungai, ia melihat jin sedang
mengangkat bubunya. Oleh karena kesal, La Sirimbone pun menyerang jin itu. Maka
terjadilah perkelahian dahsyat antara jin dan La Sirimbone. Dalam perkelahian
itu La Sirimbone berhasil mengalahkan dan menangkap jin itu. La Sirimbone tidak
mau melepaskannya, hingga akhirnya jin itu berjanji akan memberikan sebuah
jimat berupa cincin yang dapat menyembuhkan segala macam penyakit dan bahkan
mampu menghidupkan kembali orang mati.
Setelah menerima jimat
itu, La Sirimbone bergegas pulang ke rumah raksasa perempuan dengan menyusuri
tepi sungai. Di tengah perjalanan, ia melihat seekor babi yang sedang berjalan
di atas air.
“Hei, Babi! Bagaimana kamu bisa berjalan di
atas air?” tanya La Sirimbone heran.
“Aku memakai jimat kalung,” jawab babi itu.
“Maukah kamu memberikan jimat itu
kepadaku?” pinta La Sirimbone.
Babi itu pun memberikan
jimat kalungnya kepada La Sirimbone. Kemudian La Sirimbone mengalungkan jimat
itu ke lehernya dan bisa berjalan di atas air. Tidak beberapa lama berjalan, ia
bertemu dengan seorang nelayan yang sedang menangkap ikan.
“Hei, Pak Nelayan! Alat apa yang Bapak
gunakan menangkap ikan di sungai?” tanya La Sirimbone.
“Saya menggunakan sebuah keris pusaka yang
dapat menikam sendiri jika diperintah,” jawab nelayan itu.
Oleh karena tertarik, La
Sirimbone pun meminta keris itu kepada si nelayan. Si nelayan pun memberinya
dengan suka rela. Setelah itu, La Sirimbone kembali ke darat untuk meneruskan
perjalanannya dengan menyusuri hutan. Di tengah perjalanan, ia bertemu
orang-orang yang sedang mengusung jenazah. Ia pun memerintahkan orang-orang itu
untuk menurunkan jenazah itu dari usungannya. Setelah membuka kain kafan
jenazah itu, ia segera menggosok-gosokkan cincin pemberian jin di pusar jenazah
itu. Seketika itu pula, jenazah itu hidup kembali. Semua pengantar jenazah
tercengang melihat peristiwa itu. Setelah itu, La Sirimbone pulang ke rumah
raksasa perempuan. Sesampainya di rumah raksasa perempuan, La Sirimbone pun
menceritakan semua peristiwa yang dialaminya.
Pada hari berikutnya, La
Sirimbone kembali meminta izin kepada raksasa perempuan untuk pergi berburu
binatang di tempat yang agak jauh. Raksasa perempuan pun mengizinkannya, karena
sudah tidak khawatir lagi dengan La Sirimbone. Apalagi La Sirimbone telah
memiliki beberapa senjata pusaka. Setelah berpamitan, ia pun berangkat dengan
menyusuri hutan dan lembah.
Saat melewati sebuah
perkampungan, La Sirimbone memutuskan untuk beristirahat sejenak dan meminta
air minum kepada penduduk kampung karena kehausan. Ia pun berhenti di depan
sebuah rumah yang pintunya sedikit terbuka. Ia berpikir bahwa penghuni rumah
itu ada di dalam.
“Permisi! Apakah ada orang di dalam?” tanya
La Sirimbone sambil mengetuk pintu rumah itu.
Alangkah terkejutnya La
Sirimbone saat melihat seorang gadis cantik jelita muncul dari dalam rumah.
Namun, wajah gadis cantik itu tampak murung dan gelisah.
“Maaf kalau saya mengganggu. Bolehkah saya
meminta seteguk air minum?” pinta La Sirimbone.
“Boleh. Silahkan duduk dulu!” seru gadis
itu seraya masuk ke dapur.
Tidak berapa lama, gadis itu kembali sambil
membawa segelas air minum dan memberikannya kepada La Sirimbone.
“Terima kasih, gadis cantik! ucap La Sirimbone.
“O, iya! Perkenalkan, nama saya La
Sirimbone. Saya hanya kebetulan lewat di kampung ini dan hendak pergi berburu
di sebuah hutan tidak jauh dari sini. Kamu siapa?” tanya La Sirimbone.
“Aku Wa Ngkurorio,” jawab gadis itu dengan
suara lirih.
“Kenapa kamu tampak sedih dan murung
seperti itu?” tanya La Sirimbone sedikit memberi perhatian.
“Iya. Saya memang sedih, karena ajalku
sebentar lagi tiba,” jawab gadis itu.
“Apa maksdumu, Wa Ngkurorio?” tanya La
Sirimbone penasaran.
“Saya sekarang sedang menunggu giliran
dimakan oleh seekor ular naga. Saudara-saudaraku yang tujuh orang, kini sudah
habis dimakan oleh ular naga itu. Yang hidup sekarang tinggal saya, ayah, dan
ibu saya,” jelas Wa Ngkurorio dengan perasaan sedih.
“Sebaiknya kamu segera
meninggalkan tempat ini. Saya khawatir kamu juga akan dimakan oleh ular naga
itu,” tambah gadis itu.
“Kamu jangan khawatir, ular
naga itu tidak akan memakan kita. Jika dia datang, saya akan melawannya dengan
senjata pusaka ini,” kata La Sirimbone sambil mengeluarkan keris pusakanya dari
balik bajunya.
“Tapi, ular naga itu
sangat besar dan ganas. Walaupun seluruh penduduk di sini menghadapinya tidak
akan sanggup mengalahkannya,” ucap Wa Ngkurorio dengan perasaan cemas.
“Sudahlah, Wa Ngkurorio! Jangan takut, saya
akan melumpuhkannya dengan keris pusakaku yang sakti ini,” jawab La Sirimbone
menenangkan hati gadis itu.
Menjelang sore hari,
ular naga itu datang ke rumah Wa Ngkurorio. Mengetahui hal itu, gadis itu
tiba-tiba menggigil ketakutan, sedangkan La Sirimbone tenang-tenang saja. Saat
ular naga itu hendak masuk ke dalam rumah itu, La Sirimbone segera berbisik
kepada keris pusakanya. Dengan secepat kilat, keris itu meluncur masuk ke dalam
perut ular naga itu. Dalam sekejap, ular naga itu pun mati seketika, karena
seluruh isi perutnya dikoyak-koyak oleh keris itu.
Wa Ngkurorio takjub
melihat keampuhan keris pusaka La Sirimbone. Ia pun berterima kasih kepada La
Sirimbone karena telah menyelamatkan nyawanya. Tidak berapa lama, para penduduk
pun berdatangan ingin melihat ular naga yang sudah tergeletak di tanah itu.
Mereka sangat gembira, karena kampung mereka telah aman dari ancaman ular naga
pemakan manusia itu.
Untuk merayakan
kegembiraan itu, mereka mengadakan pesta besar-besaran, dan untuk membalas jasa
La Sirimbone, penduduk kampung itu menikahkan La Sirimbone dengan Wa Ngkurorio.
Akhirnya, La Sirimbone tinggal di kampung itu dan hidup berbahagia bersama Wa
Ngkurorio.
0 comments: