ANALISIS PUISI BUTON 1969 KARYA IRIANTO IBRAHIM: Suatu Interpretasi Semiotik Riffaterre

September 30, 2017 Unknown 0 Comments



 Pendahuluan
Sastra memberikan pengertian yang dalam tentang manusia dan memberikan ruang interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan (Jabrohim, 2010). Ruang interpretasi itu selanjutnya terintegrasi dalam karya sastra sebagai produk sastra dan budaya. Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kondisi sosial masyarakat yang tejadi di dunia realitas sehingga karya itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang kehidupan. Masalah sosial dan kejadian yang dialami, dirasakan, dan dilihat oleh pengarang melahirkan ide atau gagasan yang dituangkan dalam karyanya.
Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Sebuah karya sastra akan saling mempengaruhi secara timbal balik dan rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural yang ada. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit dan membawa pengaruhnya sendiri. Puisi sebagai sebuah karya sastra merupakan hasil cipta dan penggalian ide secara imajinatif manusia yang bertolak dari kehidupan manusia. Puisi merupakan genre sastra yang menyajikan kehidupan manusia secara figuratif, ringkas, ekspresif, dan imajiner dibandingkan dengan cerpen atau novel yang cenderung naratif. Beban puisi tidak ringan. Puisi menyelinap di antara sekian banyak kepentingan, sekaligus terbebas dari sekian banyak kegiatan penyingkiran. Sikap dalam puisi dipengaruhi oleh unsur terpentingnya, yaitu penyair yang mengurai ideologi, sikap, dan isu di dalamnya. Dengan demikian, kehadiran sebuah karya sastra puisi tidak lepas dari unsur subjektivitas penyair.
Peran penyair mengorganisasikan ide dalam puisi sangat vital dan menentukan nilai makna karya sastra puisi tersebut, terlepas dari kemampuan pembaca menginterpretasinya. Penyair adalah sebatang pohon yang mengenyangkan perut yang kosong kelaparan. Analogi sederhana ini mengandung muatan energi yang tidak akan mencapai limit tertentu, meski puisi mencapai limit interpretasi (batas interpretasi/pemaknaan).
Dalam tradisi kepenyairan Indonesia, dominasi penyair Jawa sangat kental. Hal itu tergambar dari banyaknya karya-karya berupa puisi yang dibukukan dan diterbitkan, baik pada skala kecil maupun skala besar. Secara tidak langsung, kondisi tersebut berimplikasi pada menurunnya image penyair lokal untuk standing up dan menunjukan kompetensi berkaryanya di level nasional. Namun, kemunduran tersebut perlahan tereduksi dalam proses nyata yang ditunjukan beberapa penyair lokal akhir-akhir ini. Pergeseran keadaan ini membawa atmosfir baru untuk peta perkembangan sastra nasional, khususnya pada level lokal.
Penyair lokal mulai gigih menunjukan proses kreatif dalam bidang penulisan, salah satunya adalah menulis puisi yang juga menjadi bagian penting dalam memperkaya khazanah sastra di Indonesia. Dalam memotret kemajuan tersebut, menarik untuk menempatkan Irianto Ibrahim sebagai sosok penyair lokal yang menjadi salah satu perintis jalan dalam tradisi berpuisi dan menjejakkan kaki di level nasional. Kepenyairan Irianto Ibrahim sudah di mulai sejak sepuluh tahun silam, terbukti dari partisipasinya dalam banyak kegiatan kesastraan yang mengkhusus pada genre karya sastra puisi.
Irianto Ibrahim lahir di Gu-Buton, Sulawesi Tenggara pada  21 Oktober 1978. Irianto telah menunjukan eksistensi berkaryanya dalam hal menulis puisi. Tercatat beberapa karyanya menjadi populer di banyak media sastra lokal dan nasional, misalnya beberapa sajaknya yang dimuat di Horison, Bali Post, Kendari Pos, Kendari Ekspres, Radar Tasikmalaya, dan jurnal puisi rumahlebah ruangpuisi. Karyanya yang lain terkumpul dalam antologi bersama Malam Bulan Puisi (Teater Sendiri), Jejak Sunyi Tsunami (Kantor Bahasa Medan-Pusat Bahasa Jakarta), Wajah Deportan (Komunitas Teras Puitika dan AUK, 2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (Antologi Temus Sastrawan Indonesia II Bangka Belitung, 2009), rumahlebah ruangpuisi#02 (Yogyakarta, 2009). Irianto juga tercatat sebagai peserta Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) 2007 di bidang penulisan puisi. Puncak pencapaian terbaiknya adalah berhasil membukukan puisi-puisinya secara tunggal dan pertama kali di Sulawesi Tenggara, yaitu Buton, Ibu dan Sekantong Luka yang diterbitkan oleh Framepublishing Yogyakarta tahun 2010. Selanjutnya, buku itulah yang dirasa penting oleh peneliti untuk mengurai lebih jauh tentang urgensi nilai dan makna terhadap sebuah karya sastra (baca: puisi). Intensitas  masalah sosial dan sejarah yang dilihat oleh peneliti dalam sajak-sajak tersebut akan memberi ruang interpretasi seluas-luasnya bagi pembaca mapun peneliti. Hal yang progres jika menarik  genre sastra puisi bertema sosio-lokal-historis pada level masyarakat, terlebih hal itu dibenturkan dengan keseluruhan struktur sosial yang mapan dalam masyarakat. Corak interaksi sastra khususnya puisi tersebut akan mengalami benturan, yakni perubahan-perubahan pada struktur sosial dan berakibat pada perubahan kaidah atau regulasi yang sifatnya konvesional dalam kesusastraan.
Puisi karya Irianto Ibrahim dikenal romantis, realis, metaforis, dan imajiner. Ada juga yang mengatakannya subjektif atas dasar pembacaan dan pemaknaan secara personal pula. Bahasa sebagai medium vital penyampaian pesan melalui puisi-puisinya dirasakan sampai kepada pembaca oleh peneliti. Selain itu, hal lain yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah konstruksi diksi yang digunakan Irianto dan penataannya mewakilkan makna secara optimal, misalnya sajaknya yang figuratif dengan mengeksplor visual (gambar) ke dalam sajaknya atau sebaliknya.
Buton 1969 adalah sajak pembuka antologi Buton, Ibu dan Sekantong Luka. Sebuah sajak yang bernafas berat, sentimentil, duka di dalamnya mampu menggeser sajak-sajak lainnya (Mubarok, 2010). Salah satu kutipan kuat di bagian penutup sajak ini yaitu “kau khusuk menulis nestapa, darah lebih kental dari luka, lebih sakit dari kenangan”. Sajak ini mencoba memotret pedihnya tragedi Buton. Berikut kutipan penegasan dari pengantar penerbit yang menguatkan kedahsyatan makna sajak ini, “Seolah narasi tidak sanggup menyampaikan derita dan teraniaya korban–termasuk kematian Muh. Kasim dan banyak korban lain di luar batas kemanusiaan–sehingga puisi dianggap menyampaikan kesaksian”. Kutipan ini tegas dan sarat makna. Sajak Buton 1969 berangkat dari sebuah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Buton.
Tahun 1969, Buton dituduh sebagai basis PKI hanya karena sebuah informasi bahwa Buton menjadi tempat penyelundupan senjata dari Cina. Bupati Buton, Muh. Kasim beserta lebih kurang 40 orang aparat pemerintah Buton dan anggota ABRI asal Buton ditangkap tanpa surat perintah. Rumah-rumah penduduk digeledah dan banyak harta mereka dirampas. Buton banjir darah 4 tahun setelah G30S PKI. Padahal setelah dilakukan penyelidikan ternyata di Buton tidak ditemukan senjata dan tidak ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari Cina. Yusran Darmawan dalam bukunya Menyibak Kabut di Keraton Buton (Respect, 2008) juga menegaskan bahwa isu Buton sebagai basis PKI direspon oleh pihak militer yang langsung melakukan penangkapan pada ratusan orang Buton. Selain itu juga, Saleh Hanan, penulis buku Catatan Jurnalis Operasi Militer 1969: ‘Buton Basis PKI’ (2000) mengungkapkan bahwa isu tersebut digulirkan untuk melemahkan dan sekaligus mematikan putra-putra terbaik Buton. Sajak ini sungguh mengurai tragedi dan sejarah yang kelam di Buton tahun 1969.
Restrukturisasi kehidupan sosial yang sesungguhnya akan banyak kita dapatkan dalam lima sajak tersebut. Realitas sosial dan sejarah dalam masyarakat berpengaruh kuat dalam teks puisi. Hal seperti ini bukan kesengajaan penciptaan karena puisi adalah gerak imajinasi penyair, tetapi seorang penyair kadang lebih peka dan responsif dengan masyarakat dan dalam konten semacam itu. Munculnya aliran-aliran dalam puisi, atau karya sastra membuktikan kepekaan pengarang dalam menyelami realitas.
Memahami karya sastra menurut Paul Ricoeur melalui pandangan filsafat bahasa adalah memahami teks sastra sebagai bentuk fenomena di dalam karya sastra tersebut yang secara otonom melalui bahasa yang di dalamnya juga menggunakan metafor-metafor. Selanjutnya Ricoeur menekankan bahwa filsafat pada hakikatnya adalah hermeneutika yang merupakan objek kajian terhadap teks dan lebih menekankan pada kupasan makna tersembunyi.
Dalam sebuah proses pemaknaan, yang paling penting adalah prosuksi makna yang dihasilkan dari interaksi antara pembaca dengan teks (baca: sajak). Hal ini mengandung konsep pemikiran bahwa suatu pemaknaan akan lebih utuh jika seorang pembaca mampu menyelami dunia realitas atau konteks riil dalam deret teks-teks yang dibaca. Dengan demikian, pembaca adalah orang yang betugas untuk memberi makna sebuah karya sastra. Khusus pemaknaan karya sastra puisi, proses pemaknaan dimulai dengan pembacaan heuristik, yaitu menemukan makna teks berdasarkan fungsi bahasa sebagai komunikasi dunia luar (fungsi mimetik). Selanjutnya meningkat pada pembacaan hermeneutik, yaitu pemaknaan yang merunut arti sebuah tanda atau kode sebuah karya sastra. Hal yang berhubungan dengan tanda dikonsepkan dalam istilah semiotik, selanjutnya peneliti mengembangkan teori ini untuk memaknai karya sastra puisi dengan konsep pemikiran Riffaterre.
Riffaterre lebih jauh menjelaskan bahwa untuk memperoleh makna yang utuh terhadap sebuah puisi, maka pembaca harus menentukan matriks dan model yang terdapat dalam karya itu. Selanjutnya pembaca melihat hubungan atau keterkaitan sebuah karya dengan teks lain (intertekstual). Dari keempat konsep pemaknaan yang diungkapkan dalam metode semiotik Riffaterre ini, peneliti merasa tepat untuk menerapkannya, namun hanya pada tiga konsep (heuristik, hermeneutik, dan matrik dan model) pada pamaknaan lima sajak dalam kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Langkah-langkah pemaknaan terhadap puisi yang dikemukakan oleh Riffateree memberi ruang untuk memberikan pemaknaan terhadap lima sajak dalam kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim secara total dan optimal sebagaimana dikonsepkan dalam kajian hermeneutik Paul Ricoeur.

Puisi Buton 1969 dalam Kajian Semiotik Riffaterre

Sajak Buton 1969
begitu tahun-tahun menjadi sepi
dan malam bergegas menyibak riak waktu
kau tak usah mendesak laut menyurut
atau pohon-pohon mengemis angin
karena darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

mungkin kau butuh semacam nestapa
atau ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil bersiul menanti pisau waktu
yang berjubah hitam, persis nenek sihir

bukan tawar-menawar yang kau tunggu
karena gagak tak pernah lupa alamat malam
dari matanya yang menikam kelam
meski berkali-kali kau menyebut ingin
ia tak hinggap di sana
tidak di deretan kata yang memuat namamu

pulanglah, kembali ke bilik langit
sambil bersiul sepanjang luka
sepanjang kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun cerita
seperti ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah

adalah peta yang sama kau jejaki
dari ujung nadi terjauh
tempat anjing-anjing kurus
dengan liur yang tak pernah kering
mendesakmu dengan seribu tuduhan
semacam goa yang ditolak para pertapa
kau khusuk menulis nestapa
darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

1)   Pembacaan Heuristik
Puisi Buton 1969 merupakan puisi berlatar sosial-lokal-historis yang menjadi pusi pembuka dalam kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim. Konstruksi larik-lariknya begitu apik dan sarat makna. Berikut uraian pembacaan secara heuristik per baitnya.


Bait pertama:
begitu tahun-tahun menjadi sepi
dan malam bergegas menyibak riak waktu
kau tak usah mendesak laut  menyurut
atau pohon-pohon  mengemis angin
karena darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

Puisi di atas menyimpan segenap cerita kelam dalam kurun waktu yang cukup lama. Larik pertama sangat jelas mengarahkan pada pemaknaannya, yaitu /begitu tahun-tahun menjadi sepi/ artinya waktu yang terlupakan, bertahun-tahun meninggalkan sesuatu. Selanjutnya diperkuat kembali pada larik kedua, /dan malam bergegas menyibak riak waktu/ berarti malam menjadi penuntas serumpun keadaan dan bermusim waktu. Di larik selanjutnya, /kau tak usah mendesak laut menyurut/, kau dalam potongan larik tersebut berarti kata ganti orang pertama jamak dan menunjukan relasi dialogis antara penyair dengan orang yang disamarkan penyair. Selain itu, kelas kata kau sebagai nomina melahirkan interpretasi lain atas kata ini dan dapat dimaknai sebagai objek selain orang yang digambarkan penyair.
Larik berikutnya /atau pohon-pohon mengemis angin/, konsep gaya bahasa personifikasi yang mendukung keutuhan makna dalam satu bait pada konstruksi sajak tersebut. Pohon yang berarti tumbuhan yang identik dengan batang, cabang, dan berdaun jika dihubungkan dengan kata mengemis angin, maka hal ini merupakan sebuah hal yang tidak biasa. Lazimnya angin senantiasa bersahabat dengan pohon, tetapi jika keadaan ini berbalik maka menimbulkan tanda tanya. Pohon yang mengemis angin lebih menyimbolkan sebuah kehampaan, kenestapaan, dan sebentuk keranggasan dalam sebuah kehidupan. Dua larik terakhir, /karena darah lebih kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/ merupakan satu gabungan sekaligus penggambaran yang memperkuat segala bentuk kehampaan sebagaimana pembacaan di larik-larik awal puisi tersebut. Darah yang berarti sel-sel merah atau putih yang mengalir dalam pembuluh darah manusia secara leksikal dan luka merujuk pada makna kamus lebih dimaknai dengan cedera yang diakibatkan oleh sesuatu yang tajam. Darah dan luka adalah dua hal yang menunjukan hubungan kausatif (sebab akibat). Sedangkan sakit dan kenangan menjadi berhubungan jika salah satu termarginalkan, artinya ada penyebab yang mengakibatkan keduanya menjadi saling berhubungan.


Bait kedua:
mungkin kau butuh  semacam nestapa
atau ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil bersiul  menanti pisau waktu
yang berjubah hitam, persis nenek sihir

Larik pertama pada bait kedua ini menyimpan ‘sesayat’ cerita miris dan duka yang mendalam. /Mungkin butuh semacam nestapa/ berarti membutuhkan suatu kesedihan atau kegundahan yang selanjutnya pada larik kedua /atau ruang khusus penampung berkarung sesal/ menambah dramatisasi cerita penyesalan. /Ruang khusus dan penampung berkarung sesal/ dapat diartikan sebagai tempat untuk menumpahkan segala kenangan buruk. Namun, larik ketiga dan keempat sedikit kontras karena suasana menjadi paradoksal meski akhirnya juga berlabuh pada kekelabuan. /Sambil bersiul menanti pisau waktu/ yang berjubah hitam, persis nenek sihir/, bersiul lebih menandakan suasana senang, tetapi jubah hitam dan nenek sihir adalah dua hal yang berhubungan dengan misteri dan kelam. Latar keadaan yang kelabu secara komprehensif utuh dalam sajak ini.
Bait ketiga:
bukan tawar-menawar yang kau tunggu
karena gagak tak pernah lupa alamat malam
dari matanya yang menikam kelam
meski berkali-kali kau menyebut ingin
ia tak  hinggap di sana
tidak di deretan kata yang memuat namamu

Pada larik pertama di bait ketiga ini /bukan tawar menawar yang kau tunggu/ arti leksikal yang diperoleh lebih mengarah pada esensi dari saling membutuhkan. Layaknya dalam sebuah tradisi jual beli maka istilah lazim yang digunakan adalah tawar-menawar sebagai upaya untuk mendapatkan persetujuan pembelian barang. Konsekuensi logisnya adalah ditemukannya keputusan oleh kedua pihak. Kata tawar-menawar merupakan bentuk reduplikasi sebagian yang berarti saling yang merujuk pada melakukan perbuatan (melakukan kegiatan tawar menawar atau negosiasi).
/Karena gagak tak pernah lupa alamat malam/, gagak merupakan burung pemakan daging dengan ciri berbulu hitam sedangkan alamat malam diartikan untuk menyebut sebuah tempat. Dua objek ini memiliki substansi masing-masing, tetapi menjadi sesuatu yang lain jika keduanya saling berhubungan. Lazimnya gagak pada siang hari, jika pada malam hari maka ia melahirkan cerita mistik dan berbagai tafsir takhayul dalam kehidupan masyarakat tradisional. Jika keduanya menyatu dalam larik kedua tersebut, makna yang jelas adalah simbolitas tentang kematian. Larik /dari matanya yang menikam kelam/ merupakan lanjutan dari larik kedua yang mempertegas gagak dengan identitas nestapa, duka, dan kekelaman.
   Meski berkali-kali kau menyebut ingin, artinya intensitas atau  berulang dan frekuensi keinginan kau (baca: Buton). /Ia tak hinggap di sana/, masih berhubungan dengan jejak gagak yang juga tak ada dalam sebuah rasa ingin. Kemudian larik terakhir /tidak di deretan kata yang memuat namamu/, berarti kehampaan atau kekosongan. /Deretan kata/ merupakan himpunan huruf yang terbentuk menjadi konstruksi bahasa (tataran kata), selanjutnya nama sering menjadi aplikasi dari himpunan huruf atau kata tersebut.
Bait keempat:
pulanglah, kembali ke bilik langit
sambil bersiul sepanjang luka
sepanjang kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun  cerita
seperti ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah

Larik pertama /pulanglah, kembali kau ke bilik langit/. Kata pulanglah berarti ajakan untuk kembali ke tempat asal. Selanjutnya kembali ke bilik langit artinya awal di mana sesuatu yang disebut penyairnya sebagai tempat asal kau (Buton). Langit merupakan ruang luas yang terbentang di atas permukaan bumi dan menjadi batas pandangan manusi karena langit pun tak pernah diakui sebagai sebuah tempat yang pasti dan berbatas. Sehingga memaknai bilik langit berarti sesuatu yang berhubungan dengan ruang yang khusus yang dijadikan untuk tempat.
Sambil bersiul sepanjang luka. Bersiul artinya mengeluarkan bunyi melalui mulut dan biasanya berirama yang identik dengan keadaan senang atau sedang dalam kebahagiaan dan luka berarti sesuatu yang diakibatkan karena cedera dan menimbulkan rasa sakit. Larik ini menandakan sebuah hal yang kontras, yaitu keadaan senang namun di sisi lain sedang dalam rasa sakit.
/Sepanjang kenangan yang menghanguskan/. Kenangan adalah sesuatu yang membekas, dapat berupa cerita atau pun keadaan. Hangus berarti terbakar sampai menjadi abu, habis sama sekali karena terbakar, ditambah dengan imbuhan me(N)-kan menjadi menghanguskan artinya membakar sampai menjadi abu. Dengan demikian, larik /sepanjang kenangan yang menghanguskan/ berarti sebuah kenangan yang terbakar, yang hanya menyisakan sesal disebabkan oleh unsur kesengajaan. Selanjutnya larik keempat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari larik ketiga, yaitu tahun-tahun cerita berarti waktu yang cukup lama, penuh dan terisi dengan banyak cerita.
/Seperti ketika kau melewati tanah perbatasan/. Pada larik ini terdapat konjungsi ketika yang menandakan adanya hubungan waktu. Subjek kau masih menjadi objek pembicaraan penyair yang oleh penulis memaknainya sebagai sebutan untuk nomina “Buton”. Tanah perbatasan berarti daerah yang menjadi batas dua wilayah. Daerah perbatasan merupakan daerah yang rawan konflik dan sarat akan ragam masalah, bahkan sering menimbulkan perpecahan. Melewati tanah perbatasan berarti siap melalui area penuh masalah. Konflik sewaktu-waktu dapat menjadi ancaman di daerah perbatasan.
/Tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah/. Larik terakhir pada bait keempat ini masih berhubungan dengan larik sebelumnya. Tanah yang dijaga para tentara masih berhubungan dengan tanah atau daerah perbatasan. Kata tentara berarti prajurit atau militer dan identitas ‘orang kuat dan tangguh’ sangat dilekatkan pada mereka (baca: tentara). Sehingga lanjutan penyifatan untuk tentara dengan sifat marah lebih mengidentikkan peringai mereka yang tak suka ‘main-main’.
Bait kelima:
adalah peta yang sama kau jejaki
dari ujung nadi  terjauh
tempat anjing-anjing kurus
dengan liur yang tak pernah kering
mendesakmu dengan seribu tuduhan
semacam goa yang ditolak  para pertapa
kau khusuk menulis  nestapa
darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

/Adalah peta yang sama kau jejaki/. Peta artinya gambar yang menunjukan letak tanah, laut, jalan, gunung, dan sebagainya. Peta merupakan simbol, biasanya berhubungan dengan cara untuk mengenali sebuah daerah dengan tanda atau gambar-gambar khusus. Yang sama kau jejaki diartikan dengan sesuatu atau daerah yang pernah dilalui atau dilewati. Kemudian larik kedua, /dari ujung nadi terjauh/. Nadi artinya pembuluh darah besar dan biasanya berhubungan dengan kehidupan secara universal sebagai tanda yang menentukan hidup atau tidaknya manusia sebagai makhluk hidup. Terjauh diartikan sebagai titik paling jauh dari sebuah objek yang dituju.
/Tempat anjing-anjing kurus/. Anjing artinya binatang pemakan daging. Reduplikasi anjing-anjing ditambah dengan adjektif kurus menjadi simbol yang tak terbantahkan sebagai penyifatan terhadap orang yang rakus. ‘Justifikasi’ semacam ini menjadi sebagai kelaziman dan bahkan sudah menjadi konvensi publik, biasanya berhubungan dengan individu atau kelompok tertentu yang mendzalimi kalangan tertentu pula.
/Dengan liur yang tak pernah kering/. Lanjutan larik ketiga ini lebih diartikan dengan penebalan keadaan dan sifat. Sesuatu yang tak pernah kering menjanjikan sesuatu yang lain untuk menjadi lebih meningkat dari keadaan sebelumnya. Binatang seperti anjing identik dengan liur yang jatuh, mengidentikkan kerakusan dengan porsi keinginan yang berlebih.
/Mendesakmu dengan seribu tuduhan/. Kata mendesakmu lebih menekankan pada sebuah intimidasi dan seribu tuduhan merupakan konsekuensi logis dari sebuah intimidasi yakni banyaknya tuduhan atau semacam pengadilan khusus. Semacam gua yang ditolak para pertapa, larik ini sesungguhnya berangkat dari larik sebelumnya dan merupakan sebuah analogi sederhana. Gua artinya liang besar di lereng gunung dan keadaan gelap sangat identik dengan gua. Pertapa artinya orang yang melakukan semedi di gua. Para pertapa selalu memilih gua untuk dijadikan tempat semedi atau bertapa karena suasanya yang tenang dan sepi. Namun jika pertapa menolak gua sebagai sebuah tempat disakralkan maka ini sungguh di luar kebiasaan. Terselip sesuatu yang lain dan menjadi alasan.
/Kau khusuk menulis nestapa/ artinya kau dengan sungguh-sungguh sebagai arti leksikal dari khusuk menulis dan mengurai kesedihan yang begitu dalam (nestapa). Lanjutan larik terakhir dalam bait ini merupakan repetisi dari larik terakhir bait pertama, yaitu /darah lebih kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/. Universalitas makna luka yang perih dicirikan dengan darah yang kental dan kenangan adalah cerita sejarah, menjadi sesuatu yang menyakitkan jika kita melupakan kenangan. Efek dari melupakan kenangan adalah sesuatu yang timbul yaitu rasa sakit pada pikiran dan perasaan.   

2)   Pembacaan Hermeneutik
Sajak Buton 1969 karya Irianto Ibrahim merupakan sajak yang sarat dengan ikonitas, simbolitas dan indeksial. Ini tergambar jelas dalam hal-hal yang universal dan menjadi sebuah konvensi dalam sajak tersebut. Dari judul kita sudah bisa mengurai simbol, Buton merupakan kerajaan yang berdiri tahun 1332 M terkenal dengan benteng terluasnya. Buton menyimpan sejarah kejayaan masa silam, namun juga memeram cerita kelam dalam perjalanannya dan 1969 merupakan simbol waktu di mana sebuah dekade atau masa Buton mencatatkan sejarah kelamnya.
Sajak ini merupakan sajak pembuka dalam kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim yang menjadi roh antologi puisinya. Secara fisik, sajak Buton 1969 tidak terlalu kuat artinya nuansa lokalitas tidak tampak. Hal ini dapat dibuktikan dalam diksi-diksi yang ditampilkan pada larik-larik sajaknya yang tidak mengesankan Buton dengan segala lokalitas dan identitas. Namun, mengurai tanda-tanda pada sajak ini mengarahkan kita pada penemuan makna atas tragedi dan prahara.
Jabrohim dalam esai singkatnya untuk kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim mengatakan bahwa sajak ini merupakan sajak yang bernafas berat dan sentimentil. Pernyataan tersebut didukung oleh fakta cerita yang melatari sajak ini. Sajak Buton 1969 berangkat dari sebuah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di sana. Tahun 1969 Buton dituduh sebagai basis PKI hanya karena sebuah informasi bahwa Buton menjadi tempat penyelundupan senjata dari Cina. Bupati Buton, Muh. Kasim beseta lebih kurang 40 orang aparat pemerintah Buton dan anggota ABRI asal buton ditangkap tanpa surat perintah. Rumah-rumah penduduk digeledah dan banyak harta mereka dirampas. Buton banjir darah 4 tahun setelah G30S PKI.
Saleh Hanan dalam bukunya Catatan Jurnalis Operasi Militer 1969: ‘Buton Basis PKI’ (2000: 6) turut pula mengatakan bahwa Buton digaris merah sebagai basis PKI. Sejarah yang dituliskannya dalam buku tersebut merupakan wujud kebesaran dan kemenangan penguasa di era tersebut, era Orde Baru. Bola panas yang digulirkan oknum TNI hanya merupakan sebuah tuduhan-tuduhan tak berdasar. Larik lima bait lima /mendesakmu dengan seribu tuduhan/ menggambarkan betapa Buton yang dijabat oleh Muh. Kasim era itu “dipaksa” mengakui tuduhan-tuduhan dari oknum antikepemerintahannya. Selain itu, larik /karena darah lebih kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/ juga menggambarkan kepedihan yang lebih, derita atas sejarah kelam yang ditetaskan korban-korban isu sosial yang digulirkan oknum TNI. Hubungan indeksial antara darah dan luka terjalin kuat pada dua larik terakhir bait pertama sajak ini. Darah identik dan ada karena sebuah luka, hubungan kausatif dijalin kedua kata ini yang mengakibatkan keadaan sakit.
Buton yang terluka digambarkan penyair dalam detail kehampaan, seperti pada larik pertama bait kedua /mungkin kau butuh semacam nestapa/, larik pertama bait ketiga /bukan tawar menawar yang kau tunggu/, larik lima bait lima /mendesakmu dengan seribu tuduhan/ atau larik tujuh bait lima /kau khusuk menulis nestapa/. Kau dalam sajak ini adalah Buton yang disebutkan penyair.
Tanah Buton seolah tanah perbatasan di mana para tentara khusuk menjaga daerah seperti ini. Larik seperti ketika kau melewati tanah perbatasan/ tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah/ menggambarkan keadaan yang sama. Buton bukan lagi tuan di tanahnya sendiri. Buton adalah tamu dan menjadi /tempat anjing-anjing kurus/ dengan liur yang tidak pernah kering/. Putera-putera terbaik Buton dibumihanguskan dengan segala kenangan yang dikubur. Tentara sebagai simbol ketangguhan dan disiplinitas yang tinggi tereduksi dalam arogansi dan kerakusan atas kekuasaan sebagai konsekuensi sikap dari kemunculan tanda anjing-anjing yang menjadi simbol kerakusan.
Puisi dapat menyampaikan sebuah kesaksian. Irianto Ibrahim menulis puisi Buton 1969 sebagai sebuah kesaksian atas apa yang menjadi cerita kelam Buton. Fakta historis yang ingin disampaikan penyairnya membaur dalam diksi-diksi yang menarik dan sedikit “menyayat” urat kemanusiaan kita seperti halnya objek yang ingin digambarkannya. Ironi dihadirkan dalam sajak ini. Penyair tidak menghadirkan keindahan lanskap alam dengan laut dan bukit-bukit karangn Buton yang mempesona, dinding-dinding keraton Wolio yang panjang dan luas, atau kota Bau-Bau yang terus menggeliat, namun penyair mengambil sesuatu yang terlupakan dari Buton; pahitnya sejarah tahun 1969. Meskipun narasi yang ingin disampaikan tidak sampai dengan kata-kata yang riil mengarahkan pada kebenaran cerita, namun tanda-tanda menjadi kuasa atas pedih Buton dalam sajak ini.
Hubungan demi hubungan antarlarik dan antarbait menggambarkan dengan jelas prahara Buton, seperti terlihat pada larik pertama bait pertama /begitu tahun-tahun menjadi sepi/ dihubungkan dengan larik pertama bait ketiga /pulanglah, kembali ke bilik langit itu/ membentuk makna yang utuh bahwa tragedi yang terjadi di tahun 1969 adalah sesuatu yang terlupakan dan “dipaksa” hilang ditelan euforia zaman. Larik selanjutnya yang menunukan cerita yang sama, yaitu /sepanjang kenangan yang menghanguskan/ tahun-tahun cerita/. Sejarah adalah kenangan dan sesuatu yang membekas. Sajak Buton1969 ini secara utuh mengurai sesuatu yang telah terjadi, derita dan teraniayanya objek yang diluksikan penyair.
/Adalah peta yang sama kau jejaki/ dari ujung nadi terjauh/ semakin membuat jarak yang terlampau jauh untuk diingatnya Buton sebagai daerah yang pernah berjaya dengan sebutan Kesultanan Buton. Nadi dalam konteks tanda sajak ini merupakan ikon yang berarti kehidupan. Buton dalam percaturan politik dan pemerintahan mengalami kemajuan yang pesat. Wilayah yang semakin luas dan hubungan politik yang membaik dengan beberapa kerajaan seperti Mahapahit, Luwu, Konawe, dan Muna menunjukan kehidupan yang lebih baik untuk Kesultanan Buton. Murtabat Tujuh adalah bentuk kemajuan yang berhasil dibuat Kesultanan Buton, yaitu Undang-Undang dasar Kesultanan Buton yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan. Jika kita pernah mengenal Buton dalam sejarah yang gemilang, maka sekarang kita hanya akan menyaksikan dalam peta bahwa Buton hanya sebuah daerah kepulauan yang menyimpan banyak cerita dan sejarah. Nadi terjauh menandakan kehidupan sejarah yang perlahan pupus dan hanya sebagian generasi Buton saja yang pernah diwariksan sejarah dan kisah tahun 1969.
Repetisi bunyi dan makna pada larik /darah lebih kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/ adalah ending dari sajak ini yang mengungkit dan mengungkap tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Buton tahun 1969. Ada penegasan dari kedua larik ini yang menjadi nyawa sajak Buton 1969 yang dilukiskan bahwa bagaimanapun sejarah mengenang kepedihan tidak akan terobati sebab Buton dengan segala cerita luar biasa di eranya hanya sepenggal kisah untuk diwariskan pada anak cucu. Tragedi berdarah menghadirkan luka sejarah yang kelam, kenangan yang menyakitkan.

3)   Matriks dan Model
Ada dua tanda yang paling monumental dalam sajak ini, yaitu darah dan luka. Dua kata ini mengalami repetisi dalam pemakaiannya dan memiliki kekuatan puitis, yaitu di dua larik terakhir bait pertama dan terakhir, /darah lebih kental dari luka/lebih sakit dari kenangan//. Dua larik yang tidak terpisah ini selanjutnya menjadi model pertama dan aktualisasi pertama sajak Buton 1969. Darah dan luka diasosiasikan dengan sebuah kesakitan dan kepedihan. Jika dihubungkan dengan latar kehadiran sajak ini, maka dua larik ini berusaha menggambarkan sebuah keadaan yang menyakitkan. Tahun 1969 sebagai tahun yang menyakitkan untuk masyarakat Buton, setetes darah dan luka yang dibekaskan oleh arogansi TNI.
Prahara Buton yang terjadi bermula dari tuduhan yang berakhir menjadi isu besar yang digulirkan TNI untuk menjatuhkan kepemimpinan Muh. Kasim. Larik yang menunjukan hal tersebut terdapat pada larik lima bait lima, yaitu /mendesakmu dengan seribu tuduhan/. Larik ini sederhana dalam penggunaan katanya namun sarat dengan makna. Selanjutnya larik ini menjadi model kedua dan aktualisasi matriks kedua. Wacana sosial yang digulirkan akhirnya tidak terbukti dan efek yang ditimbulkan pun menimpa fisik dan psikis masyarakat Buton.


Penutup
Pada tahap pembacaan semiotika tingkat pertama (pembacaan heuristik) ditemukan sebuah heterogenitas yang ungramatikal, rumpang, dan tidak terpadu seolah-olah tidak ada kesinambungan antara baris demi baris atau larik demi larik. Akan tetapi, setelah diadakan pembacaan yang lebih jauh melalui pembacaan semiotika tingkat kedua (pembacaan hermeneutik) diperoleh sebuah makna yang optimal tentang makna isu sosial dan sejarah dalam sajak-sajak tersebut.
Matriks dan model yang terdapat pada setiap sajak merupakan inti dari makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, penentuan matriks dan model pada setiap sajak menjadi penting untuk dilakukan demi memperoleh makna yang utuh. Matriks tidak hadir secara  langsung dalam bentuk teks, namun model tampil sebagai aktualisasi pertama dari matriks. Melalui penentuan model, pemaknaan terhadap sajak menjadi lebih terfokus.
Sajak Buton 1969 secara heuristik memotret yang tidak lazim dalam kehidupan. Konstruksi diksi melahirkan tafsiran-tafsiran paradoksal atas imaji liar penyair. Sedangkan secara hermeneutik, sajak ini menyimpan tiga tanda monumental yaitu luka, kenangan, dan 1969. Eksploitasi cerita sejarah di balik penciptaan sajak ini melahirkan pemaknaan yang optimal. 1969 menjadi simbol pengikat dari luka dan kenangan. Buton di tahun 1969 menyimpan prahara dan isu besar di pundaknya sebagai basis PKI, namun pada akhirnya termentahkan dan tidak terbukti meski kemudian mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah.



Daftar Pustaka
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Budianta, dkk. 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesiatera.
Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS.
Broto, Anjrah Lelono. 2009. Adopsi Fakta Imajinatif Sastra. Litbang LBTI.
Dahana, Radhar Panca. 2001.Kebenaran dan Dusta dalam Sastra. Magelang: Indonesiatera.
Darmawan, Yusran. 2008. Menyibak Kabut di Keraton Buton. Jakarta: Respect.
Hanan, Saleh. 2000. Catatan Jurnalis Operasi Militer 1969: ‘Buton Basis PKI’. Kendari: Pers Mahasiswa Unhalu.
Hidayatullah, Syarif. 2010. “Kembali Ke Hakikat Puisi (Puisi Sebagai Substansi” dalam www.wismasastra.wordpress.com.
Hudayat, Asep Yusup. 2007. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Ibrahim, Irianto. 2010. Buton, Ibu dan Sekantong Luka. Yogyakarta: Framepublishing.
Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia.
Jamaluddin. 2003. Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Adicipta.
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma.
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermassa.
Mubarok, Sarabunis. 2010. “Esai: Buton, Puisi dan Sekantong Luka” dalam www.facebook.com.
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1985. Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2001. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricoeur, Paul. 2009. Hermenutika Ilmu Sosial. Kreasi Wacana.
Rusyana, Rus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: C.V. Diponegoro.
Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Segers, Rian T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita.

You Might Also Like

0 comments: