SINERGISITAS PERSEPSI DALAM PROMOSI DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KREATIF BERBASIS BUDAYA LOKAL

September 30, 2017 Unknown 0 Comments

SINERGISITAS PERSEPSI DALAM PROMOSI DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KREATIF BERBASIS BUDAYA LOKAL[1]
Oleh:
Zainal Surianto[2]


A.  Pendahuluan
Kebudayaan adalah esensi kehidupan bangsa. Mengenal kebudayaan bangsa berarti mengenal aspirasinya dalam segala aspek kehidupannya sedangkan pariwisata adalah keseluruhan gerakan manusia yang melakukan perjalanan atau pesinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke suatu atau beberapa tempat tujuan di luar lingkungan tempat tinggalnya yang didorong oleh beberapa keperluan atau motif tanpa bermaksud mencari nafkah tetap.
Oleh karena itu, masalah kebudayaan dan pariwisata menjadi sangat menarik, terutama dalam era globalisasi yang telah memasuki seluruh penjuru dunia dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan komunikasi. Bukan negara-negara yang berkembang dengan budaya etnisnya yang menonjol, tetapi juga negara-negara maju pun menghadapi tantangan-tantangan baru, meskipun integrasi nasional mereka sudah mantap.
Mereka mencari jalan keluar untuk mengatasi ekses-ekses negatifnya. Gobalisasi merupakan gejala yang tidak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Gejala ini mulai menonjol sejak awal abad ke-20 dan mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya bangsa-bangsa. Globalisasi disebabkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang teknologi komunikasi yang membawa dunia saling berdekatan dan mudah berkomunikasi melalui berbagai media. Yang paling berpengaruh adalah perkembangan dari dunia pertelevisian.
Persoalan menyangkut kepariwisataan sampai kapanpun selalu menarik dibicarakan. Pariwisata hadir member ruang berpikir rileks dan menikmati potensi kebudayaan yang jarang kita eksplor. Kita sadari atau tidak dalam hidup ini pasti pernah menjadi turis atau paling tidak menjadi pelancong. Dengan demikian berarti kegiatan wisata bukan semata monopoli orang kaya apalagi orang kulit putih atau kulit kuning. Sementara masyarakat masih menganggap bahwa pariwisata adalah semata-mata bisnis atau urusan mereka yang berkecimpung pada bidang pariwisata seperti hotel, biri perjalanan, restaurant atau atraksi wisata. Mereka lupa dengan hadirnya pariwisata pembangunan menjadi semakin pesat mengingat pariwisata mendatangkan pemasukan cukup besar kepada daerah maupun negara. Mereka lupa bahwa pariwisata memungkinkan adanya pembukaan lapangan pejkerjaan baru dalam jumlah yang cukup besar.
Pariwisata kini menjelma industri kreatif dengan basis besar berupa eksplorasi kebudayaan local maupun nasional. Budaya lokal yang sudah melekat sejak dulu menjadi magnet tersendiri untuk selanjutnya dimaanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat. Apa yang sudah menjadi eksistensi kebudayaan lokal melalui industri pariwsata sekarang merupakan bukti bahwa ekonomi kreatif sebagai salah satu alternatif meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hanya saja upaya-upaya tersebut sering terkendala dengan adanya perbedaan pandangan dan pola promosi budaya di antara beberapa pihak yang berwenang mengurusi hal tersebut. Pariwisata menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi bangsa diharapkan mampu mengedepankan sinergsitas perpektif terhadap orientasi promosi pariwisata kreatif yang berbasis budaya lokal. Ini menjadi strategi memajukan dan mempertahankan eksistensi budaya lokal di tengan arus budaya global.

B.  Kebudayaan dan Pariwisata
Kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia yang digunakan untuk memahami dan meginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta pedoman tingkah lakunya. Sebagai suatu kesatuan ide yang ada dalam pikiran manusia dan diselimuti oleh perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang dijadikan sumber sistem penilaian terhadap sesuatu yang baik dan buruk, kebudayaan terdiri dari serangkaian konsep-konsep, model-model pengetahuan mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku, nilai-nilai dan norma-norma yang berisikan larangan-larangan untuk melakukan tindakan ketika menghadapi sesuatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam (Suparlan dalam Oka, 2006: 123).
Kebudayaan bagaikan rumah yang di dalamnya dihuni dengan berbagai pola pikir dan perspektif. Manusia sebagai organisator terciptanya kebudayaan mengolah nilai sehingga kenyamanan hidup lahir. Perjalanan hidup dan orientasi nilai peradaban yang panjang menjadi pandu berpikir manusia di jalur kebudayaan. Mengetengahkan persoalan kebudayaan tentu kita tidak bisa melepaskannya dari dunia pariwisata. Kebudayaan dan pariwisata bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa kita pisah-leraikan. Keduanya saling berkontribusi dan saling memberi keuntungan (simbiosis mutualisme).
Pariwisata merupakan fenomena sosial yang mempunyai pengertian luas tergantung dari tujuan pendekatan masing-masing. Pariwisata yang mengaitkan banyak sektor kegiatan, mendorong semua pihak khususnya pemerintah untuk menciptakan suatu kondisi yang mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan. Hal tersebut menjadi penting karena lingkungan pariwisata yang berbasiskan alam, budaya, dan warisan, secara alami mempunyai keterbatasan dalam mempertahankan kondisinya terhadap fenomena kehidupan yang terus berubah dan berkembang. Kemajuan teknologi, ilmu dan pengetahuan memicu perubahan perilaku manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginannya, termasuk kebutuhan untuk bersenang-senang dengan melakukan perjalanan, yang dalam berbagai kasus menjadi penyebab menurunnya kondisi kepariwisataan baik fisik, sosial, maupun budaya (Oka, 2006: 241).
Pariwisata, budaya, wisata budaya, dan pariwisata budaya dari sejumlah definisi “cultural tourism” atau pariwisata budaya atau “wisata budaya” yang ada, tidaklah terlalu mudah untuk menentukan definisi mana yang paling tepat untuk digunakan terutama bila dikaitkan dengan kepariwisataan Indonesia. Sebelum menilik pada keterkaitan antara kata “pariwisata” dan “budaya“, ada baiknya kita telah terlebih dahulu masing-masing kata tersebut.
Kata pariwisata atau dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan tourism sering sekali diasosiasikan sebagai rangkaian perjalanan (wisata, tours/traveling) seseorang atau sekelompok orang (wisatawan, tourist/s) ke suatu tempat untuk berlibur, menikmati keindahan alam dan budaya (sightseeing), bisnis, mengunjungi kawan atau kerabat dan berbagai tujuan lainnya. Organisasi Pariwisata Sedunia, World Tourism Organization (WTO), mendefinisikan pariwisata (tourism) sebagai  ”activities of person traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes”.
1.    Kebudayaan: keseluruhan yg kompleks, yang didalamya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, keseniaan, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. (E.B. Taylor.
2.     Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan  wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha yang terkait dibidang tersebut. (UU RI No. 09 Tahun 1990)
Kata kebudayaan dapat dipahami dalam tiga aspek, yaitu aspek material, perilaku dan ide. Dalam bentuk material mencakup antara lain, peralatan hidup, arsitektur, pakaian, makanan olahan, hasil-hasil teknologi dan lain-lain. Dalam wujud perilaku mencakup kegiatan ritual perkawinan, upacara-upacara keagamaan atau kematian, seni pertunjukan, keterampilan membuat barang-barang kerajinan dan lain-lain. Dalam wujud ide mencakup antara lain sistem keyakinan, pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma.
Salah satu sumber dari sejumlah tulisan mengenai pariwisata budaya menyebutkan bahwa pada akhir tahun 1970-an, ketika para pakar pemasaran dan peneliti kepariwisataan mendapati adanya orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalananan semata-mata hanya untuk pemahaman mendalam terhadap obyek atau peristiwa budaya (ODTW) di suatu tempat tertentu, barulah dikenali adanya pariwisata budaya yang secara jelas dapat dikategorikan sebagai salah satu produk kepariwisataan (Tighe, 1986 dalam McKercher, 2002).

C.  Perspektif Pariwisata dan Budaya Lokal
Perpindahan orang untuk sementara ke suatu tujuan di luar tempat tinggal maupun tempat kerjanya yang biasa, serta aktivitas yang dilakukannya selama tinggal di tempat tujuan tersebut dan kemudahan-kemudahan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhannya adalah bagian dari pariwisata (Oka, 2006:12).
Definisi yang luas pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Suatu perjalanan dianggap sebagai perjalanan wisata bila memenuhi tiga persyaratan yang diperlukan, yaitu:
a.    Harus bersifat sementara
b.    Harus bersifat sukarela (voluntary) dalam arti tidak terjadi karena dipaksa.
c.    Tidak bekerja yang sifatnya menghasilkan upah ataupun bayaran.
Dalam kesimpulannya pariwisata adalah keseluruhan fenomena (gejala) dan hubungan-hubungan yang ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia di luar tempat tinggalnya. Dengan maksud bukan untuk tinggal menetap dan tidak berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan upah. 
Dalam wacana kebudayaan dan sosial, sulit untuk mendefinisikan dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau kearifan lokal, mengingat ini akan terkait teks dan konteks, namun secara etimologi dan keilmuan, tampaknya para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah definisi terhadap local culture atau local wisdom ini.
Dilihat dari stuktur dan tingkatannya budaya lokal berada pada tingat culture. Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri atas masyarakat yang bersifat manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.
Jacobus Ranjabar mengatakan bahwa dilihat dari sifat majemuk masyarakat Indonesia, maka harus diterima bahwa adanya tiga golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai coraknya sendiri, ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama kebudayaan daerah)
2.    Kebudayaan umum lokal
3.    Kebudayaan nasional
Dalam penjelasannya, kebudayaan suku bangsa adalah sama dengan budaya lokal atau budaya daerah. Sedangkan kebudayaan umum lokal adalah tergantung pada aspek ruang, biasanya ini bisa dianalisis pada ruang perkotaan dimana hadir berbagai budaya lokal atau daerah yang dibawa oleh setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang berkembang yaitu misalnya budaya lokal yang ada dikota atau tempat tersebut. Sedangkan kebudayaan nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya daerah.
Definisi Jakobus itu seirama dengan pandangan Koentjaraningrat (2000). Koentjaraningrat memandang budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa, dimana menurutnya, suku bangsa sendiri adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ’kesatuan kebudayaan’. Dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya.
Pandangan yang menyatakan bahwa budaya lokal adalah merupakan bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog terkemuka di Indonesia yang beretnis Sunda, Judistira K. Garna. Menurut Judistira (2008:141), kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional.
Selain sisi positif pariwisata, juga terdapat kegiatan pariwisata yang membawa dampak negatif pada lingkungan alam maupun sosial budaya. Akan tetapi, dalam setiap kegiatan pariwisata yang terkonsep baik dan tertata rapi, dampak “menjual” lebih dirasakan dan dapat dikontrol dan diminimalisasi. Konkritnya, pariwisata tidak pernah menjual aset kebudayaan tetapi menjual keindahan dan panorama ragam budaya yang ada.



D.  Pandangan Negatif Pariwisata dalam Perspektif Budaya Lokal
Dalam dunia kepariwisataan, kesan-kesan negatif selalu menjadi hal yang paling krusial dalam permasalahan pengembangan potensi pariwisata budaya. Gejala yang pertama kali timbul dalam perspektif budaya (budaya lokal) adalah tentang pengeksploitasian dan komersialisasi nilai-nilai budaya demi mengeruk keuntungan yang besar di sektor pariwisata. Ketakutan-ketakutan ini menjadi upaya dan segmen-segmen perspektif miring dari kelompok-kelompok masyarakat budaya. Apa yang menjadi kekhawatiran kelompok-kelompok masyarakat tersebut tak lebih dari upaya pemertahanan warisan budaya yang sudah ada sejak peradaban manusia dimulai oleh orang-orang sebelum mereka.
Spillane dalam konsep pemikirannya yang terangkum dalam pendekatan Cautionary menganggap bahwa aktivitas pariwisata meyebabkan berbagai macam konflik. Pandangan tersebut tidak dapat disalahkan karena pada dasarnya budaya dan pariwisata itu sendiri dianggap sebagai dua aktivitas yang penuh dengan konflik, di satu sisi karena adanya kepercayaan bahwa budaya bersifat tradisional, sedangkan di sisi lain, pariwisata relatif dianggap lebih modern dan dinamis (Manuaba dalam Oka, 2006: 114).
Ketakutan-ketakutan tersebut cukup berasalasan, masyarakat lokal yang peduli dan menghargai kelestarian budaya lokal berpandangan bahwa domain pariwisata dapat menyebabkan terkontaminasinya hasil kebudayaan dan nilai-nilai budaya asli mereka. Adanya pengaruh budaya asing sebagai konsekuensi masuk dan seiring berproses masuknya budaya asing yang dibawa oleh para wisatawan mengakibatkan kecilnya ruang berpikir masyarakat yang menganut budaya lokal.
Perspektif negatif masyarakat ini harus diubah. Masyarakat lokal yang bertahan dengan budaya lokal harus dipahamkan dengan cara-cara persuasif sesuai keinginan bangsa ini untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Perlu disadari bahwa pariwisata merupakan suatu fenomena kompleks yang multidimensional, multi-approach, dan multidisipliner. Kita tidak boleh menutup ruang untuk masuk dan berkembangnya budaya lain mengingat kehidupan yang terus memicu modernitas masuk di budaya lokal harus disikapi dengan perspektif-perspektif positif dikalangan masyarakat untuk mengeksplorasi kekayaan budaya lokan dalam satu media promosi dan pengembangan pariwisata budaya lokal.



E.  Pariwisata Kreatif Berbasis Budaya Lokal
Masyarakat kreatif dalam dunia pariwisata harus berbasis budaya lokal. Workshop dan kolaborasi seni menjadi bagian penting dari proses ini sehingga komunitas pun akan tetap hidup walaupun wisatawan pada saatnya meninggalkan tujuan wisatanya.
Keuntungan pola ini adalah kreativitas masyarakat terus berkembang, sekaligus menghidupkan ekonomi rakyat setempat. Hal utama yakni pariwisata daerah akan selalu hidup karena mereka didukung oleh para creativepreneur lokal –masyarakat lokal yang kreatif dan memiliki semangat entrepreneurship tinggi.
Saat ini terjadi perubahan paradigma pembangunan ekonomi dari basis pertanian, industri, teknologi dan sekarang kreativitas. Perubahan paradigma pembangunan ekonomi ini telah mempengaruhi berbagai industri terkait dengan kreativitas termasuk pariwisata. Ini sebuah orientasi perspektif dalam satu konsep dan keinginan memajuka daerah secara khusus dan bangsa secara umum berdasarkan potensi pariwisata yang ada dengan fokus pada budaya lokal.
Berbagai studi mencoba menjelaskan bahwa wisatawan saat ini mengubah pola perjalanan wisatanya dari buying product menjadi buying experience. Dari mass tourism menjadi responsible tourism. Ketika semula wisatawan cukup senang berkunjung beramai-ramai ke suatu tempat hanya untuk sekedar berfoto, mereka kemudian mengubah tujuannya untuk mencoba memahami budaya setempat. Kunjungan wisata budaya, dengan melihat (dan mempelajari) museum, galeri seni, dan sebagainya menjadi trend baru saat itu. Menjadi berkulit gelap akibat mandi matahari tidak lagi menjadi trend, namun memahami budaya setempat (budaya lokal) menjadi suatu kebanggaan bagi para wisatawan itu sendiri.
Trend selanjutnya berkembang lagi. Saat ini wisatawan tidak cukup puas hanya sekedar memahami, tetapi mereka mencoba untuk lebih dalam mempelajari budaya setempat dan mengembangkannya. Wisatawan kemudian menjadi bagian dari manusia kreatif yang dapat berkolaborasi dengan budaya setempat. Mereka kemudian menjadi prosumen (produsen sekaligus konsumen), dan mereka tidak lagi hanya pasif melihat budaya lokal. Ini yang disebut wisata kreatif –knowledge kemudian menjadi lebih penting dari hanya sekedar experience.
Aspek budaya lokal sebagai sarana pariwisata merupakan sebuah objek garapan baru di dunia kepariwisataan. Sebuah objek yang dapat dijadikan proyeksi pariwisata tentu memenuhi kualitas sebagai sebuah objek baru wisatawan. Suatu obyek pariwisata harus memenuhi tiga kriteria agar obyek tersebut diminati pengunjung, yaitu:
1.        Something to see adalah obyek wisata tersebut harus mempunyai sesuatu yang bisa di lihat atau di jadikan tontonan oleh pengunjung wisata. Dengan kata lain obyek tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang mampu untuk menyedot minat dari wisatawan untuk berkunjung di obyek tersebut.
2.        Something to do adalah agar wisatawan yang melakukan pariwisata di sana bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk memberikan perasaan senang, bahagia, relax berupa fasilitas rekreasi baik itu arena bermain ataupun tempat makan, terutama makanan khas dari tempat tersebut sehingga mampu membuat wisatawan lebih betah untuk tinggal di sana.
3.        Something to buy adalah fasilitas untuk wisatawan berbelanja yang pada umumnya adalah ciri khas atau icon dari daerah tersebut, sehingga bisa dijadikan sebagai oleh-oleh.
