KUMPULAN PUISI - JEJAK KATA
Zainal Surianto -
inaltora lahir di Kondongia, Raha–Muna , Sulawesi Tenggara, 22 Mei 1989. Pria berhobi menulis cerpen dan
puisi ini kini tengah menempuh pendidikan pada Program Studi Pendidikan Bahasa
dan Sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Universitas Haluoleo Kendari. Saat ini
dia tergabung dalam Komunitas Arus Kendari. Juara III Lomba Baca Puisi pada PESTA Unhalu 2008. Beberapa
dari sajaknya dimuat pada Harian Kendari Pos, Tabloid OASE, Antologi Puisi Pagi yang Mendaki Langit (Mahasiswa Kelas Menulis Kreatif 2009) dan Antologi Puisi Bersama Dari Butuni Ke Jembatan Rindu (Komunitas
Arus, 2008).E-mail: zhay_nals@yahoo.co.id.
Senandung Kematian
tak tertakar waktu ketika engkau berhasil
menganyam langkah
menapaki jejalan kampung renta menyisakan
jejak di pedalaman, keruh
di bawah langit kesumba tua yang telah
selesai menyibak senja
hamparan huruf-huruf gersang dalam namamu
menenggelamkanku pada rindu pusaran tanah
kelahiran
juga wajah yang kau kenakan setiap pagi datang
ronanya memancar menyepuh kaca-kaca jendela
hatiku
mengusir sepi pada kemayu sapa dan lakumu
oo, mungkin saja kau mensketsa inginku disetiap
lakon
mimpi-mimpi yang tak pernah selesai aku
perankan sejak subuh tadi
hingga kau melabuhkan duka lewat siulan
burung-burung
mencipta senandung kematian
kini waktu berhenti tepat semua musim
bertemu
saat jerit dan tangis maut bernyanyi,
mengalun
jauh menyelusup di kedalaman matamu
Kendari,
Mei 2008
-buket duka yang terlupakan di 2004
Tentang malam yang kapan usai
malam paci bulan separo
aku melihat banyak tetes sendu di malam
yang menggigil
entah kapan tetes-tetes itu akan lahir?
namun selembar kertas putih sulapan mesin penjajal kemudian
menyumbat
peranakan tetes itu
yah, mungkin dia pantas lahir besok atau
kapan- kapan saja?
Raha,
20.00, 6 Oktober 2008
Seuntai
doa kutulis
di
atas telapak tangan mautku
mautku,
kini cemasku mulai terbit
karena engkau akan bertamu di rumah batinku
aku begitu gundah
wajah apa yang akan kusuguhkan esok padamu
sementara tanganku tak pernah lelah
adil membagi tasbih
sampah-sampah pikiran berserakan di otakku
menyerangku dengan mimik mereka yang tajam
dan kotor
memaksaku bertengger dipertigaan malam
mautku,
mungkin aku hanya bisa menyeru kepada
Tuhanku
pada deretan lafadz-lafadz ayatNya
bersimpuh memintal doa-doa
dan menuliskannya di atas telapak tanganmu
agar engkau tak kaget
saat bertamu di rumah batinku
esok hari
Kendari,
Mei 2008
Tujuh
Tanya
mengapa saat matanya belum cukup melihat
dunia
kukukuku maut telah mencakar dan menusuk ususnya?
mengapa lafadz
ayat-ayat kehidupan yang hembuskan
kedamaian
dan ketenangan belum dikumandangkan sudah dibungkam?
mengapa api-api
unggun yang dinyalakan
untuk
membaringkan bulu kuduknya dibasahi?
mengapa saat dia bergeliat dalam himpitan
doa tak dihiraukan?
mengapa napas kemanusiaan tak dihadirkan
lagi padanya?
mengapa rahim
tempat melahirkan lipatan waktu ditutup rapat-rapat?
mengapa…….?
Kendari, Maret 2008
Segulung Kenangan
: Lohia
di sebuah tepi danau
langka
kutinggalkan 360 jejak
langkah pekat
juga tiga tangkai kamboja
yang kusemat
di halaman, Lohia
begitu berat meninggalkan
kenangan dari otak ini
ketika semak mulai tumbuh
dan mengambil
sebagian ruang
hatiku
juga hidupku
mengapa alzheymer tidak
menggerogotiku saja
biar aku bisa
terbebas dari penjara
kenangan yang terus
mengurungku
tiap kali angin di selu
kamboja
memuntahkan dinginnya
oo, inikah yang kau
inginkan dariku, Lohia
bersenggama denganku
mencipta wangi mesum
menggulung cerita
bersamamu
Kendari, Februari 2009
Telepon
Malam
dering telepon itu
berdentang memecah malam
datang menegur lamunanku
aku retak,
rupaku luntur dalam pucat cahaya bulan
ronaku hilang dalam pekat malam itu
Kendari,
April 2008
Tentang Pengemis Tua
: buat si kecil
subuh. enggan mempertegas
diri
samar dalam kalut kabut
sepi
tak jelas kapan dia pasti
kapan dia disibak senyum
rekah matahari,
pagi.
seorang pengemis tua
berjibaku dengan rantang
kumal putih,
kantong putih.
berkuasa atas langkah.
arah. menjelajah
menjejaki jejalan rumah
tempat mencipta manusia
beradab
tanpa alas duduk. dia
mulai merakit harapan
doa.
pada kebaya rapuh
mengumpan beri. minta
dibalik cadar putih
penutup mata
menanti bayang-bayang
tanagn pemenuh rantang
tak jelas wajah apa yang
dia kenakan tiap pagi singgah
sedih. bahagia. jengkel
kalau tak seorang pun
mengiba
di jeda waktu. terasing
dia hanya bisa menyeka
bilur-bilur peluh
pada dahi keriput
menatap matahari dengan
mata telanjang
membungkus ramah mimpi
dan senyum
menanti esok balik. baik
Kendari,
Februari 2009
Untuk
Sebuah Hari
tak kalian bacakah ingatanku
saat aku merengek dalam dendang fajar
subuh itu
dendang yang membuatku terperangah
bila mengingatnya
tak kalian tuliskah not-not bersejarah itu
dalam lembaran waktu
saat hitungan kalian sampai
pada ketukan keduapuluhdua
tak kalian gambarkah pose-pose kenanganku
di dinding-dinding bumi
agar kalian bisa
setiap saat melihat dan mengenangnya
sementara jauh diseberang ini
aku hanya bisa menyulap ribuan kelelawar
yang hijrah dari kelompoknya
menjadi komedi putar
hiburan dikala maghrib singgah
saat aku menuju marun
00:01
begitulah malam ini berlalu
menatap esok
untuk sebuah hari
denting waktu itu terus menyulut gairahku
hidup menjembatani nasib
dan berarti
Kendari, 22 Mei 2008
Zheta
kau namai dirimu lukisan
jalan menuju mata hatiku
Kendari,
Maret 2009
Zheta
2
akhirnya kutemukan dirimu di retinaku
yang menjadikanku rabun tiap kali aku
disengat bayanganmu,
kocak tingkahmu
Kendari,
Oktober 2009
Sumpah
Pemulung
/1/
kami para pemulung mengaku bertempat
tinggal banyak
tempat pembuangan sampah manusia bijak
/2/
kami para pemulung mengaku berbahasa banyak
bahasa lawak
/3/
kami para pemulung mengaku bersenyum satu
senyum yang dikulum waktu
/4/
kami para pemulung mengaku bernasib sama
nasib yang dijajah kaum penguasa
/5/
kami para pemulung mengaku berbaju selengan
baju kenangan
/6/
kami para pemulung
mudah-mudahan akan untung
tidak hanya menjadi patung
Kendari,
Maret 2009
Pada Angguk Malam
kita pernah
mengajak bulan bercinta
karena katamu
dia membenihkan cinta kita
pada semaian
tiga bintang pari
takdir para
petani bertanam mimpi
Kendari, 17 Oktober 2009
Pada Sebab
tidak seperti pantai yang terus mematung ketika ombak memancing birahinya,
matamu meniduri retinaku yang sebentar lagi bunting di sungging malam.
Kendari, 17 Oktober 2009
Pada Setangkai Hati
mari kita
mengantarkannya pada kosong saja
sebab katamu dia
tak cukup utuh
membagi adil
semua rasa
Kendari, 17 Oktober 2009
Tentang Gadis yang Entah Kapan Kutiduri
kali ini aku
hanya bisa mengintipmu di otakku
sebab aku takut hati menjanjah jalan pikiranku
Kendari, 21 Oktober
Secangkir
Perasaan
: Dian
tanganku
tak pernah segelisah ini
jari
jemariku, Dian, terus bergetar
merajut
awan-awan menjadi mendung
menambah
list lanskap langit
yang
kosong sejak kau sendiri
aku begitu marah
saat matahari dengan perkasanya
menyibak awan-awan yang kurajut
mencipta terang
datang tanpa bersalah
menjamah kulitmu
mencolek gunung-gunung yang sementara tidur
lembah-lembah sepi tanpa gema
menggelindingkan embun yang sedang asyik
bermain di dedaunan
lalu memaksanya pecah ke tanah
rohku
tak pernah segarang ini, Dian,
mencoba
kuat
lari
tanpa seizin penjaga badan
mengejar
bayang-bayangmu
akhirnya aku tak bisa lagi
menahan badai dan gelombang bertalu dalam
sukmaku
mengalunkan melodi cinta laut
berlirik angin
bernada sumbang desahan karang
datang menyambut tabuhan ricik sungai
lalu kubiarkan mereka bernyanyi
menghibur pepasiran yang berkumpul
menjadi daratan hati
disatu mata waktu
Kendari,
Mei 2008
Pemenuhan
Terakhir Kali
langit melangkah perlahan menuju hitam
bersisikkan putih gemawan
berselaputkan emas menyelimutkanku dingin
cendawan malam berbisa
menikamku dengan sejuta rahasianya
hingga jiwaku ditimpa maut-maut kecil
akupun berkata-kata melahap malam
emosi menyatu dalam senyumku
kupenuhkan gelas-gelas dengan arak-arak
janji
kukosongkan lalu kupecahkan satu per satu
aku tersungkur di tengah jalan
hujan salju malam itu kian ganas
menindasku dengan tingkah lakunya yang
begitu dingin
Kendari, April 2008
Negeriku Negeri Orang
langit hangus
terbakar di nyala matahari
angin menerbangkan
cuilan bunga alang-alang
dari suara-suara
lantang
membawanya
terbang melayang ke celah-celah awan
kabut-kabut tipis bersatu, berhembus dalam
pekat dingin
menyusun batu-batu keadilan, membangun
parit-parit kejujuran
di tepi
kahinadinaan
sementara, ulat-ulat
musim hujan
menggerit daun
pepohonan, menghunus kehendaknya
ranting-ranting batang bergetah darah
mengelupaskan keperkasaan
mulut-mulut kecil penikam senyuman berseru
:
wahai penguasa-penguasa bejat! keluarlah
dari negeriku
sebelum kiamat kugempakan dalam dirimu
Kendari,
Maret 2008
Antara Pasir dan Batu
: tentang sebuah nama
saat senyum
membuat hari menjadi cerah
kududuk berayun
di beranda rumah
menyaksikan pasir
dan batu berkisah
bercerita tentang silsilah
sejurus keheningan berlalu
mereka menoleh padaku
menggamit tanganku yang gemetar dan kaku
memintaku menulis di salah satu
berbatas harapan
aku menimang-nimang
pikiran kosong
menentukan
pilihan
kepada siapa aku
terkenang
kusingkirkan
suara batin yang mengganggu
kuambil pisau
ku ukir kata di
atas batu
tanpa memandang
pasir itu
membiarkannya
mendebu
Kendari, Maret 2008
0 comments: