Pendahuluan
Sastra memberikan pengertian yang dalam tentang manusia dan memberikan
ruang interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan (Jabrohim,
2010). Ruang interpretasi itu selanjutnya terintegrasi dalam karya sastra
sebagai produk sastra dan budaya. Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat
karena karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kondisi sosial masyarakat
yang tejadi di dunia realitas sehingga karya itu menggugah perasaan orang untuk
berpikir tentang kehidupan. Masalah sosial dan kejadian yang dialami,
dirasakan, dan dilihat oleh pengarang melahirkan ide atau gagasan yang
dituangkan dalam karyanya.
Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan
dari lingkungan kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Sebuah
karya sastra akan saling mempengaruhi secara timbal balik dan rumit dari
faktor-faktor sosial dan kultural yang ada. Karya sastra itu sendiri merupakan
objek kultural yang rumit dan membawa pengaruhnya sendiri. Puisi sebagai sebuah
karya sastra merupakan hasil cipta dan penggalian ide secara imajinatif manusia
yang bertolak dari kehidupan manusia. Puisi merupakan genre sastra yang menyajikan
kehidupan manusia secara figuratif, ringkas, ekspresif, dan imajiner
dibandingkan dengan cerpen atau novel yang cenderung naratif. Beban puisi tidak
ringan. Puisi menyelinap di antara sekian banyak kepentingan, sekaligus
terbebas dari sekian banyak kegiatan penyingkiran. Sikap dalam puisi
dipengaruhi oleh unsur terpentingnya, yaitu penyair yang mengurai ideologi,
sikap, dan isu di dalamnya. Dengan demikian, kehadiran sebuah karya sastra
puisi tidak lepas dari unsur subjektivitas penyair.
Peran penyair mengorganisasikan ide dalam puisi sangat vital dan
menentukan nilai makna karya sastra puisi tersebut, terlepas dari kemampuan
pembaca menginterpretasinya. Penyair adalah sebatang pohon yang mengenyangkan
perut yang kosong kelaparan. Analogi sederhana ini mengandung muatan energi
yang tidak akan mencapai limit tertentu, meski puisi mencapai limit
interpretasi (batas interpretasi/pemaknaan).
Dalam tradisi kepenyairan Indonesia, dominasi penyair Jawa sangat
kental. Hal itu tergambar dari banyaknya karya-karya berupa puisi yang
dibukukan dan diterbitkan, baik pada skala kecil maupun skala besar. Secara
tidak langsung, kondisi tersebut berimplikasi pada menurunnya image penyair lokal untuk standing up dan menunjukan kompetensi
berkaryanya di level nasional. Namun, kemunduran tersebut perlahan tereduksi
dalam proses nyata yang ditunjukan beberapa penyair lokal akhir-akhir ini.
Pergeseran keadaan ini membawa atmosfir baru untuk peta perkembangan sastra
nasional, khususnya pada level lokal.
Penyair lokal mulai gigih menunjukan proses kreatif dalam bidang
penulisan, salah satunya adalah menulis puisi yang juga menjadi bagian penting
dalam memperkaya khazanah sastra di Indonesia. Dalam memotret kemajuan
tersebut, menarik untuk menempatkan Irianto Ibrahim sebagai sosok penyair lokal
yang menjadi salah satu perintis jalan dalam tradisi berpuisi dan menjejakkan
kaki di level nasional. Kepenyairan Irianto Ibrahim sudah di mulai sejak
sepuluh tahun silam, terbukti dari partisipasinya dalam banyak kegiatan
kesastraan yang mengkhusus pada genre karya sastra puisi.
Irianto Ibrahim lahir di Gu-Buton, Sulawesi Tenggara pada 21 Oktober 1978. Irianto telah menunjukan
eksistensi berkaryanya dalam hal menulis puisi. Tercatat beberapa karyanya
menjadi populer di banyak media sastra lokal dan nasional, misalnya beberapa
sajaknya yang dimuat di Horison, Bali Post, Kendari Pos, Kendari Ekspres, Radar Tasikmalaya, dan jurnal puisi rumahlebah ruangpuisi.
Karyanya yang lain terkumpul dalam antologi bersama Malam Bulan Puisi (Teater Sendiri), Jejak Sunyi Tsunami (Kantor Bahasa Medan-Pusat Bahasa Jakarta), Wajah Deportan (Komunitas Teras Puitika
dan AUK, 2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa
(Antologi Temus Sastrawan Indonesia II Bangka Belitung, 2009), rumahlebah ruangpuisi#02 (Yogyakarta, 2009). Irianto juga tercatat sebagai
peserta Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) 2007 di bidang penulisan puisi.
Puncak pencapaian terbaiknya adalah berhasil membukukan puisi-puisinya secara
tunggal dan pertama kali di Sulawesi Tenggara, yaitu Buton, Ibu dan Sekantong Luka yang diterbitkan oleh Framepublishing
Yogyakarta tahun 2010. Selanjutnya, buku itulah yang dirasa penting oleh
peneliti untuk mengurai lebih jauh tentang urgensi nilai dan makna terhadap
sebuah karya sastra (baca: puisi). Intensitas
masalah sosial dan sejarah yang dilihat oleh peneliti dalam sajak-sajak
tersebut akan memberi ruang interpretasi seluas-luasnya bagi pembaca mapun
peneliti.
Hal yang progres jika menarik genre
sastra puisi bertema sosio-lokal-historis pada level masyarakat, terlebih hal
itu dibenturkan dengan keseluruhan struktur sosial yang mapan dalam masyarakat.
Corak interaksi sastra khususnya puisi tersebut akan mengalami benturan, yakni
perubahan-perubahan pada struktur sosial dan berakibat pada perubahan kaidah
atau regulasi yang sifatnya konvesional dalam kesusastraan.
Puisi karya Irianto Ibrahim dikenal romantis, realis, metaforis, dan
imajiner. Ada juga yang mengatakannya subjektif atas dasar pembacaan dan
pemaknaan secara personal pula. Bahasa sebagai medium vital penyampaian pesan
melalui puisi-puisinya dirasakan sampai kepada pembaca oleh peneliti. Selain
itu, hal lain yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah konstruksi diksi
yang digunakan Irianto dan penataannya mewakilkan makna secara optimal,
misalnya sajaknya yang figuratif dengan mengeksplor visual (gambar) ke dalam
sajaknya atau sebaliknya.
Buton 1969
adalah sajak pembuka
antologi Buton, Ibu dan Sekantong Luka.
Sebuah sajak yang bernafas berat, sentimentil, duka di dalamnya mampu menggeser
sajak-sajak lainnya (Mubarok, 2010). Salah satu kutipan kuat di bagian penutup
sajak ini yaitu “kau khusuk menulis nestapa, darah lebih kental dari luka,
lebih sakit dari kenangan”. Sajak ini mencoba memotret pedihnya tragedi Buton.
Berikut kutipan penegasan dari pengantar penerbit yang menguatkan kedahsyatan
makna sajak ini, “Seolah narasi tidak sanggup menyampaikan derita dan teraniaya
korban–termasuk kematian Muh. Kasim dan banyak korban lain di luar batas
kemanusiaan–sehingga puisi dianggap menyampaikan kesaksian”. Kutipan ini tegas
dan sarat makna. Sajak Buton 1969
berangkat dari sebuah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di
Buton.
Tahun 1969, Buton dituduh sebagai basis PKI hanya karena sebuah
informasi bahwa Buton menjadi tempat penyelundupan senjata dari Cina. Bupati
Buton, Muh. Kasim beserta lebih kurang 40 orang aparat pemerintah Buton dan
anggota ABRI asal Buton ditangkap tanpa surat perintah. Rumah-rumah penduduk
digeledah dan banyak harta mereka dirampas. Buton banjir darah 4 tahun setelah
G30S PKI. Padahal setelah dilakukan penyelidikan ternyata di Buton tidak
ditemukan senjata dan tidak ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari Cina.
Yusran Darmawan dalam bukunya Menyibak
Kabut di Keraton Buton (Respect, 2008) juga menegaskan bahwa isu Buton sebagai
basis PKI direspon oleh pihak militer yang langsung melakukan penangkapan pada
ratusan orang Buton. Selain itu juga, Saleh Hanan, penulis buku Catatan
Jurnalis Operasi Militer 1969: ‘Buton Basis PKI’ (2000) mengungkapkan bahwa isu
tersebut digulirkan untuk melemahkan dan sekaligus mematikan putra-putra
terbaik Buton. Sajak ini sungguh mengurai tragedi dan sejarah yang kelam di
Buton tahun 1969.
Restrukturisasi kehidupan sosial yang sesungguhnya akan banyak kita
dapatkan dalam lima sajak tersebut. Realitas sosial dan sejarah dalam
masyarakat berpengaruh kuat dalam teks puisi. Hal seperti ini bukan kesengajaan
penciptaan karena puisi adalah gerak imajinasi penyair, tetapi seorang penyair
kadang lebih peka dan responsif dengan masyarakat dan dalam konten semacam itu.
Munculnya aliran-aliran dalam puisi, atau karya sastra membuktikan kepekaan
pengarang dalam menyelami realitas.
Memahami karya sastra menurut Paul Ricoeur melalui pandangan filsafat
bahasa adalah memahami teks sastra sebagai bentuk fenomena di dalam karya
sastra tersebut yang secara otonom melalui bahasa yang di dalamnya juga
menggunakan metafor-metafor. Selanjutnya Ricoeur menekankan bahwa filsafat pada
hakikatnya adalah hermeneutika yang merupakan objek kajian terhadap teks dan
lebih menekankan pada kupasan makna tersembunyi.
Dalam sebuah proses pemaknaan, yang paling penting adalah prosuksi
makna yang dihasilkan dari interaksi antara pembaca dengan teks (baca: sajak).
Hal ini mengandung konsep pemikiran bahwa suatu pemaknaan akan lebih utuh jika
seorang pembaca mampu menyelami dunia realitas atau konteks riil dalam deret
teks-teks yang dibaca. Dengan demikian, pembaca adalah orang yang betugas untuk
memberi makna sebuah karya sastra. Khusus pemaknaan karya sastra puisi, proses
pemaknaan dimulai dengan pembacaan heuristik, yaitu menemukan makna teks
berdasarkan fungsi bahasa sebagai komunikasi dunia luar (fungsi mimetik).
Selanjutnya meningkat pada pembacaan hermeneutik, yaitu pemaknaan yang merunut
arti sebuah tanda atau kode sebuah karya sastra. Hal yang berhubungan dengan
tanda dikonsepkan dalam istilah semiotik, selanjutnya peneliti mengembangkan
teori ini untuk memaknai karya sastra puisi dengan konsep pemikiran Riffaterre.
Riffaterre lebih jauh menjelaskan bahwa untuk memperoleh makna yang
utuh terhadap sebuah puisi, maka pembaca harus menentukan matriks dan model
yang terdapat dalam karya itu. Selanjutnya pembaca melihat hubungan atau
keterkaitan sebuah karya dengan teks lain (intertekstual). Dari keempat konsep
pemaknaan yang diungkapkan dalam metode semiotik Riffaterre ini, peneliti
merasa tepat untuk menerapkannya, namun hanya pada tiga konsep (heuristik,
hermeneutik, dan matrik dan model) pada pamaknaan lima sajak dalam kumpulan
puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka
karya Irianto Ibrahim yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Langkah-langkah
pemaknaan terhadap puisi yang dikemukakan oleh Riffateree memberi ruang untuk
memberikan pemaknaan terhadap lima sajak dalam kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya
Irianto Ibrahim secara total dan optimal sebagaimana dikonsepkan dalam kajian
hermeneutik Paul Ricoeur.
Puisi
Buton 1969 dalam Kajian Semiotik Riffaterre
Sajak
Buton 1969
begitu
tahun-tahun menjadi sepi
dan
malam bergegas menyibak riak waktu
kau
tak usah mendesak laut menyurut
atau
pohon-pohon mengemis angin
karena
darah lebih kental dari luka
lebih
sakit dari kenangan
mungkin
kau butuh semacam nestapa
atau
ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil
bersiul menanti pisau waktu
yang
berjubah hitam, persis nenek sihir
bukan
tawar-menawar yang kau tunggu
karena
gagak tak pernah lupa alamat malam
dari
matanya yang menikam kelam
meski
berkali-kali kau menyebut ingin
ia
tak hinggap di sana
tidak
di deretan kata yang memuat namamu
pulanglah,
kembali ke bilik langit
sambil
bersiul sepanjang luka
sepanjang
kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun
cerita
seperti
ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah
yang dijaga para tentara yang selalu marah
adalah
peta yang sama kau jejaki
dari
ujung nadi terjauh
tempat
anjing-anjing kurus
dengan
liur yang tak pernah kering
mendesakmu
dengan seribu tuduhan
semacam
goa yang ditolak para pertapa
kau
khusuk menulis nestapa
darah
lebih kental dari luka
lebih
sakit dari kenangan
1)
Pembacaan
Heuristik
Puisi
Buton 1969 merupakan puisi berlatar sosial-lokal-historis yang menjadi
pusi pembuka dalam kumpulan puisi Buton,
Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim. Konstruksi larik-lariknya
begitu apik dan sarat makna. Berikut uraian pembacaan secara heuristik per
baitnya.
Bait
pertama:
begitu
tahun-tahun menjadi sepi
dan
malam bergegas menyibak riak waktu
kau
tak usah mendesak laut menyurut
atau
pohon-pohon mengemis angin
karena
darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan
Puisi
di atas menyimpan segenap cerita kelam dalam kurun waktu yang cukup lama. Larik
pertama sangat jelas mengarahkan pada pemaknaannya, yaitu /begitu tahun-tahun menjadi sepi/ artinya waktu yang terlupakan,
bertahun-tahun meninggalkan sesuatu. Selanjutnya diperkuat kembali pada larik
kedua, /dan malam bergegas menyibak riak
waktu/ berarti malam menjadi penuntas serumpun keadaan dan bermusim waktu.
Di larik selanjutnya, /kau tak usah
mendesak laut menyurut/, kau
dalam potongan larik tersebut berarti kata ganti orang pertama jamak dan
menunjukan relasi dialogis antara penyair dengan orang yang disamarkan penyair.
Selain itu, kelas kata kau sebagai
nomina melahirkan interpretasi lain atas kata ini dan dapat dimaknai sebagai
objek selain orang yang digambarkan penyair.
Larik
berikutnya /atau pohon-pohon mengemis
angin/, konsep gaya bahasa personifikasi yang mendukung keutuhan makna
dalam satu bait pada konstruksi sajak tersebut. Pohon yang berarti tumbuhan yang identik dengan batang, cabang, dan
berdaun jika dihubungkan dengan kata mengemis
angin, maka hal ini merupakan sebuah
hal yang tidak biasa. Lazimnya angin senantiasa bersahabat dengan pohon, tetapi
jika keadaan ini berbalik maka menimbulkan tanda tanya. Pohon yang mengemis
angin lebih menyimbolkan sebuah kehampaan, kenestapaan, dan sebentuk
keranggasan dalam sebuah kehidupan. Dua larik terakhir, /karena darah lebih kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/
merupakan satu gabungan sekaligus penggambaran yang memperkuat segala bentuk
kehampaan sebagaimana pembacaan di larik-larik awal puisi tersebut. Darah yang berarti sel-sel merah atau
putih yang mengalir dalam pembuluh darah manusia secara leksikal dan luka merujuk pada makna kamus lebih
dimaknai dengan cedera yang diakibatkan oleh sesuatu yang tajam. Darah dan luka adalah dua hal yang menunjukan hubungan kausatif (sebab
akibat). Sedangkan sakit dan kenangan menjadi berhubungan jika salah
satu termarginalkan, artinya ada penyebab yang mengakibatkan keduanya menjadi
saling berhubungan.
Bait
kedua:
mungkin
kau butuh semacam nestapa
atau
ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil
bersiul menanti pisau waktu
yang
berjubah hitam, persis nenek sihir
Larik
pertama pada bait kedua ini menyimpan ‘sesayat’ cerita miris dan duka yang
mendalam. /Mungkin butuh semacam nestapa/
berarti membutuhkan suatu kesedihan atau kegundahan yang selanjutnya pada larik
kedua /atau ruang khusus penampung
berkarung sesal/ menambah dramatisasi cerita penyesalan. /Ruang khusus dan penampung berkarung sesal/
dapat diartikan sebagai tempat untuk menumpahkan segala kenangan buruk. Namun,
larik ketiga dan keempat sedikit kontras karena suasana menjadi paradoksal
meski akhirnya juga berlabuh pada kekelabuan. /Sambil bersiul menanti pisau waktu/ yang berjubah hitam, persis nenek
sihir/, bersiul lebih menandakan suasana senang, tetapi jubah hitam dan nenek sihir adalah dua hal yang berhubungan dengan misteri dan
kelam. Latar keadaan yang kelabu secara komprehensif utuh dalam sajak ini.
Bait
ketiga:
bukan
tawar-menawar yang kau tunggu
karena
gagak tak pernah lupa alamat malam
dari
matanya yang menikam kelam
meski
berkali-kali kau menyebut ingin
ia
tak hinggap di sana
tidak
di deretan kata yang memuat namamu
Pada
larik pertama di bait ketiga ini /bukan
tawar menawar yang kau tunggu/ arti leksikal yang diperoleh lebih mengarah
pada esensi dari saling membutuhkan. Layaknya dalam sebuah tradisi jual beli
maka istilah lazim yang digunakan adalah tawar-menawar sebagai upaya untuk
mendapatkan persetujuan pembelian barang. Konsekuensi logisnya adalah
ditemukannya keputusan oleh kedua pihak. Kata tawar-menawar merupakan bentuk reduplikasi sebagian yang berarti saling yang merujuk pada melakukan
perbuatan (melakukan kegiatan tawar menawar atau negosiasi).
/Karena gagak tak
pernah lupa alamat malam/, gagak merupakan burung pemakan daging dengan ciri berbulu hitam
sedangkan alamat malam diartikan
untuk menyebut sebuah tempat. Dua objek ini memiliki substansi masing-masing,
tetapi menjadi sesuatu yang lain jika keduanya saling berhubungan. Lazimnya
gagak pada siang hari, jika pada malam hari maka ia melahirkan cerita mistik
dan berbagai tafsir takhayul dalam kehidupan masyarakat tradisional. Jika
keduanya menyatu dalam larik kedua tersebut, makna yang jelas adalah simbolitas
tentang kematian. Larik /dari matanya
yang menikam kelam/ merupakan lanjutan dari larik kedua yang mempertegas gagak dengan identitas nestapa, duka,
dan kekelaman.
Meski berkali-kali kau menyebut ingin,
artinya intensitas atau berulang dan
frekuensi keinginan kau (baca: Buton). /Ia
tak hinggap di sana/, masih berhubungan dengan jejak gagak yang juga tak
ada dalam sebuah rasa ingin. Kemudian larik terakhir /tidak di deretan kata yang memuat namamu/, berarti kehampaan atau
kekosongan. /Deretan kata/ merupakan
himpunan huruf yang terbentuk menjadi konstruksi bahasa (tataran kata),
selanjutnya nama sering menjadi
aplikasi dari himpunan huruf atau kata tersebut.
Bait
keempat:
pulanglah,
kembali ke bilik langit
sambil
bersiul sepanjang luka
sepanjang
kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun cerita
seperti
ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah
yang dijaga para tentara yang selalu marah
Larik
pertama /pulanglah, kembali kau ke bilik
langit/. Kata pulanglah berarti
ajakan untuk kembali ke tempat asal. Selanjutnya kembali ke bilik langit artinya awal di mana sesuatu yang disebut
penyairnya sebagai tempat asal kau (Buton). Langit
merupakan ruang luas yang terbentang di atas permukaan bumi dan menjadi batas
pandangan manusi karena langit pun tak pernah diakui sebagai sebuah tempat yang
pasti dan berbatas. Sehingga memaknai bilik
langit berarti sesuatu yang berhubungan dengan ruang yang khusus yang
dijadikan untuk tempat.
Sambil
bersiul sepanjang luka. Bersiul
artinya mengeluarkan bunyi melalui mulut dan biasanya berirama yang identik
dengan keadaan senang atau sedang dalam kebahagiaan dan luka berarti sesuatu yang diakibatkan karena cedera dan menimbulkan
rasa sakit. Larik ini menandakan sebuah hal yang kontras, yaitu keadaan senang
namun di sisi lain sedang dalam rasa sakit.
/Sepanjang kenangan
yang menghanguskan/. Kenangan adalah sesuatu yang membekas, dapat berupa cerita atau pun
keadaan. Hangus berarti terbakar
sampai menjadi abu, habis sama sekali karena terbakar, ditambah dengan imbuhan
me(N)-kan menjadi menghanguskan
artinya membakar sampai menjadi abu. Dengan demikian, larik /sepanjang kenangan yang menghanguskan/
berarti sebuah kenangan yang terbakar, yang hanya menyisakan sesal disebabkan
oleh unsur kesengajaan. Selanjutnya larik keempat yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari larik ketiga, yaitu tahun-tahun
cerita berarti waktu yang cukup lama, penuh dan terisi dengan banyak
cerita.
/Seperti ketika kau
melewati tanah perbatasan/. Pada larik ini
terdapat konjungsi ketika yang
menandakan adanya hubungan waktu. Subjek kau
masih menjadi objek pembicaraan penyair yang oleh penulis memaknainya sebagai
sebutan untuk nomina “Buton”. Tanah
perbatasan berarti daerah yang menjadi batas dua wilayah. Daerah perbatasan
merupakan daerah yang rawan konflik dan sarat akan ragam masalah, bahkan sering
menimbulkan perpecahan. Melewati tanah
perbatasan berarti siap melalui area penuh masalah. Konflik sewaktu-waktu
dapat menjadi ancaman di daerah perbatasan.
/Tanah yang dijaga para
tentara yang selalu marah/. Larik terakhir pada
bait keempat ini masih berhubungan dengan larik sebelumnya. Tanah yang dijaga para tentara masih
berhubungan dengan tanah atau daerah perbatasan. Kata tentara berarti prajurit atau militer dan identitas ‘orang kuat dan
tangguh’ sangat dilekatkan pada mereka (baca: tentara). Sehingga lanjutan
penyifatan untuk tentara dengan sifat
marah lebih mengidentikkan peringai mereka
yang tak suka ‘main-main’.
Bait
kelima:
adalah
peta yang sama kau jejaki
dari
ujung nadi terjauh
tempat
anjing-anjing kurus
dengan
liur yang tak pernah kering
mendesakmu
dengan seribu tuduhan
semacam
goa yang ditolak para pertapa
kau
khusuk menulis nestapa
darah
lebih kental dari luka
lebih
sakit dari kenangan
/Adalah peta yang sama
kau jejaki/. Peta artinya gambar yang menunjukan letak tanah, laut, jalan,
gunung, dan sebagainya. Peta merupakan simbol, biasanya berhubungan dengan cara
untuk mengenali sebuah daerah dengan tanda atau gambar-gambar khusus. Yang sama kau jejaki diartikan dengan
sesuatu atau daerah yang pernah dilalui atau dilewati. Kemudian larik kedua, /dari ujung nadi terjauh/. Nadi artinya pembuluh darah besar dan biasanya
berhubungan dengan kehidupan secara universal sebagai tanda yang menentukan
hidup atau tidaknya manusia sebagai makhluk hidup. Terjauh diartikan sebagai titik paling jauh dari sebuah objek yang
dituju.
/Tempat anjing-anjing
kurus/. Anjing
artinya binatang pemakan daging. Reduplikasi anjing-anjing ditambah dengan adjektif kurus menjadi simbol yang tak terbantahkan sebagai penyifatan
terhadap orang yang rakus. ‘Justifikasi’ semacam ini menjadi sebagai kelaziman
dan bahkan sudah menjadi konvensi publik, biasanya berhubungan dengan individu
atau kelompok tertentu yang mendzalimi kalangan tertentu pula.
/Dengan liur yang tak
pernah kering/. Lanjutan larik ketiga ini lebih
diartikan dengan penebalan keadaan dan sifat. Sesuatu yang tak pernah kering
menjanjikan sesuatu yang lain untuk menjadi lebih meningkat dari keadaan
sebelumnya. Binatang seperti anjing identik dengan liur yang jatuh,
mengidentikkan kerakusan dengan porsi keinginan yang berlebih.
/Mendesakmu dengan
seribu tuduhan/. Kata mendesakmu lebih menekankan pada sebuah intimidasi dan seribu tuduhan merupakan konsekuensi
logis dari sebuah intimidasi yakni banyaknya tuduhan atau semacam pengadilan
khusus. Semacam gua yang ditolak para pertapa, larik ini sesungguhnya berangkat
dari larik sebelumnya dan merupakan sebuah analogi sederhana. Gua artinya liang besar di lereng gunung
dan keadaan gelap sangat identik dengan gua. Pertapa artinya orang yang melakukan semedi di gua. Para pertapa
selalu memilih gua untuk dijadikan tempat semedi atau bertapa karena suasanya
yang tenang dan sepi. Namun jika pertapa menolak gua sebagai sebuah tempat
disakralkan maka ini sungguh di luar kebiasaan. Terselip sesuatu yang lain dan
menjadi alasan.
/Kau khusuk menulis
nestapa/ artinya kau dengan sungguh-sungguh sebagai arti leksikal dari khusuk menulis dan mengurai kesedihan
yang begitu dalam (nestapa). Lanjutan larik terakhir dalam bait ini merupakan
repetisi dari larik terakhir bait pertama, yaitu /darah lebih kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/.
Universalitas makna luka yang perih dicirikan dengan darah yang kental dan
kenangan adalah cerita sejarah, menjadi sesuatu yang menyakitkan jika kita
melupakan kenangan. Efek dari melupakan kenangan adalah sesuatu yang timbul
yaitu rasa sakit pada pikiran dan perasaan.
2)
Pembacaan
Hermeneutik
Sajak
Buton 1969 karya Irianto Ibrahim
merupakan sajak yang sarat dengan ikonitas, simbolitas dan indeksial. Ini
tergambar jelas dalam hal-hal yang universal dan menjadi sebuah konvensi dalam
sajak tersebut. Dari judul kita sudah bisa mengurai simbol, Buton merupakan kerajaan yang berdiri
tahun 1332 M terkenal dengan benteng terluasnya. Buton menyimpan sejarah
kejayaan masa silam, namun juga memeram cerita kelam dalam perjalanannya dan 1969 merupakan simbol waktu di mana
sebuah dekade atau masa Buton mencatatkan sejarah kelamnya.
Sajak
ini merupakan sajak pembuka dalam kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim yang menjadi
roh antologi puisinya. Secara fisik, sajak Buton
1969 tidak terlalu kuat artinya nuansa lokalitas tidak tampak. Hal ini
dapat dibuktikan dalam diksi-diksi yang ditampilkan pada larik-larik sajaknya
yang tidak mengesankan Buton dengan segala lokalitas dan identitas. Namun,
mengurai tanda-tanda pada sajak ini mengarahkan kita pada penemuan makna atas
tragedi dan prahara.
Jabrohim
dalam esai singkatnya untuk kumpulan puisi Buton,
Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim mengatakan bahwa sajak ini
merupakan sajak yang bernafas berat dan sentimentil. Pernyataan tersebut
didukung oleh fakta cerita yang melatari sajak ini. Sajak Buton 1969 berangkat dari sebuah peristiwa pelanggaran hak asasi
manusia yang terjadi di sana. Tahun 1969 Buton dituduh sebagai basis PKI hanya
karena sebuah informasi bahwa Buton menjadi tempat penyelundupan senjata dari
Cina. Bupati Buton, Muh. Kasim beseta lebih kurang 40 orang aparat pemerintah
Buton dan anggota ABRI asal buton ditangkap tanpa surat perintah. Rumah-rumah
penduduk digeledah dan banyak harta mereka dirampas. Buton banjir darah 4 tahun
setelah G30S PKI.
Saleh
Hanan dalam bukunya Catatan Jurnalis Operasi Militer 1969: ‘Buton Basis PKI’
(2000: 6) turut pula mengatakan bahwa Buton digaris merah sebagai basis PKI.
Sejarah yang dituliskannya dalam buku tersebut merupakan wujud kebesaran dan
kemenangan penguasa di era tersebut, era Orde Baru. Bola panas yang digulirkan
oknum TNI hanya merupakan sebuah tuduhan-tuduhan tak berdasar. Larik lima bait
lima /mendesakmu dengan seribu tuduhan/ menggambarkan
betapa Buton yang dijabat oleh Muh. Kasim era itu “dipaksa” mengakui
tuduhan-tuduhan dari oknum antikepemerintahannya. Selain itu, larik /karena darah lebih kental dari luka/ lebih
sakit dari kenangan/ juga menggambarkan kepedihan yang lebih, derita atas
sejarah kelam yang ditetaskan korban-korban isu sosial yang digulirkan oknum
TNI. Hubungan indeksial antara darah
dan luka terjalin kuat pada dua larik
terakhir bait pertama sajak ini. Darah identik dan ada karena sebuah luka,
hubungan kausatif dijalin kedua kata ini yang mengakibatkan keadaan sakit.
Buton
yang terluka digambarkan penyair dalam detail kehampaan, seperti pada larik
pertama bait kedua /mungkin kau butuh
semacam nestapa/, larik pertama bait ketiga /bukan tawar menawar yang kau tunggu/, larik lima bait lima /mendesakmu dengan seribu tuduhan/ atau
larik tujuh bait lima /kau khusuk menulis
nestapa/. Kau dalam sajak ini
adalah Buton yang disebutkan penyair.
Tanah
Buton seolah tanah perbatasan di mana para tentara khusuk menjaga daerah
seperti ini. Larik seperti ketika kau
melewati tanah perbatasan/ tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah/
menggambarkan keadaan yang sama. Buton bukan lagi tuan di tanahnya sendiri.
Buton adalah tamu dan menjadi /tempat
anjing-anjing kurus/ dengan liur yang tidak pernah kering/. Putera-putera
terbaik Buton dibumihanguskan dengan segala kenangan yang dikubur. Tentara sebagai simbol ketangguhan dan
disiplinitas yang tinggi tereduksi dalam arogansi dan kerakusan atas kekuasaan
sebagai konsekuensi sikap dari kemunculan tanda anjing-anjing yang menjadi simbol kerakusan.
Puisi
dapat menyampaikan sebuah kesaksian. Irianto Ibrahim menulis puisi Buton 1969 sebagai sebuah kesaksian atas
apa yang menjadi cerita kelam Buton. Fakta historis yang ingin disampaikan
penyairnya membaur dalam diksi-diksi yang menarik dan sedikit “menyayat” urat
kemanusiaan kita seperti halnya objek yang ingin digambarkannya. Ironi
dihadirkan dalam sajak ini. Penyair tidak menghadirkan keindahan lanskap alam
dengan laut dan bukit-bukit karangn Buton yang mempesona, dinding-dinding
keraton Wolio yang panjang dan luas, atau kota Bau-Bau yang terus menggeliat,
namun penyair mengambil sesuatu yang terlupakan dari Buton; pahitnya sejarah
tahun 1969. Meskipun narasi yang ingin disampaikan tidak sampai dengan
kata-kata yang riil mengarahkan pada kebenaran cerita, namun tanda-tanda
menjadi kuasa atas pedih Buton dalam sajak ini.
Hubungan
demi hubungan antarlarik dan antarbait menggambarkan dengan jelas prahara
Buton, seperti terlihat pada larik pertama bait pertama /begitu tahun-tahun menjadi sepi/ dihubungkan dengan larik pertama
bait ketiga /pulanglah, kembali ke bilik
langit itu/ membentuk makna yang utuh bahwa tragedi yang terjadi di tahun
1969 adalah sesuatu yang terlupakan dan “dipaksa” hilang ditelan euforia zaman.
Larik selanjutnya yang menunukan cerita yang sama, yaitu /sepanjang kenangan yang menghanguskan/ tahun-tahun cerita/.
Sejarah adalah kenangan dan sesuatu yang membekas. Sajak Buton1969 ini secara utuh mengurai sesuatu yang telah terjadi,
derita dan teraniayanya objek yang diluksikan penyair.
/Adalah peta yang sama
kau jejaki/ dari ujung nadi terjauh/
semakin membuat jarak yang terlampau jauh untuk diingatnya Buton sebagai daerah
yang pernah berjaya dengan sebutan Kesultanan Buton. Nadi dalam konteks tanda sajak ini merupakan ikon yang berarti
kehidupan. Buton dalam percaturan politik dan pemerintahan mengalami kemajuan
yang pesat. Wilayah yang semakin luas dan hubungan politik yang membaik dengan
beberapa kerajaan seperti Mahapahit, Luwu, Konawe, dan Muna menunjukan kehidupan
yang lebih baik untuk Kesultanan Buton. Murtabat Tujuh adalah bentuk kemajuan
yang berhasil dibuat Kesultanan Buton, yaitu Undang-Undang dasar Kesultanan
Buton yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat
kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan. Jika kita pernah mengenal Buton
dalam sejarah yang gemilang, maka sekarang kita hanya akan menyaksikan dalam peta bahwa Buton hanya sebuah daerah
kepulauan yang menyimpan banyak cerita dan sejarah. Nadi terjauh menandakan kehidupan sejarah yang perlahan pupus dan
hanya sebagian generasi Buton saja yang pernah diwariksan sejarah dan kisah
tahun 1969.
Repetisi
bunyi dan makna pada larik /darah lebih
kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/ adalah ending dari sajak ini yang mengungkit dan mengungkap tragedi
kemanusiaan yang pernah terjadi di Buton tahun 1969. Ada penegasan dari kedua
larik ini yang menjadi nyawa sajak Buton 1969 yang dilukiskan bahwa
bagaimanapun sejarah mengenang kepedihan tidak akan terobati sebab Buton dengan
segala cerita luar biasa di eranya hanya sepenggal kisah untuk diwariskan pada
anak cucu. Tragedi berdarah menghadirkan luka sejarah yang kelam, kenangan yang
menyakitkan.
3)
Matriks
dan Model
Ada
dua tanda yang paling monumental dalam sajak ini, yaitu darah dan luka. Dua kata
ini mengalami repetisi dalam pemakaiannya dan memiliki kekuatan puitis, yaitu
di dua larik terakhir bait pertama dan terakhir, /darah lebih kental dari luka/lebih sakit dari kenangan//. Dua
larik yang tidak terpisah ini selanjutnya menjadi model pertama dan aktualisasi
pertama sajak Buton 1969. Darah dan luka diasosiasikan dengan sebuah kesakitan dan kepedihan. Jika
dihubungkan dengan latar kehadiran sajak ini, maka dua larik ini berusaha
menggambarkan sebuah keadaan yang menyakitkan. Tahun 1969 sebagai tahun yang
menyakitkan untuk masyarakat Buton, setetes darah
dan luka yang dibekaskan oleh
arogansi TNI.
Prahara
Buton yang terjadi bermula dari tuduhan yang berakhir menjadi isu besar yang
digulirkan TNI untuk menjatuhkan kepemimpinan Muh. Kasim. Larik yang menunjukan
hal tersebut terdapat pada larik lima bait lima, yaitu /mendesakmu dengan seribu tuduhan/. Larik ini sederhana dalam
penggunaan katanya namun sarat dengan makna. Selanjutnya larik ini menjadi
model kedua dan aktualisasi matriks kedua. Wacana sosial yang digulirkan
akhirnya tidak terbukti dan efek yang ditimbulkan pun menimpa fisik dan psikis
masyarakat Buton.
Penutup
Pada tahap pembacaan semiotika tingkat pertama
(pembacaan heuristik) ditemukan sebuah heterogenitas yang ungramatikal,
rumpang, dan tidak terpadu seolah-olah tidak ada kesinambungan antara baris
demi baris atau larik demi larik. Akan tetapi, setelah diadakan pembacaan yang
lebih jauh melalui pembacaan semiotika tingkat kedua (pembacaan hermeneutik)
diperoleh sebuah makna yang optimal tentang makna isu sosial dan sejarah dalam
sajak-sajak tersebut.
Matriks dan model yang terdapat pada setiap
sajak merupakan inti dari makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian,
penentuan matriks dan model pada setiap sajak menjadi penting untuk dilakukan
demi memperoleh makna yang utuh. Matriks tidak hadir secara langsung dalam bentuk teks, namun model
tampil sebagai aktualisasi pertama dari matriks. Melalui penentuan model,
pemaknaan terhadap sajak menjadi lebih terfokus.
Sajak Buton
1969 secara heuristik memotret yang
tidak lazim dalam kehidupan. Konstruksi diksi melahirkan tafsiran-tafsiran
paradoksal atas imaji liar penyair. Sedangkan secara hermeneutik, sajak ini
menyimpan tiga tanda monumental yaitu luka,
kenangan, dan 1969. Eksploitasi cerita sejarah di balik penciptaan sajak ini
melahirkan pemaknaan yang optimal. 1969
menjadi simbol pengikat dari luka dan
kenangan. Buton di tahun 1969
menyimpan prahara dan isu besar di pundaknya sebagai basis PKI, namun pada
akhirnya termentahkan dan tidak terbukti meski kemudian mengorbankan
orang-orang yang tidak bersalah.
Daftar Pustaka
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Budianta, dkk. 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesiatera.
Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika.
Yogyakarta: LKiS.
Broto, Anjrah Lelono. 2009. Adopsi Fakta Imajinatif Sastra. Litbang
LBTI.
Dahana, Radhar Panca. 2001.Kebenaran dan Dusta dalam Sastra.
Magelang: Indonesiatera.
Darmawan, Yusran. 2008. Menyibak Kabut di Keraton Buton.
Jakarta: Respect.
Hanan, Saleh. 2000. Catatan Jurnalis Operasi Militer 1969: ‘Buton Basis PKI’. Kendari:
Pers Mahasiswa Unhalu.
Hidayatullah, Syarif. 2010. “Kembali Ke
Hakikat Puisi (Puisi Sebagai Substansi” dalam www.wismasastra.wordpress.com.
Hudayat, Asep Yusup. 2007. Metode Penelitian Sastra. Bandung:
Universitas Padjadjaran.
Ibrahim, Irianto. 2010. Buton, Ibu dan Sekantong Luka.
Yogyakarta: Framepublishing.
Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha
Widia.
Jamaluddin. 2003. Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Adicipta.
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma.
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermassa.
Mubarok, Sarabunis. 2010. “Esai: Buton,
Puisi dan Sekantong Luka” dalam www.facebook.com.
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai
Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1985. Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia
Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada
University Press.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2001. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricoeur, Paul. 2009. Hermenutika Ilmu Sosial. Kreasi Wacana.
Rusyana, Rus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: C.V.
Diponegoro.
Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta:
Gama Media.
Segers, Rian T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta:
Adicita.