Dalam pengembangan pariwisata perlu ditingkatkan langkah-langkah yang terarah dan terpadu terutama mengenai pendidikan tenaga-tenaga kerja dan perencanaan pengembangan fisik. Kedua hal tersebut hendaknya saling terkait mengingat potensi masyarakat lokal dalam pengembangan budaya lokal masih sangat minim sehingga pengembangan tersebut menjadi realistis dan proporsional. Agar suatu obyek wisata dapat dijadikan sebagai salah satu obyek wisata yang menarik, maka faktor yang sangat menunjang adalah kelengkapan dari sarana dan prasarana obyek wisata tersebut. Karena sarana dan prasarana juga sangat diperlukan untuk mendukung dari pengembangan obyek wisata. Sinergisitas pengembangan budaya lokal bersama sebagai langkag efektif membangun kesejahteraan masyarakat melalui potensi pariwisata sangat dibutuhkan.
Perkembangan wisata kreatif ini dari sisi lain yang lebih dalam sangat memberi ruang bagi masyarakat untuk berpikir kreatif. Maka promosi wisata berbasis budaya lokal sangat dibutuhkan dengan sinergisitas persepsi di antara sesama pemerhati  budaya dan pariwisata serta masyarakat. Beberapa contoh di negara lain menunjukkan bahwa manusia kreatif yang datang dari negara lain mengembangkan seninya di negara tujuan kunjungan. Mereka berkreasi dan menghasilkan kunjungan wisatawan, dan penduduk lokal memanfaatkan kehadiran wisatawan dengan (hanya sekedar) menyediakan sarana akomodasi, makan minum dan sebagainya. Namun ketika para manusia kreatif ini meninggalkan negara tujuan kunjungan, masyarakat setempat akan kehilangan segalanya kecuali sarana pendukung yang mereka sediakan. Promosi wisatalah yang akan menentukan kualitas kunjungan wisatawan kelak. Budaya lokal sangat berpotensi untuk penggarapan lahan tersebut.
F.   Penutup
Kebudayaan dan pariwisata seperti sebuah lensa dimana seperti halnya saat kita menggunakan lensa, untuk meneropong sesuatu kita harus memilih suatu objek tertentu yang akan dilihat secara fokus. Demi mensinergikan pengembangan kebudayaan dan pariwisata budaya lokal maka langkah promosi wisata dengan basis budaya lokal menjadi hal positif dan menarik. Budaya lokal dapat dieksplorasi sebagai asset kebudayaan dalam dunia kepariwisataan, maka pembinaan kebudayaan lokal harus dilakukan secara terus menerus. Hal utama tentu menghindari terjadinya diskriminasi peran dalam masyarakat yang mempertahankan budaya lokal itu sendiri karena hal ini akan dapat membawa akibat buruk, misalnya terjadi erosi kebudayaan yang dipaksa oleh kemiskinan penduduknya.
Tiap-tiap program pembangunan hendaknya selalu berkaitan dengan potensi dasar yang dimiliki oleh masyarakat lokal dan mengembangkan dinamika masyarakat lokal sangat efektif bila dilakukan melalui lembaga-lembaga tradisional, sehingga mereka mampu dengan cepat menyesuaikan nilai-nilai baru yang hendak dikembangkan dalam menyongsong promosi besar dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata kreatif berbasis budaya lokal.



Daftar Pustaka
Ahira, Anne. 2012. “Pengertian Budaya Lokal-Budaya Lokal yang Patut Dipertahankan” dalam www.anneahira.com, diakses tanggal 20 April 2012.

Lembura, H.J. 2008. Mengenal Terminologi Budaya dan Pariwisata. Disbudpar Maluku Tenggara Barat.

Oka A. Yoeti, Haji. 2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta: Pradnya Paramita.




[1] Makalah Disajikan pada Mata Kuliah Tradisi Lisan Nusantara
[2] Mahasiswa Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Haluoleo

You Might Also Like

0 comments: