SINERGISITAS PERSEPSI DALAM PROMOSI DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KREATIF BERBASIS BUDAYA LOKAL
SINERGISITAS PERSEPSI
DALAM PROMOSI DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KREATIF BERBASIS BUDAYA LOKAL[1]
Oleh:
Zainal Surianto[2]
A. Pendahuluan
Kebudayaan
adalah esensi kehidupan bangsa. Mengenal kebudayaan bangsa berarti mengenal
aspirasinya dalam segala aspek kehidupannya sedangkan pariwisata adalah
keseluruhan gerakan manusia yang melakukan perjalanan atau pesinggahan
sementara dari tempat tinggalnya ke suatu atau beberapa tempat tujuan di luar
lingkungan tempat tinggalnya yang didorong oleh beberapa keperluan atau motif
tanpa bermaksud mencari nafkah tetap.
Oleh
karena itu, masalah kebudayaan dan pariwisata menjadi sangat menarik, terutama
dalam era globalisasi yang telah memasuki seluruh penjuru dunia dalam bidang
politik, ekonomi, sosial budaya dan komunikasi. Bukan negara-negara yang
berkembang dengan budaya etnisnya yang menonjol, tetapi juga negara-negara maju
pun menghadapi tantangan-tantangan baru, meskipun integrasi nasional mereka
sudah mantap.
Mereka
mencari jalan keluar untuk mengatasi ekses-ekses negatifnya. Gobalisasi
merupakan gejala yang tidak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka
kesempatan yang luas. Gejala ini mulai menonjol sejak awal abad ke-20 dan
mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya
bangsa-bangsa. Globalisasi disebabkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, terutama di bidang teknologi komunikasi yang membawa dunia
saling berdekatan dan mudah berkomunikasi melalui berbagai media. Yang paling
berpengaruh adalah perkembangan dari dunia pertelevisian.
Persoalan
menyangkut kepariwisataan sampai kapanpun selalu menarik dibicarakan. Pariwisata
hadir member ruang berpikir rileks dan menikmati potensi kebudayaan yang jarang
kita eksplor. Kita sadari atau tidak dalam hidup ini pasti pernah menjadi turis
atau paling tidak menjadi pelancong. Dengan demikian berarti kegiatan wisata
bukan semata monopoli orang kaya apalagi orang kulit putih atau kulit kuning.
Sementara masyarakat masih menganggap bahwa pariwisata adalah semata-mata
bisnis atau urusan mereka yang berkecimpung pada bidang pariwisata seperti
hotel, biri perjalanan, restaurant atau atraksi wisata. Mereka lupa dengan
hadirnya pariwisata pembangunan menjadi semakin pesat mengingat pariwisata
mendatangkan pemasukan cukup besar kepada daerah maupun negara. Mereka lupa
bahwa pariwisata memungkinkan adanya pembukaan lapangan pejkerjaan baru dalam
jumlah yang cukup besar.
Pariwisata
kini menjelma industri kreatif dengan basis besar berupa eksplorasi kebudayaan
local maupun nasional. Budaya lokal yang sudah melekat sejak dulu menjadi
magnet tersendiri untuk selanjutnya dimaanfaatkan sebagai sarana untuk
meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat. Apa yang sudah
menjadi eksistensi kebudayaan lokal melalui industri pariwsata sekarang
merupakan bukti bahwa ekonomi kreatif sebagai salah satu alternatif
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hanya saja upaya-upaya tersebut sering
terkendala dengan adanya perbedaan pandangan dan pola promosi budaya di antara
beberapa pihak yang berwenang mengurusi hal tersebut. Pariwisata menjadi
katalisator pertumbuhan ekonomi bangsa diharapkan mampu mengedepankan
sinergsitas perpektif terhadap orientasi promosi pariwisata kreatif yang
berbasis budaya lokal. Ini menjadi strategi memajukan dan mempertahankan
eksistensi budaya lokal di tengan arus budaya global.
B. Kebudayaan
dan Pariwisata
Kebudayaan
merupakan keseluruhan pengetahuan manusia yang digunakan untuk memahami dan
meginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta pedoman tingkah lakunya.
Sebagai suatu kesatuan ide yang ada dalam pikiran manusia dan diselimuti oleh
perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang dijadikan sumber sistem penilaian
terhadap sesuatu yang baik dan buruk, kebudayaan terdiri dari serangkaian
konsep-konsep, model-model pengetahuan mengenai berbagai tindakan dan tingkah
laku, nilai-nilai dan norma-norma yang berisikan larangan-larangan untuk
melakukan tindakan ketika menghadapi sesuatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan
alam (Suparlan dalam Oka, 2006: 123).
Kebudayaan
bagaikan rumah yang di dalamnya dihuni dengan berbagai pola pikir dan
perspektif. Manusia sebagai organisator terciptanya kebudayaan mengolah nilai
sehingga kenyamanan hidup lahir. Perjalanan hidup dan orientasi nilai peradaban
yang panjang menjadi pandu berpikir manusia di jalur kebudayaan. Mengetengahkan
persoalan kebudayaan tentu kita tidak bisa melepaskannya dari dunia pariwisata.
Kebudayaan dan pariwisata bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa kita
pisah-leraikan. Keduanya saling berkontribusi dan saling memberi keuntungan
(simbiosis mutualisme).
Pariwisata
merupakan fenomena sosial yang mempunyai pengertian luas tergantung dari tujuan
pendekatan masing-masing. Pariwisata yang mengaitkan banyak sektor kegiatan, mendorong
semua pihak khususnya pemerintah untuk menciptakan suatu kondisi yang mampu
menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan. Hal tersebut menjadi
penting karena lingkungan pariwisata yang berbasiskan alam, budaya, dan
warisan, secara alami mempunyai keterbatasan dalam mempertahankan kondisinya
terhadap fenomena kehidupan yang terus berubah dan berkembang. Kemajuan
teknologi, ilmu dan pengetahuan memicu perubahan perilaku manusia dalam upaya
memenuhi kebutuhan dan keinginannya, termasuk kebutuhan untuk bersenang-senang
dengan melakukan perjalanan, yang dalam berbagai kasus menjadi penyebab
menurunnya kondisi kepariwisataan baik fisik, sosial, maupun budaya (Oka, 2006:
241).
Pariwisata,
budaya, wisata budaya, dan pariwisata budaya dari sejumlah definisi “cultural tourism” atau pariwisata budaya atau “wisata budaya” yang ada, tidaklah terlalu
mudah untuk menentukan definisi mana yang paling tepat untuk digunakan terutama
bila dikaitkan dengan kepariwisataan Indonesia. Sebelum menilik pada
keterkaitan antara kata “pariwisata”
dan “budaya“, ada
baiknya kita telah terlebih dahulu masing-masing kata tersebut.
Kata pariwisata atau dalam bahasa Inggris diistilahkan
dengan tourism sering sekali diasosiasikan sebagai
rangkaian perjalanan (wisata, tours/traveling) seseorang atau sekelompok orang
(wisatawan, tourist/s) ke suatu tempat untuk berlibur, menikmati keindahan alam
dan budaya (sightseeing), bisnis, mengunjungi kawan atau kerabat dan berbagai
tujuan lainnya. Organisasi Pariwisata Sedunia, World Tourism Organization
(WTO), mendefinisikan pariwisata (tourism) sebagai ”activities
of person traveling to and staying in places outside their usual environment
for not more than one consecutive year for leisure, business and other
purposes”.
1. Kebudayaan: keseluruhan yg
kompleks, yang didalamya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, keseniaan,
moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang
didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. (E.B. Taylor.
2. Pariwisata adalah segala sesuatu yang
berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik
wisata serta usaha yang terkait dibidang tersebut. (UU RI No. 09 Tahun 1990)
Kata kebudayaan dapat dipahami dalam tiga aspek, yaitu
aspek material, perilaku dan ide. Dalam bentuk material mencakup antara lain, peralatan hidup,
arsitektur, pakaian, makanan olahan, hasil-hasil teknologi dan lain-lain. Dalam wujud perilaku mencakup kegiatan ritual perkawinan,
upacara-upacara keagamaan atau kematian, seni pertunjukan, keterampilan membuat
barang-barang kerajinan dan lain-lain. Dalam wujud ide mencakup antara lain sistem keyakinan,
pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma.
Salah satu sumber dari
sejumlah tulisan mengenai pariwisata budaya menyebutkan bahwa pada akhir tahun
1970-an, ketika para pakar pemasaran dan peneliti kepariwisataan mendapati
adanya orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalananan semata-mata
hanya untuk pemahaman mendalam terhadap obyek atau peristiwa budaya (ODTW) di suatu tempat tertentu,
barulah dikenali adanya pariwisata budaya yang secara jelas dapat dikategorikan
sebagai salah satu produk kepariwisataan (Tighe, 1986 dalam McKercher, 2002).
C. Perspektif
Pariwisata dan Budaya Lokal
Perpindahan
orang untuk sementara ke suatu tujuan di luar tempat tinggal maupun tempat
kerjanya yang biasa, serta aktivitas yang dilakukannya selama tinggal di tempat
tujuan tersebut dan kemudahan-kemudahan yang disediakan untuk memenuhi
kebutuhannya adalah bagian dari pariwisata (Oka, 2006:12).
Definisi yang luas pariwisata adalah perjalanan dari satu
tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun
kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan
dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Suatu
perjalanan dianggap sebagai perjalanan wisata bila memenuhi tiga persyaratan
yang diperlukan, yaitu:
a. Harus bersifat sementara
b. Harus bersifat sukarela (voluntary) dalam arti tidak terjadi
karena dipaksa.
c. Tidak bekerja yang sifatnya menghasilkan upah ataupun bayaran.
Dalam kesimpulannya pariwisata adalah keseluruhan fenomena
(gejala) dan hubungan-hubungan yang ditimbulkan oleh perjalanan dan
persinggahan manusia di luar tempat tinggalnya. Dengan maksud bukan untuk
tinggal menetap dan tidak berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan yang
menghasilkan upah.
Dalam wacana kebudayaan dan sosial,
sulit untuk mendefinisikan dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau
kearifan lokal, mengingat ini akan terkait teks dan konteks, namun secara
etimologi dan keilmuan, tampaknya para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah
definisi terhadap local culture atau local wisdom ini.
Dilihat dari stuktur dan
tingkatannya budaya lokal berada pada tingat culture. Hal ini
berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri atas
masyarakat yang bersifat manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural)
maupun ekonomi.
Jacobus Ranjabar mengatakan bahwa
dilihat dari sifat majemuk masyarakat Indonesia, maka harus diterima bahwa
adanya tiga golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai coraknya sendiri,
ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kebudayaan suku bangsa (yang lebih
dikenal secara umum di Indonesia dengan nama kebudayaan daerah)
2. Kebudayaan umum lokal
3. Kebudayaan nasional
Dalam penjelasannya, kebudayaan suku
bangsa adalah sama dengan budaya lokal atau budaya daerah. Sedangkan kebudayaan
umum lokal adalah tergantung pada aspek ruang, biasanya ini bisa dianalisis
pada ruang perkotaan dimana hadir berbagai budaya lokal atau daerah yang dibawa
oleh setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang berkembang yaitu misalnya
budaya lokal yang ada dikota atau tempat tersebut. Sedangkan kebudayaan
nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya daerah.
Definisi Jakobus itu seirama dengan
pandangan Koentjaraningrat (2000). Koentjaraningrat memandang budaya lokal
terkait dengan istilah suku bangsa, dimana menurutnya, suku bangsa sendiri
adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan
’kesatuan kebudayaan’. Dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya.
Pandangan yang menyatakan bahwa
budaya lokal adalah merupakan bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya
(hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog
terkemuka di Indonesia yang beretnis Sunda, Judistira K. Garna. Menurut
Judistira (2008:141), kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional,
dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan
kebudayaan nasional.
Selain
sisi positif pariwisata, juga terdapat kegiatan pariwisata yang membawa dampak negatif
pada lingkungan alam maupun sosial budaya. Akan tetapi, dalam setiap kegiatan
pariwisata yang terkonsep baik dan tertata rapi, dampak “menjual” lebih
dirasakan dan dapat dikontrol dan diminimalisasi. Konkritnya, pariwisata tidak
pernah menjual aset kebudayaan tetapi menjual keindahan dan panorama ragam
budaya yang ada.
D. Pandangan
Negatif Pariwisata dalam Perspektif Budaya Lokal
Dalam
dunia kepariwisataan, kesan-kesan negatif selalu menjadi hal yang paling
krusial dalam permasalahan pengembangan potensi pariwisata budaya. Gejala yang
pertama kali timbul dalam perspektif budaya (budaya lokal) adalah tentang
pengeksploitasian dan komersialisasi nilai-nilai budaya demi mengeruk
keuntungan yang besar di sektor pariwisata. Ketakutan-ketakutan ini menjadi
upaya dan segmen-segmen perspektif miring dari kelompok-kelompok masyarakat
budaya. Apa yang menjadi kekhawatiran kelompok-kelompok masyarakat tersebut tak
lebih dari upaya pemertahanan warisan budaya yang sudah ada sejak peradaban
manusia dimulai oleh orang-orang sebelum mereka.
Spillane
dalam konsep pemikirannya yang terangkum dalam pendekatan Cautionary
menganggap bahwa aktivitas pariwisata meyebabkan berbagai macam konflik.
Pandangan tersebut tidak dapat disalahkan karena pada dasarnya budaya dan
pariwisata itu sendiri dianggap sebagai dua aktivitas yang penuh dengan
konflik, di satu sisi karena adanya kepercayaan bahwa budaya bersifat
tradisional, sedangkan di sisi lain, pariwisata relatif dianggap lebih modern
dan dinamis (Manuaba dalam Oka, 2006: 114).
Ketakutan-ketakutan
tersebut cukup berasalasan, masyarakat lokal yang peduli dan menghargai
kelestarian budaya lokal berpandangan bahwa domain pariwisata dapat menyebabkan
terkontaminasinya hasil kebudayaan dan nilai-nilai budaya asli mereka. Adanya
pengaruh budaya asing sebagai konsekuensi masuk dan seiring berproses masuknya
budaya asing yang dibawa oleh para wisatawan mengakibatkan kecilnya ruang
berpikir masyarakat yang menganut budaya lokal.
Perspektif
negatif masyarakat ini harus diubah. Masyarakat lokal yang bertahan dengan
budaya lokal harus dipahamkan dengan cara-cara persuasif sesuai keinginan bangsa
ini untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Perlu disadari bahwa pariwisata
merupakan suatu fenomena kompleks yang multidimensional, multi-approach, dan
multidisipliner. Kita tidak boleh menutup ruang untuk masuk dan berkembangnya
budaya lain mengingat kehidupan yang terus memicu modernitas masuk di budaya lokal
harus disikapi dengan perspektif-perspektif positif dikalangan masyarakat untuk
mengeksplorasi kekayaan budaya lokan dalam satu media promosi dan pengembangan
pariwisata budaya lokal.
E. Pariwisata
Kreatif Berbasis Budaya Lokal
Masyarakat
kreatif dalam dunia pariwisata harus berbasis budaya lokal. Workshop dan
kolaborasi seni menjadi bagian penting dari proses ini sehingga komunitas pun
akan tetap hidup walaupun wisatawan pada saatnya meninggalkan tujuan wisatanya.
Keuntungan
pola ini adalah kreativitas masyarakat terus berkembang, sekaligus menghidupkan
ekonomi rakyat setempat. Hal utama yakni pariwisata daerah akan selalu hidup
karena mereka didukung oleh para creativepreneur lokal –masyarakat lokal
yang kreatif dan memiliki semangat entrepreneurship tinggi.
Saat
ini terjadi perubahan paradigma pembangunan ekonomi dari basis pertanian,
industri, teknologi dan sekarang kreativitas. Perubahan paradigma pembangunan
ekonomi ini telah mempengaruhi berbagai industri terkait dengan kreativitas
termasuk pariwisata. Ini sebuah orientasi perspektif dalam satu konsep dan
keinginan memajuka daerah secara khusus dan bangsa secara umum berdasarkan
potensi pariwisata yang ada dengan fokus pada budaya lokal.
Berbagai
studi mencoba menjelaskan bahwa wisatawan saat ini mengubah pola perjalanan
wisatanya dari buying product menjadi buying experience. Dari mass
tourism menjadi responsible tourism. Ketika semula wisatawan cukup
senang berkunjung beramai-ramai ke suatu tempat hanya untuk sekedar berfoto,
mereka kemudian mengubah tujuannya untuk mencoba memahami budaya setempat.
Kunjungan wisata budaya, dengan melihat (dan mempelajari) museum, galeri seni,
dan sebagainya menjadi trend baru saat itu. Menjadi berkulit gelap akibat mandi
matahari tidak lagi menjadi trend, namun memahami budaya setempat (budaya
lokal) menjadi suatu kebanggaan bagi para wisatawan itu sendiri.
Trend
selanjutnya berkembang lagi. Saat ini wisatawan tidak cukup puas hanya sekedar
memahami, tetapi mereka mencoba untuk lebih dalam mempelajari budaya setempat
dan mengembangkannya. Wisatawan kemudian menjadi bagian dari manusia kreatif
yang dapat berkolaborasi dengan budaya setempat. Mereka kemudian menjadi
prosumen (produsen sekaligus konsumen), dan mereka tidak lagi hanya pasif
melihat budaya lokal. Ini yang disebut wisata kreatif –knowledge kemudian
menjadi lebih penting dari hanya sekedar experience.
Aspek budaya lokal sebagai sarana pariwisata
merupakan sebuah objek garapan baru di dunia kepariwisataan. Sebuah objek yang
dapat dijadikan proyeksi pariwisata tentu memenuhi kualitas sebagai sebuah
objek baru wisatawan. Suatu obyek pariwisata harus memenuhi tiga kriteria agar
obyek tersebut diminati pengunjung, yaitu:
1.
Something to see adalah
obyek wisata tersebut harus mempunyai sesuatu yang bisa di lihat atau di
jadikan tontonan oleh pengunjung wisata. Dengan kata lain obyek tersebut harus
mempunyai daya tarik khusus yang mampu untuk menyedot minat dari wisatawan
untuk berkunjung di obyek tersebut.
2.
Something to do adalah
agar wisatawan yang melakukan pariwisata di sana bisa melakukan sesuatu yang
berguna untuk memberikan perasaan senang, bahagia, relax berupa fasilitas
rekreasi baik itu arena bermain ataupun tempat makan, terutama makanan khas
dari tempat tersebut sehingga mampu membuat wisatawan lebih betah untuk tinggal
di sana.
3.
Something to buy adalah
fasilitas untuk wisatawan berbelanja yang pada umumnya adalah ciri khas atau
icon dari daerah tersebut, sehingga bisa dijadikan sebagai oleh-oleh.
Dalam pengembangan pariwisata perlu
ditingkatkan langkah-langkah yang terarah dan terpadu terutama mengenai
pendidikan tenaga-tenaga kerja dan perencanaan pengembangan fisik. Kedua hal
tersebut hendaknya saling terkait mengingat potensi masyarakat lokal dalam
pengembangan budaya lokal masih sangat minim sehingga pengembangan tersebut
menjadi realistis dan proporsional. Agar suatu obyek wisata
dapat dijadikan sebagai salah satu obyek wisata yang menarik, maka faktor yang
sangat menunjang adalah kelengkapan dari sarana dan prasarana obyek wisata
tersebut. Karena sarana dan prasarana juga sangat diperlukan untuk mendukung
dari pengembangan obyek wisata. Sinergisitas pengembangan budaya lokal bersama
sebagai langkag efektif membangun kesejahteraan masyarakat melalui potensi
pariwisata sangat dibutuhkan.
Perkembangan
wisata kreatif ini dari sisi lain yang lebih dalam sangat memberi ruang bagi
masyarakat untuk berpikir kreatif. Maka promosi wisata berbasis budaya lokal
sangat dibutuhkan dengan sinergisitas persepsi di antara sesama pemerhati budaya dan pariwisata serta masyarakat.
Beberapa contoh di negara lain menunjukkan bahwa manusia kreatif yang datang
dari negara lain mengembangkan seninya di negara tujuan kunjungan. Mereka
berkreasi dan menghasilkan kunjungan wisatawan, dan penduduk lokal memanfaatkan
kehadiran wisatawan dengan (hanya sekedar) menyediakan sarana akomodasi, makan
minum dan sebagainya. Namun ketika para manusia kreatif ini meninggalkan negara
tujuan kunjungan, masyarakat setempat akan kehilangan segalanya kecuali sarana
pendukung yang mereka sediakan. Promosi wisatalah yang akan menentukan kualitas
kunjungan wisatawan kelak. Budaya lokal sangat berpotensi untuk penggarapan
lahan tersebut.
F. Penutup
Kebudayaan dan pariwisata seperti sebuah lensa dimana seperti
halnya saat kita menggunakan lensa, untuk meneropong sesuatu kita harus memilih
suatu objek tertentu yang akan dilihat secara fokus. Demi mensinergikan pengembangan
kebudayaan dan pariwisata budaya lokal maka langkah promosi wisata dengan basis
budaya lokal menjadi hal positif dan menarik. Budaya lokal dapat
dieksplorasi sebagai asset kebudayaan dalam dunia kepariwisataan, maka
pembinaan kebudayaan lokal harus dilakukan secara terus menerus. Hal utama
tentu menghindari terjadinya diskriminasi peran dalam masyarakat yang
mempertahankan budaya lokal itu sendiri karena hal ini akan dapat membawa
akibat buruk, misalnya terjadi erosi kebudayaan yang dipaksa oleh kemiskinan
penduduknya.
Tiap-tiap
program pembangunan hendaknya selalu berkaitan dengan potensi dasar yang
dimiliki oleh masyarakat lokal dan mengembangkan dinamika masyarakat lokal
sangat efektif bila dilakukan melalui lembaga-lembaga tradisional, sehingga
mereka mampu dengan cepat menyesuaikan nilai-nilai baru yang hendak dikembangkan
dalam menyongsong promosi besar dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata
kreatif berbasis budaya lokal.
Daftar Pustaka
Ahira,
Anne. 2012. “Pengertian Budaya Lokal-Budaya Lokal yang Patut Dipertahankan”
dalam www.anneahira.com, diakses tanggal 20 April 2012.
Lembura,
H.J. 2008. Mengenal Terminologi Budaya dan Pariwisata. Disbudpar Maluku
Tenggara Barat.
Oka
A. Yoeti, Haji. 2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta:
Pradnya Paramita.
0 comments: