KOTAKATA 2013



MEMINTAL  DOA


Dalam sujudku subuh ini
Rupaku luntur dalam doa yang syahdu
Napas tersengal
Suara menyepi pada dinding hati

Kabut kental usai fajar yang menepi
Mempertegas salah yang dalam
Rapal tobat tak usai sampai di sini

Tuhan,
Dalam gelap aku meminta
Dalam hampa aku memohon
Dalam terang aku bercita
Sepercik asa untuk tubuh yang usang ini
Sepintal maaf untuk jiwa yang kalut ini

Tuhan,
Rinduku pada tanah yang lapang
Mimpiku pada semangat yang lantang
Beri nyawa dalam hidup kecil ini
Beri cahaya pada hati kecil ini

Tuhanku,
Doaku mengalir
Ricik di telinga-Mu


Baubau, 2013



-------------------------------------------------------------
-------------------------------------------------------------



SECANGKIR MEMOAR

Pada sebuah langit
Mataku mendaki jauh menuju-Mu
Gemuruh sibuk angin, awan yang kalut
Mengantarku pada jejak lama
Mimpi kecil yang pernah menggantung di sini

Kini senja menyapu terik
Menyentuh ruang hati terdalam
Perlahan mengetuk kenangan yang lama tidur
Hampa, sesekali kaku
Dingin yang terasa memerih, luka
Aku hanyut
Dalam noda nadi yang entah

Kelak air mata tak akan menjadi sesal
Sebab masa datang membayang
Aku bercermin
Mengenang masa mencipta asa

Tuhanku,
Mungkin dalam ingatan
Aku menyapa dalam doa, juga dosa
Pada senja yang marun ini
Kutitip semangat yang menyala


Baubau, 2013



---------------------------------------------------------
---------------------------------------------------------

INAL TORA
- ketika sajak meneduhkan jarak 






SINERGISITAS PERSEPSI DALAM PROMOSI DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KREATIF BERBASIS BUDAYA LOKAL

SINERGISITAS PERSEPSI DALAM PROMOSI DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KREATIF BERBASIS BUDAYA LOKAL[1]
Oleh:
Zainal Surianto[2]


A.  Pendahuluan
Kebudayaan adalah esensi kehidupan bangsa. Mengenal kebudayaan bangsa berarti mengenal aspirasinya dalam segala aspek kehidupannya sedangkan pariwisata adalah keseluruhan gerakan manusia yang melakukan perjalanan atau pesinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke suatu atau beberapa tempat tujuan di luar lingkungan tempat tinggalnya yang didorong oleh beberapa keperluan atau motif tanpa bermaksud mencari nafkah tetap.
Oleh karena itu, masalah kebudayaan dan pariwisata menjadi sangat menarik, terutama dalam era globalisasi yang telah memasuki seluruh penjuru dunia dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan komunikasi. Bukan negara-negara yang berkembang dengan budaya etnisnya yang menonjol, tetapi juga negara-negara maju pun menghadapi tantangan-tantangan baru, meskipun integrasi nasional mereka sudah mantap.
Mereka mencari jalan keluar untuk mengatasi ekses-ekses negatifnya. Gobalisasi merupakan gejala yang tidak dapat dihindarkan, tetapi sekaligus juga membuka kesempatan yang luas. Gejala ini mulai menonjol sejak awal abad ke-20 dan mengakibatkan banyak hilangnya keaslian watak dan kemandirian budaya bangsa-bangsa. Globalisasi disebabkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang teknologi komunikasi yang membawa dunia saling berdekatan dan mudah berkomunikasi melalui berbagai media. Yang paling berpengaruh adalah perkembangan dari dunia pertelevisian.
Persoalan menyangkut kepariwisataan sampai kapanpun selalu menarik dibicarakan. Pariwisata hadir member ruang berpikir rileks dan menikmati potensi kebudayaan yang jarang kita eksplor. Kita sadari atau tidak dalam hidup ini pasti pernah menjadi turis atau paling tidak menjadi pelancong. Dengan demikian berarti kegiatan wisata bukan semata monopoli orang kaya apalagi orang kulit putih atau kulit kuning. Sementara masyarakat masih menganggap bahwa pariwisata adalah semata-mata bisnis atau urusan mereka yang berkecimpung pada bidang pariwisata seperti hotel, biri perjalanan, restaurant atau atraksi wisata. Mereka lupa dengan hadirnya pariwisata pembangunan menjadi semakin pesat mengingat pariwisata mendatangkan pemasukan cukup besar kepada daerah maupun negara. Mereka lupa bahwa pariwisata memungkinkan adanya pembukaan lapangan pejkerjaan baru dalam jumlah yang cukup besar.
Pariwisata kini menjelma industri kreatif dengan basis besar berupa eksplorasi kebudayaan local maupun nasional. Budaya lokal yang sudah melekat sejak dulu menjadi magnet tersendiri untuk selanjutnya dimaanfaatkan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan hidup masyarakat. Apa yang sudah menjadi eksistensi kebudayaan lokal melalui industri pariwsata sekarang merupakan bukti bahwa ekonomi kreatif sebagai salah satu alternatif meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hanya saja upaya-upaya tersebut sering terkendala dengan adanya perbedaan pandangan dan pola promosi budaya di antara beberapa pihak yang berwenang mengurusi hal tersebut. Pariwisata menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi bangsa diharapkan mampu mengedepankan sinergsitas perpektif terhadap orientasi promosi pariwisata kreatif yang berbasis budaya lokal. Ini menjadi strategi memajukan dan mempertahankan eksistensi budaya lokal di tengan arus budaya global.

B.  Kebudayaan dan Pariwisata
Kebudayaan merupakan keseluruhan pengetahuan manusia yang digunakan untuk memahami dan meginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta pedoman tingkah lakunya. Sebagai suatu kesatuan ide yang ada dalam pikiran manusia dan diselimuti oleh perasaan-perasaan dan emosi-emosi yang dijadikan sumber sistem penilaian terhadap sesuatu yang baik dan buruk, kebudayaan terdiri dari serangkaian konsep-konsep, model-model pengetahuan mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku, nilai-nilai dan norma-norma yang berisikan larangan-larangan untuk melakukan tindakan ketika menghadapi sesuatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam (Suparlan dalam Oka, 2006: 123).
Kebudayaan bagaikan rumah yang di dalamnya dihuni dengan berbagai pola pikir dan perspektif. Manusia sebagai organisator terciptanya kebudayaan mengolah nilai sehingga kenyamanan hidup lahir. Perjalanan hidup dan orientasi nilai peradaban yang panjang menjadi pandu berpikir manusia di jalur kebudayaan. Mengetengahkan persoalan kebudayaan tentu kita tidak bisa melepaskannya dari dunia pariwisata. Kebudayaan dan pariwisata bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa kita pisah-leraikan. Keduanya saling berkontribusi dan saling memberi keuntungan (simbiosis mutualisme).
Pariwisata merupakan fenomena sosial yang mempunyai pengertian luas tergantung dari tujuan pendekatan masing-masing. Pariwisata yang mengaitkan banyak sektor kegiatan, mendorong semua pihak khususnya pemerintah untuk menciptakan suatu kondisi yang mampu menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan kemampuan. Hal tersebut menjadi penting karena lingkungan pariwisata yang berbasiskan alam, budaya, dan warisan, secara alami mempunyai keterbatasan dalam mempertahankan kondisinya terhadap fenomena kehidupan yang terus berubah dan berkembang. Kemajuan teknologi, ilmu dan pengetahuan memicu perubahan perilaku manusia dalam upaya memenuhi kebutuhan dan keinginannya, termasuk kebutuhan untuk bersenang-senang dengan melakukan perjalanan, yang dalam berbagai kasus menjadi penyebab menurunnya kondisi kepariwisataan baik fisik, sosial, maupun budaya (Oka, 2006: 241).
Pariwisata, budaya, wisata budaya, dan pariwisata budaya dari sejumlah definisi “cultural tourism” atau pariwisata budaya atau “wisata budaya” yang ada, tidaklah terlalu mudah untuk menentukan definisi mana yang paling tepat untuk digunakan terutama bila dikaitkan dengan kepariwisataan Indonesia. Sebelum menilik pada keterkaitan antara kata “pariwisata” dan “budaya“, ada baiknya kita telah terlebih dahulu masing-masing kata tersebut.
Kata pariwisata atau dalam bahasa Inggris diistilahkan dengan tourism sering sekali diasosiasikan sebagai rangkaian perjalanan (wisata, tours/traveling) seseorang atau sekelompok orang (wisatawan, tourist/s) ke suatu tempat untuk berlibur, menikmati keindahan alam dan budaya (sightseeing), bisnis, mengunjungi kawan atau kerabat dan berbagai tujuan lainnya. Organisasi Pariwisata Sedunia, World Tourism Organization (WTO), mendefinisikan pariwisata (tourism) sebagai  ”activities of person traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes”.
1.    Kebudayaan: keseluruhan yg kompleks, yang didalamya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, keseniaan, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan yang lain, serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. (E.B. Taylor.
2.     Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan  wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha yang terkait dibidang tersebut. (UU RI No. 09 Tahun 1990)
Kata kebudayaan dapat dipahami dalam tiga aspek, yaitu aspek material, perilaku dan ide. Dalam bentuk material mencakup antara lain, peralatan hidup, arsitektur, pakaian, makanan olahan, hasil-hasil teknologi dan lain-lain. Dalam wujud perilaku mencakup kegiatan ritual perkawinan, upacara-upacara keagamaan atau kematian, seni pertunjukan, keterampilan membuat barang-barang kerajinan dan lain-lain. Dalam wujud ide mencakup antara lain sistem keyakinan, pengetahuan, nilai-nilai dan norma-norma.
Salah satu sumber dari sejumlah tulisan mengenai pariwisata budaya menyebutkan bahwa pada akhir tahun 1970-an, ketika para pakar pemasaran dan peneliti kepariwisataan mendapati adanya orang atau sekelompok orang yang melakukan perjalananan semata-mata hanya untuk pemahaman mendalam terhadap obyek atau peristiwa budaya (ODTW) di suatu tempat tertentu, barulah dikenali adanya pariwisata budaya yang secara jelas dapat dikategorikan sebagai salah satu produk kepariwisataan (Tighe, 1986 dalam McKercher, 2002).

C.  Perspektif Pariwisata dan Budaya Lokal
Perpindahan orang untuk sementara ke suatu tujuan di luar tempat tinggal maupun tempat kerjanya yang biasa, serta aktivitas yang dilakukannya selama tinggal di tempat tujuan tersebut dan kemudahan-kemudahan yang disediakan untuk memenuhi kebutuhannya adalah bagian dari pariwisata (Oka, 2006:12).
Definisi yang luas pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu. Suatu perjalanan dianggap sebagai perjalanan wisata bila memenuhi tiga persyaratan yang diperlukan, yaitu:
a.    Harus bersifat sementara
b.    Harus bersifat sukarela (voluntary) dalam arti tidak terjadi karena dipaksa.
c.    Tidak bekerja yang sifatnya menghasilkan upah ataupun bayaran.
Dalam kesimpulannya pariwisata adalah keseluruhan fenomena (gejala) dan hubungan-hubungan yang ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia di luar tempat tinggalnya. Dengan maksud bukan untuk tinggal menetap dan tidak berkaitan dengan pekerjaan-pekerjaan yang menghasilkan upah. 
Dalam wacana kebudayaan dan sosial, sulit untuk mendefinisikan dan memberikan batasan terhadap budaya lokal atau kearifan lokal, mengingat ini akan terkait teks dan konteks, namun secara etimologi dan keilmuan, tampaknya para pakar sudah berupaya merumuskan sebuah definisi terhadap local culture atau local wisdom ini.
Dilihat dari stuktur dan tingkatannya budaya lokal berada pada tingat culture. Hal ini berdasarkan sebuah skema sosial budaya yang ada di Indonesia dimana terdiri atas masyarakat yang bersifat manajemuk dalam stuktur sosial, budaya (multikultural) maupun ekonomi.
Jacobus Ranjabar mengatakan bahwa dilihat dari sifat majemuk masyarakat Indonesia, maka harus diterima bahwa adanya tiga golongan kebudayaan yang masing-masing mempunyai coraknya sendiri, ketiga golongan tersebut adalah sebagai berikut:
1.    Kebudayaan suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama kebudayaan daerah)
2.    Kebudayaan umum lokal
3.    Kebudayaan nasional
Dalam penjelasannya, kebudayaan suku bangsa adalah sama dengan budaya lokal atau budaya daerah. Sedangkan kebudayaan umum lokal adalah tergantung pada aspek ruang, biasanya ini bisa dianalisis pada ruang perkotaan dimana hadir berbagai budaya lokal atau daerah yang dibawa oleh setiap pendatang, namun ada budaya dominan yang berkembang yaitu misalnya budaya lokal yang ada dikota atau tempat tersebut. Sedangkan kebudayaan nasional adalah akumulasi dari budaya-budaya daerah.
Definisi Jakobus itu seirama dengan pandangan Koentjaraningrat (2000). Koentjaraningrat memandang budaya lokal terkait dengan istilah suku bangsa, dimana menurutnya, suku bangsa sendiri adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan ’kesatuan kebudayaan’. Dalam hal ini unsur bahasa adalah ciri khasnya.
Pandangan yang menyatakan bahwa budaya lokal adalah merupakan bagian dari sebuah skema dari tingkatan budaya (hierakis bukan berdasarkan baik dan buruk), dikemukakan oleh antropolog terkemuka di Indonesia yang beretnis Sunda, Judistira K. Garna. Menurut Judistira (2008:141), kebudayaan lokal adalah melengkapi kebudayaan regional, dan kebudayaan regional adalah bagian-bagian yang hakiki dalam bentukan kebudayaan nasional.
Selain sisi positif pariwisata, juga terdapat kegiatan pariwisata yang membawa dampak negatif pada lingkungan alam maupun sosial budaya. Akan tetapi, dalam setiap kegiatan pariwisata yang terkonsep baik dan tertata rapi, dampak “menjual” lebih dirasakan dan dapat dikontrol dan diminimalisasi. Konkritnya, pariwisata tidak pernah menjual aset kebudayaan tetapi menjual keindahan dan panorama ragam budaya yang ada.



D.  Pandangan Negatif Pariwisata dalam Perspektif Budaya Lokal
Dalam dunia kepariwisataan, kesan-kesan negatif selalu menjadi hal yang paling krusial dalam permasalahan pengembangan potensi pariwisata budaya. Gejala yang pertama kali timbul dalam perspektif budaya (budaya lokal) adalah tentang pengeksploitasian dan komersialisasi nilai-nilai budaya demi mengeruk keuntungan yang besar di sektor pariwisata. Ketakutan-ketakutan ini menjadi upaya dan segmen-segmen perspektif miring dari kelompok-kelompok masyarakat budaya. Apa yang menjadi kekhawatiran kelompok-kelompok masyarakat tersebut tak lebih dari upaya pemertahanan warisan budaya yang sudah ada sejak peradaban manusia dimulai oleh orang-orang sebelum mereka.
Spillane dalam konsep pemikirannya yang terangkum dalam pendekatan Cautionary menganggap bahwa aktivitas pariwisata meyebabkan berbagai macam konflik. Pandangan tersebut tidak dapat disalahkan karena pada dasarnya budaya dan pariwisata itu sendiri dianggap sebagai dua aktivitas yang penuh dengan konflik, di satu sisi karena adanya kepercayaan bahwa budaya bersifat tradisional, sedangkan di sisi lain, pariwisata relatif dianggap lebih modern dan dinamis (Manuaba dalam Oka, 2006: 114).
Ketakutan-ketakutan tersebut cukup berasalasan, masyarakat lokal yang peduli dan menghargai kelestarian budaya lokal berpandangan bahwa domain pariwisata dapat menyebabkan terkontaminasinya hasil kebudayaan dan nilai-nilai budaya asli mereka. Adanya pengaruh budaya asing sebagai konsekuensi masuk dan seiring berproses masuknya budaya asing yang dibawa oleh para wisatawan mengakibatkan kecilnya ruang berpikir masyarakat yang menganut budaya lokal.
Perspektif negatif masyarakat ini harus diubah. Masyarakat lokal yang bertahan dengan budaya lokal harus dipahamkan dengan cara-cara persuasif sesuai keinginan bangsa ini untuk memajukan kesejahteraan masyarakat. Perlu disadari bahwa pariwisata merupakan suatu fenomena kompleks yang multidimensional, multi-approach, dan multidisipliner. Kita tidak boleh menutup ruang untuk masuk dan berkembangnya budaya lain mengingat kehidupan yang terus memicu modernitas masuk di budaya lokal harus disikapi dengan perspektif-perspektif positif dikalangan masyarakat untuk mengeksplorasi kekayaan budaya lokan dalam satu media promosi dan pengembangan pariwisata budaya lokal.



E.  Pariwisata Kreatif Berbasis Budaya Lokal
Masyarakat kreatif dalam dunia pariwisata harus berbasis budaya lokal. Workshop dan kolaborasi seni menjadi bagian penting dari proses ini sehingga komunitas pun akan tetap hidup walaupun wisatawan pada saatnya meninggalkan tujuan wisatanya.
Keuntungan pola ini adalah kreativitas masyarakat terus berkembang, sekaligus menghidupkan ekonomi rakyat setempat. Hal utama yakni pariwisata daerah akan selalu hidup karena mereka didukung oleh para creativepreneur lokal –masyarakat lokal yang kreatif dan memiliki semangat entrepreneurship tinggi.
Saat ini terjadi perubahan paradigma pembangunan ekonomi dari basis pertanian, industri, teknologi dan sekarang kreativitas. Perubahan paradigma pembangunan ekonomi ini telah mempengaruhi berbagai industri terkait dengan kreativitas termasuk pariwisata. Ini sebuah orientasi perspektif dalam satu konsep dan keinginan memajuka daerah secara khusus dan bangsa secara umum berdasarkan potensi pariwisata yang ada dengan fokus pada budaya lokal.
Berbagai studi mencoba menjelaskan bahwa wisatawan saat ini mengubah pola perjalanan wisatanya dari buying product menjadi buying experience. Dari mass tourism menjadi responsible tourism. Ketika semula wisatawan cukup senang berkunjung beramai-ramai ke suatu tempat hanya untuk sekedar berfoto, mereka kemudian mengubah tujuannya untuk mencoba memahami budaya setempat. Kunjungan wisata budaya, dengan melihat (dan mempelajari) museum, galeri seni, dan sebagainya menjadi trend baru saat itu. Menjadi berkulit gelap akibat mandi matahari tidak lagi menjadi trend, namun memahami budaya setempat (budaya lokal) menjadi suatu kebanggaan bagi para wisatawan itu sendiri.
Trend selanjutnya berkembang lagi. Saat ini wisatawan tidak cukup puas hanya sekedar memahami, tetapi mereka mencoba untuk lebih dalam mempelajari budaya setempat dan mengembangkannya. Wisatawan kemudian menjadi bagian dari manusia kreatif yang dapat berkolaborasi dengan budaya setempat. Mereka kemudian menjadi prosumen (produsen sekaligus konsumen), dan mereka tidak lagi hanya pasif melihat budaya lokal. Ini yang disebut wisata kreatif –knowledge kemudian menjadi lebih penting dari hanya sekedar experience.
Aspek budaya lokal sebagai sarana pariwisata merupakan sebuah objek garapan baru di dunia kepariwisataan. Sebuah objek yang dapat dijadikan proyeksi pariwisata tentu memenuhi kualitas sebagai sebuah objek baru wisatawan. Suatu obyek pariwisata harus memenuhi tiga kriteria agar obyek tersebut diminati pengunjung, yaitu:
1.        Something to see adalah obyek wisata tersebut harus mempunyai sesuatu yang bisa di lihat atau di jadikan tontonan oleh pengunjung wisata. Dengan kata lain obyek tersebut harus mempunyai daya tarik khusus yang mampu untuk menyedot minat dari wisatawan untuk berkunjung di obyek tersebut.
2.        Something to do adalah agar wisatawan yang melakukan pariwisata di sana bisa melakukan sesuatu yang berguna untuk memberikan perasaan senang, bahagia, relax berupa fasilitas rekreasi baik itu arena bermain ataupun tempat makan, terutama makanan khas dari tempat tersebut sehingga mampu membuat wisatawan lebih betah untuk tinggal di sana.
3.        Something to buy adalah fasilitas untuk wisatawan berbelanja yang pada umumnya adalah ciri khas atau icon dari daerah tersebut, sehingga bisa dijadikan sebagai oleh-oleh.
Dalam pengembangan pariwisata perlu ditingkatkan langkah-langkah yang terarah dan terpadu terutama mengenai pendidikan tenaga-tenaga kerja dan perencanaan pengembangan fisik. Kedua hal tersebut hendaknya saling terkait mengingat potensi masyarakat lokal dalam pengembangan budaya lokal masih sangat minim sehingga pengembangan tersebut menjadi realistis dan proporsional. Agar suatu obyek wisata dapat dijadikan sebagai salah satu obyek wisata yang menarik, maka faktor yang sangat menunjang adalah kelengkapan dari sarana dan prasarana obyek wisata tersebut. Karena sarana dan prasarana juga sangat diperlukan untuk mendukung dari pengembangan obyek wisata. Sinergisitas pengembangan budaya lokal bersama sebagai langkag efektif membangun kesejahteraan masyarakat melalui potensi pariwisata sangat dibutuhkan.
Perkembangan wisata kreatif ini dari sisi lain yang lebih dalam sangat memberi ruang bagi masyarakat untuk berpikir kreatif. Maka promosi wisata berbasis budaya lokal sangat dibutuhkan dengan sinergisitas persepsi di antara sesama pemerhati  budaya dan pariwisata serta masyarakat. Beberapa contoh di negara lain menunjukkan bahwa manusia kreatif yang datang dari negara lain mengembangkan seninya di negara tujuan kunjungan. Mereka berkreasi dan menghasilkan kunjungan wisatawan, dan penduduk lokal memanfaatkan kehadiran wisatawan dengan (hanya sekedar) menyediakan sarana akomodasi, makan minum dan sebagainya. Namun ketika para manusia kreatif ini meninggalkan negara tujuan kunjungan, masyarakat setempat akan kehilangan segalanya kecuali sarana pendukung yang mereka sediakan. Promosi wisatalah yang akan menentukan kualitas kunjungan wisatawan kelak. Budaya lokal sangat berpotensi untuk penggarapan lahan tersebut.
F.   Penutup
Kebudayaan dan pariwisata seperti sebuah lensa dimana seperti halnya saat kita menggunakan lensa, untuk meneropong sesuatu kita harus memilih suatu objek tertentu yang akan dilihat secara fokus. Demi mensinergikan pengembangan kebudayaan dan pariwisata budaya lokal maka langkah promosi wisata dengan basis budaya lokal menjadi hal positif dan menarik. Budaya lokal dapat dieksplorasi sebagai asset kebudayaan dalam dunia kepariwisataan, maka pembinaan kebudayaan lokal harus dilakukan secara terus menerus. Hal utama tentu menghindari terjadinya diskriminasi peran dalam masyarakat yang mempertahankan budaya lokal itu sendiri karena hal ini akan dapat membawa akibat buruk, misalnya terjadi erosi kebudayaan yang dipaksa oleh kemiskinan penduduknya.
Tiap-tiap program pembangunan hendaknya selalu berkaitan dengan potensi dasar yang dimiliki oleh masyarakat lokal dan mengembangkan dinamika masyarakat lokal sangat efektif bila dilakukan melalui lembaga-lembaga tradisional, sehingga mereka mampu dengan cepat menyesuaikan nilai-nilai baru yang hendak dikembangkan dalam menyongsong promosi besar dalam pembangunan dan pengembangan pariwisata kreatif berbasis budaya lokal.



Daftar Pustaka
Ahira, Anne. 2012. “Pengertian Budaya Lokal-Budaya Lokal yang Patut Dipertahankan” dalam www.anneahira.com, diakses tanggal 20 April 2012.

Lembura, H.J. 2008. Mengenal Terminologi Budaya dan Pariwisata. Disbudpar Maluku Tenggara Barat.

Oka A. Yoeti, Haji. 2006. Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya. Jakarta: Pradnya Paramita.




[1] Makalah Disajikan pada Mata Kuliah Tradisi Lisan Nusantara
[2] Mahasiswa Program Studi Kajian Budaya Pascasarjana Universitas Haluoleo

ANALISIS PUISI BUTON 1969 KARYA IRIANTO IBRAHIM: Suatu Interpretasi Semiotik Riffaterre



 Pendahuluan
Sastra memberikan pengertian yang dalam tentang manusia dan memberikan ruang interpretasi terhadap peristiwa-peristiwa dalam kehidupan (Jabrohim, 2010). Ruang interpretasi itu selanjutnya terintegrasi dalam karya sastra sebagai produk sastra dan budaya. Karya sastra memiliki peran yang penting dalam masyarakat karena karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kondisi sosial masyarakat yang tejadi di dunia realitas sehingga karya itu menggugah perasaan orang untuk berpikir tentang kehidupan. Masalah sosial dan kejadian yang dialami, dirasakan, dan dilihat oleh pengarang melahirkan ide atau gagasan yang dituangkan dalam karyanya.
Karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Sebuah karya sastra akan saling mempengaruhi secara timbal balik dan rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural yang ada. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit dan membawa pengaruhnya sendiri. Puisi sebagai sebuah karya sastra merupakan hasil cipta dan penggalian ide secara imajinatif manusia yang bertolak dari kehidupan manusia. Puisi merupakan genre sastra yang menyajikan kehidupan manusia secara figuratif, ringkas, ekspresif, dan imajiner dibandingkan dengan cerpen atau novel yang cenderung naratif. Beban puisi tidak ringan. Puisi menyelinap di antara sekian banyak kepentingan, sekaligus terbebas dari sekian banyak kegiatan penyingkiran. Sikap dalam puisi dipengaruhi oleh unsur terpentingnya, yaitu penyair yang mengurai ideologi, sikap, dan isu di dalamnya. Dengan demikian, kehadiran sebuah karya sastra puisi tidak lepas dari unsur subjektivitas penyair.
Peran penyair mengorganisasikan ide dalam puisi sangat vital dan menentukan nilai makna karya sastra puisi tersebut, terlepas dari kemampuan pembaca menginterpretasinya. Penyair adalah sebatang pohon yang mengenyangkan perut yang kosong kelaparan. Analogi sederhana ini mengandung muatan energi yang tidak akan mencapai limit tertentu, meski puisi mencapai limit interpretasi (batas interpretasi/pemaknaan).
Dalam tradisi kepenyairan Indonesia, dominasi penyair Jawa sangat kental. Hal itu tergambar dari banyaknya karya-karya berupa puisi yang dibukukan dan diterbitkan, baik pada skala kecil maupun skala besar. Secara tidak langsung, kondisi tersebut berimplikasi pada menurunnya image penyair lokal untuk standing up dan menunjukan kompetensi berkaryanya di level nasional. Namun, kemunduran tersebut perlahan tereduksi dalam proses nyata yang ditunjukan beberapa penyair lokal akhir-akhir ini. Pergeseran keadaan ini membawa atmosfir baru untuk peta perkembangan sastra nasional, khususnya pada level lokal.
Penyair lokal mulai gigih menunjukan proses kreatif dalam bidang penulisan, salah satunya adalah menulis puisi yang juga menjadi bagian penting dalam memperkaya khazanah sastra di Indonesia. Dalam memotret kemajuan tersebut, menarik untuk menempatkan Irianto Ibrahim sebagai sosok penyair lokal yang menjadi salah satu perintis jalan dalam tradisi berpuisi dan menjejakkan kaki di level nasional. Kepenyairan Irianto Ibrahim sudah di mulai sejak sepuluh tahun silam, terbukti dari partisipasinya dalam banyak kegiatan kesastraan yang mengkhusus pada genre karya sastra puisi.
Irianto Ibrahim lahir di Gu-Buton, Sulawesi Tenggara pada  21 Oktober 1978. Irianto telah menunjukan eksistensi berkaryanya dalam hal menulis puisi. Tercatat beberapa karyanya menjadi populer di banyak media sastra lokal dan nasional, misalnya beberapa sajaknya yang dimuat di Horison, Bali Post, Kendari Pos, Kendari Ekspres, Radar Tasikmalaya, dan jurnal puisi rumahlebah ruangpuisi. Karyanya yang lain terkumpul dalam antologi bersama Malam Bulan Puisi (Teater Sendiri), Jejak Sunyi Tsunami (Kantor Bahasa Medan-Pusat Bahasa Jakarta), Wajah Deportan (Komunitas Teras Puitika dan AUK, 2009), Pedas Lada Pasir Kuarsa (Antologi Temus Sastrawan Indonesia II Bangka Belitung, 2009), rumahlebah ruangpuisi#02 (Yogyakarta, 2009). Irianto juga tercatat sebagai peserta Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) 2007 di bidang penulisan puisi. Puncak pencapaian terbaiknya adalah berhasil membukukan puisi-puisinya secara tunggal dan pertama kali di Sulawesi Tenggara, yaitu Buton, Ibu dan Sekantong Luka yang diterbitkan oleh Framepublishing Yogyakarta tahun 2010. Selanjutnya, buku itulah yang dirasa penting oleh peneliti untuk mengurai lebih jauh tentang urgensi nilai dan makna terhadap sebuah karya sastra (baca: puisi). Intensitas  masalah sosial dan sejarah yang dilihat oleh peneliti dalam sajak-sajak tersebut akan memberi ruang interpretasi seluas-luasnya bagi pembaca mapun peneliti. Hal yang progres jika menarik  genre sastra puisi bertema sosio-lokal-historis pada level masyarakat, terlebih hal itu dibenturkan dengan keseluruhan struktur sosial yang mapan dalam masyarakat. Corak interaksi sastra khususnya puisi tersebut akan mengalami benturan, yakni perubahan-perubahan pada struktur sosial dan berakibat pada perubahan kaidah atau regulasi yang sifatnya konvesional dalam kesusastraan.
Puisi karya Irianto Ibrahim dikenal romantis, realis, metaforis, dan imajiner. Ada juga yang mengatakannya subjektif atas dasar pembacaan dan pemaknaan secara personal pula. Bahasa sebagai medium vital penyampaian pesan melalui puisi-puisinya dirasakan sampai kepada pembaca oleh peneliti. Selain itu, hal lain yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah konstruksi diksi yang digunakan Irianto dan penataannya mewakilkan makna secara optimal, misalnya sajaknya yang figuratif dengan mengeksplor visual (gambar) ke dalam sajaknya atau sebaliknya.
Buton 1969 adalah sajak pembuka antologi Buton, Ibu dan Sekantong Luka. Sebuah sajak yang bernafas berat, sentimentil, duka di dalamnya mampu menggeser sajak-sajak lainnya (Mubarok, 2010). Salah satu kutipan kuat di bagian penutup sajak ini yaitu “kau khusuk menulis nestapa, darah lebih kental dari luka, lebih sakit dari kenangan”. Sajak ini mencoba memotret pedihnya tragedi Buton. Berikut kutipan penegasan dari pengantar penerbit yang menguatkan kedahsyatan makna sajak ini, “Seolah narasi tidak sanggup menyampaikan derita dan teraniaya korban–termasuk kematian Muh. Kasim dan banyak korban lain di luar batas kemanusiaan–sehingga puisi dianggap menyampaikan kesaksian”. Kutipan ini tegas dan sarat makna. Sajak Buton 1969 berangkat dari sebuah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di Buton.
Tahun 1969, Buton dituduh sebagai basis PKI hanya karena sebuah informasi bahwa Buton menjadi tempat penyelundupan senjata dari Cina. Bupati Buton, Muh. Kasim beserta lebih kurang 40 orang aparat pemerintah Buton dan anggota ABRI asal Buton ditangkap tanpa surat perintah. Rumah-rumah penduduk digeledah dan banyak harta mereka dirampas. Buton banjir darah 4 tahun setelah G30S PKI. Padahal setelah dilakukan penyelidikan ternyata di Buton tidak ditemukan senjata dan tidak ditemukan ada operasi pemasokan senjata dari Cina. Yusran Darmawan dalam bukunya Menyibak Kabut di Keraton Buton (Respect, 2008) juga menegaskan bahwa isu Buton sebagai basis PKI direspon oleh pihak militer yang langsung melakukan penangkapan pada ratusan orang Buton. Selain itu juga, Saleh Hanan, penulis buku Catatan Jurnalis Operasi Militer 1969: ‘Buton Basis PKI’ (2000) mengungkapkan bahwa isu tersebut digulirkan untuk melemahkan dan sekaligus mematikan putra-putra terbaik Buton. Sajak ini sungguh mengurai tragedi dan sejarah yang kelam di Buton tahun 1969.
Restrukturisasi kehidupan sosial yang sesungguhnya akan banyak kita dapatkan dalam lima sajak tersebut. Realitas sosial dan sejarah dalam masyarakat berpengaruh kuat dalam teks puisi. Hal seperti ini bukan kesengajaan penciptaan karena puisi adalah gerak imajinasi penyair, tetapi seorang penyair kadang lebih peka dan responsif dengan masyarakat dan dalam konten semacam itu. Munculnya aliran-aliran dalam puisi, atau karya sastra membuktikan kepekaan pengarang dalam menyelami realitas.
Memahami karya sastra menurut Paul Ricoeur melalui pandangan filsafat bahasa adalah memahami teks sastra sebagai bentuk fenomena di dalam karya sastra tersebut yang secara otonom melalui bahasa yang di dalamnya juga menggunakan metafor-metafor. Selanjutnya Ricoeur menekankan bahwa filsafat pada hakikatnya adalah hermeneutika yang merupakan objek kajian terhadap teks dan lebih menekankan pada kupasan makna tersembunyi.
Dalam sebuah proses pemaknaan, yang paling penting adalah prosuksi makna yang dihasilkan dari interaksi antara pembaca dengan teks (baca: sajak). Hal ini mengandung konsep pemikiran bahwa suatu pemaknaan akan lebih utuh jika seorang pembaca mampu menyelami dunia realitas atau konteks riil dalam deret teks-teks yang dibaca. Dengan demikian, pembaca adalah orang yang betugas untuk memberi makna sebuah karya sastra. Khusus pemaknaan karya sastra puisi, proses pemaknaan dimulai dengan pembacaan heuristik, yaitu menemukan makna teks berdasarkan fungsi bahasa sebagai komunikasi dunia luar (fungsi mimetik). Selanjutnya meningkat pada pembacaan hermeneutik, yaitu pemaknaan yang merunut arti sebuah tanda atau kode sebuah karya sastra. Hal yang berhubungan dengan tanda dikonsepkan dalam istilah semiotik, selanjutnya peneliti mengembangkan teori ini untuk memaknai karya sastra puisi dengan konsep pemikiran Riffaterre.
Riffaterre lebih jauh menjelaskan bahwa untuk memperoleh makna yang utuh terhadap sebuah puisi, maka pembaca harus menentukan matriks dan model yang terdapat dalam karya itu. Selanjutnya pembaca melihat hubungan atau keterkaitan sebuah karya dengan teks lain (intertekstual). Dari keempat konsep pemaknaan yang diungkapkan dalam metode semiotik Riffaterre ini, peneliti merasa tepat untuk menerapkannya, namun hanya pada tiga konsep (heuristik, hermeneutik, dan matrik dan model) pada pamaknaan lima sajak dalam kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim yang akan dilakukan dalam penelitian ini. Langkah-langkah pemaknaan terhadap puisi yang dikemukakan oleh Riffateree memberi ruang untuk memberikan pemaknaan terhadap lima sajak dalam kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim secara total dan optimal sebagaimana dikonsepkan dalam kajian hermeneutik Paul Ricoeur.

Puisi Buton 1969 dalam Kajian Semiotik Riffaterre

Sajak Buton 1969
begitu tahun-tahun menjadi sepi
dan malam bergegas menyibak riak waktu
kau tak usah mendesak laut menyurut
atau pohon-pohon mengemis angin
karena darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

mungkin kau butuh semacam nestapa
atau ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil bersiul menanti pisau waktu
yang berjubah hitam, persis nenek sihir

bukan tawar-menawar yang kau tunggu
karena gagak tak pernah lupa alamat malam
dari matanya yang menikam kelam
meski berkali-kali kau menyebut ingin
ia tak hinggap di sana
tidak di deretan kata yang memuat namamu

pulanglah, kembali ke bilik langit
sambil bersiul sepanjang luka
sepanjang kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun cerita
seperti ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah

adalah peta yang sama kau jejaki
dari ujung nadi terjauh
tempat anjing-anjing kurus
dengan liur yang tak pernah kering
mendesakmu dengan seribu tuduhan
semacam goa yang ditolak para pertapa
kau khusuk menulis nestapa
darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

1)   Pembacaan Heuristik
Puisi Buton 1969 merupakan puisi berlatar sosial-lokal-historis yang menjadi pusi pembuka dalam kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim. Konstruksi larik-lariknya begitu apik dan sarat makna. Berikut uraian pembacaan secara heuristik per baitnya.


Bait pertama:
begitu tahun-tahun menjadi sepi
dan malam bergegas menyibak riak waktu
kau tak usah mendesak laut  menyurut
atau pohon-pohon  mengemis angin
karena darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

Puisi di atas menyimpan segenap cerita kelam dalam kurun waktu yang cukup lama. Larik pertama sangat jelas mengarahkan pada pemaknaannya, yaitu /begitu tahun-tahun menjadi sepi/ artinya waktu yang terlupakan, bertahun-tahun meninggalkan sesuatu. Selanjutnya diperkuat kembali pada larik kedua, /dan malam bergegas menyibak riak waktu/ berarti malam menjadi penuntas serumpun keadaan dan bermusim waktu. Di larik selanjutnya, /kau tak usah mendesak laut menyurut/, kau dalam potongan larik tersebut berarti kata ganti orang pertama jamak dan menunjukan relasi dialogis antara penyair dengan orang yang disamarkan penyair. Selain itu, kelas kata kau sebagai nomina melahirkan interpretasi lain atas kata ini dan dapat dimaknai sebagai objek selain orang yang digambarkan penyair.
Larik berikutnya /atau pohon-pohon mengemis angin/, konsep gaya bahasa personifikasi yang mendukung keutuhan makna dalam satu bait pada konstruksi sajak tersebut. Pohon yang berarti tumbuhan yang identik dengan batang, cabang, dan berdaun jika dihubungkan dengan kata mengemis angin, maka hal ini merupakan sebuah hal yang tidak biasa. Lazimnya angin senantiasa bersahabat dengan pohon, tetapi jika keadaan ini berbalik maka menimbulkan tanda tanya. Pohon yang mengemis angin lebih menyimbolkan sebuah kehampaan, kenestapaan, dan sebentuk keranggasan dalam sebuah kehidupan. Dua larik terakhir, /karena darah lebih kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/ merupakan satu gabungan sekaligus penggambaran yang memperkuat segala bentuk kehampaan sebagaimana pembacaan di larik-larik awal puisi tersebut. Darah yang berarti sel-sel merah atau putih yang mengalir dalam pembuluh darah manusia secara leksikal dan luka merujuk pada makna kamus lebih dimaknai dengan cedera yang diakibatkan oleh sesuatu yang tajam. Darah dan luka adalah dua hal yang menunjukan hubungan kausatif (sebab akibat). Sedangkan sakit dan kenangan menjadi berhubungan jika salah satu termarginalkan, artinya ada penyebab yang mengakibatkan keduanya menjadi saling berhubungan.


Bait kedua:
mungkin kau butuh  semacam nestapa
atau ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil bersiul  menanti pisau waktu
yang berjubah hitam, persis nenek sihir

Larik pertama pada bait kedua ini menyimpan ‘sesayat’ cerita miris dan duka yang mendalam. /Mungkin butuh semacam nestapa/ berarti membutuhkan suatu kesedihan atau kegundahan yang selanjutnya pada larik kedua /atau ruang khusus penampung berkarung sesal/ menambah dramatisasi cerita penyesalan. /Ruang khusus dan penampung berkarung sesal/ dapat diartikan sebagai tempat untuk menumpahkan segala kenangan buruk. Namun, larik ketiga dan keempat sedikit kontras karena suasana menjadi paradoksal meski akhirnya juga berlabuh pada kekelabuan. /Sambil bersiul menanti pisau waktu/ yang berjubah hitam, persis nenek sihir/, bersiul lebih menandakan suasana senang, tetapi jubah hitam dan nenek sihir adalah dua hal yang berhubungan dengan misteri dan kelam. Latar keadaan yang kelabu secara komprehensif utuh dalam sajak ini.
Bait ketiga:
bukan tawar-menawar yang kau tunggu
karena gagak tak pernah lupa alamat malam
dari matanya yang menikam kelam
meski berkali-kali kau menyebut ingin
ia tak  hinggap di sana
tidak di deretan kata yang memuat namamu

Pada larik pertama di bait ketiga ini /bukan tawar menawar yang kau tunggu/ arti leksikal yang diperoleh lebih mengarah pada esensi dari saling membutuhkan. Layaknya dalam sebuah tradisi jual beli maka istilah lazim yang digunakan adalah tawar-menawar sebagai upaya untuk mendapatkan persetujuan pembelian barang. Konsekuensi logisnya adalah ditemukannya keputusan oleh kedua pihak. Kata tawar-menawar merupakan bentuk reduplikasi sebagian yang berarti saling yang merujuk pada melakukan perbuatan (melakukan kegiatan tawar menawar atau negosiasi).
/Karena gagak tak pernah lupa alamat malam/, gagak merupakan burung pemakan daging dengan ciri berbulu hitam sedangkan alamat malam diartikan untuk menyebut sebuah tempat. Dua objek ini memiliki substansi masing-masing, tetapi menjadi sesuatu yang lain jika keduanya saling berhubungan. Lazimnya gagak pada siang hari, jika pada malam hari maka ia melahirkan cerita mistik dan berbagai tafsir takhayul dalam kehidupan masyarakat tradisional. Jika keduanya menyatu dalam larik kedua tersebut, makna yang jelas adalah simbolitas tentang kematian. Larik /dari matanya yang menikam kelam/ merupakan lanjutan dari larik kedua yang mempertegas gagak dengan identitas nestapa, duka, dan kekelaman.
   Meski berkali-kali kau menyebut ingin, artinya intensitas atau  berulang dan frekuensi keinginan kau (baca: Buton). /Ia tak hinggap di sana/, masih berhubungan dengan jejak gagak yang juga tak ada dalam sebuah rasa ingin. Kemudian larik terakhir /tidak di deretan kata yang memuat namamu/, berarti kehampaan atau kekosongan. /Deretan kata/ merupakan himpunan huruf yang terbentuk menjadi konstruksi bahasa (tataran kata), selanjutnya nama sering menjadi aplikasi dari himpunan huruf atau kata tersebut.
Bait keempat:
pulanglah, kembali ke bilik langit
sambil bersiul sepanjang luka
sepanjang kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun  cerita
seperti ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah

Larik pertama /pulanglah, kembali kau ke bilik langit/. Kata pulanglah berarti ajakan untuk kembali ke tempat asal. Selanjutnya kembali ke bilik langit artinya awal di mana sesuatu yang disebut penyairnya sebagai tempat asal kau (Buton). Langit merupakan ruang luas yang terbentang di atas permukaan bumi dan menjadi batas pandangan manusi karena langit pun tak pernah diakui sebagai sebuah tempat yang pasti dan berbatas. Sehingga memaknai bilik langit berarti sesuatu yang berhubungan dengan ruang yang khusus yang dijadikan untuk tempat.
Sambil bersiul sepanjang luka. Bersiul artinya mengeluarkan bunyi melalui mulut dan biasanya berirama yang identik dengan keadaan senang atau sedang dalam kebahagiaan dan luka berarti sesuatu yang diakibatkan karena cedera dan menimbulkan rasa sakit. Larik ini menandakan sebuah hal yang kontras, yaitu keadaan senang namun di sisi lain sedang dalam rasa sakit.
/Sepanjang kenangan yang menghanguskan/. Kenangan adalah sesuatu yang membekas, dapat berupa cerita atau pun keadaan. Hangus berarti terbakar sampai menjadi abu, habis sama sekali karena terbakar, ditambah dengan imbuhan me(N)-kan menjadi menghanguskan artinya membakar sampai menjadi abu. Dengan demikian, larik /sepanjang kenangan yang menghanguskan/ berarti sebuah kenangan yang terbakar, yang hanya menyisakan sesal disebabkan oleh unsur kesengajaan. Selanjutnya larik keempat yang menjadi bagian tak terpisahkan dari larik ketiga, yaitu tahun-tahun cerita berarti waktu yang cukup lama, penuh dan terisi dengan banyak cerita.
/Seperti ketika kau melewati tanah perbatasan/. Pada larik ini terdapat konjungsi ketika yang menandakan adanya hubungan waktu. Subjek kau masih menjadi objek pembicaraan penyair yang oleh penulis memaknainya sebagai sebutan untuk nomina “Buton”. Tanah perbatasan berarti daerah yang menjadi batas dua wilayah. Daerah perbatasan merupakan daerah yang rawan konflik dan sarat akan ragam masalah, bahkan sering menimbulkan perpecahan. Melewati tanah perbatasan berarti siap melalui area penuh masalah. Konflik sewaktu-waktu dapat menjadi ancaman di daerah perbatasan.
/Tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah/. Larik terakhir pada bait keempat ini masih berhubungan dengan larik sebelumnya. Tanah yang dijaga para tentara masih berhubungan dengan tanah atau daerah perbatasan. Kata tentara berarti prajurit atau militer dan identitas ‘orang kuat dan tangguh’ sangat dilekatkan pada mereka (baca: tentara). Sehingga lanjutan penyifatan untuk tentara dengan sifat marah lebih mengidentikkan peringai mereka yang tak suka ‘main-main’.
Bait kelima:
adalah peta yang sama kau jejaki
dari ujung nadi  terjauh
tempat anjing-anjing kurus
dengan liur yang tak pernah kering
mendesakmu dengan seribu tuduhan
semacam goa yang ditolak  para pertapa
kau khusuk menulis  nestapa
darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

/Adalah peta yang sama kau jejaki/. Peta artinya gambar yang menunjukan letak tanah, laut, jalan, gunung, dan sebagainya. Peta merupakan simbol, biasanya berhubungan dengan cara untuk mengenali sebuah daerah dengan tanda atau gambar-gambar khusus. Yang sama kau jejaki diartikan dengan sesuatu atau daerah yang pernah dilalui atau dilewati. Kemudian larik kedua, /dari ujung nadi terjauh/. Nadi artinya pembuluh darah besar dan biasanya berhubungan dengan kehidupan secara universal sebagai tanda yang menentukan hidup atau tidaknya manusia sebagai makhluk hidup. Terjauh diartikan sebagai titik paling jauh dari sebuah objek yang dituju.
/Tempat anjing-anjing kurus/. Anjing artinya binatang pemakan daging. Reduplikasi anjing-anjing ditambah dengan adjektif kurus menjadi simbol yang tak terbantahkan sebagai penyifatan terhadap orang yang rakus. ‘Justifikasi’ semacam ini menjadi sebagai kelaziman dan bahkan sudah menjadi konvensi publik, biasanya berhubungan dengan individu atau kelompok tertentu yang mendzalimi kalangan tertentu pula.
/Dengan liur yang tak pernah kering/. Lanjutan larik ketiga ini lebih diartikan dengan penebalan keadaan dan sifat. Sesuatu yang tak pernah kering menjanjikan sesuatu yang lain untuk menjadi lebih meningkat dari keadaan sebelumnya. Binatang seperti anjing identik dengan liur yang jatuh, mengidentikkan kerakusan dengan porsi keinginan yang berlebih.
/Mendesakmu dengan seribu tuduhan/. Kata mendesakmu lebih menekankan pada sebuah intimidasi dan seribu tuduhan merupakan konsekuensi logis dari sebuah intimidasi yakni banyaknya tuduhan atau semacam pengadilan khusus. Semacam gua yang ditolak para pertapa, larik ini sesungguhnya berangkat dari larik sebelumnya dan merupakan sebuah analogi sederhana. Gua artinya liang besar di lereng gunung dan keadaan gelap sangat identik dengan gua. Pertapa artinya orang yang melakukan semedi di gua. Para pertapa selalu memilih gua untuk dijadikan tempat semedi atau bertapa karena suasanya yang tenang dan sepi. Namun jika pertapa menolak gua sebagai sebuah tempat disakralkan maka ini sungguh di luar kebiasaan. Terselip sesuatu yang lain dan menjadi alasan.
/Kau khusuk menulis nestapa/ artinya kau dengan sungguh-sungguh sebagai arti leksikal dari khusuk menulis dan mengurai kesedihan yang begitu dalam (nestapa). Lanjutan larik terakhir dalam bait ini merupakan repetisi dari larik terakhir bait pertama, yaitu /darah lebih kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/. Universalitas makna luka yang perih dicirikan dengan darah yang kental dan kenangan adalah cerita sejarah, menjadi sesuatu yang menyakitkan jika kita melupakan kenangan. Efek dari melupakan kenangan adalah sesuatu yang timbul yaitu rasa sakit pada pikiran dan perasaan.   

2)   Pembacaan Hermeneutik
Sajak Buton 1969 karya Irianto Ibrahim merupakan sajak yang sarat dengan ikonitas, simbolitas dan indeksial. Ini tergambar jelas dalam hal-hal yang universal dan menjadi sebuah konvensi dalam sajak tersebut. Dari judul kita sudah bisa mengurai simbol, Buton merupakan kerajaan yang berdiri tahun 1332 M terkenal dengan benteng terluasnya. Buton menyimpan sejarah kejayaan masa silam, namun juga memeram cerita kelam dalam perjalanannya dan 1969 merupakan simbol waktu di mana sebuah dekade atau masa Buton mencatatkan sejarah kelamnya.
Sajak ini merupakan sajak pembuka dalam kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim yang menjadi roh antologi puisinya. Secara fisik, sajak Buton 1969 tidak terlalu kuat artinya nuansa lokalitas tidak tampak. Hal ini dapat dibuktikan dalam diksi-diksi yang ditampilkan pada larik-larik sajaknya yang tidak mengesankan Buton dengan segala lokalitas dan identitas. Namun, mengurai tanda-tanda pada sajak ini mengarahkan kita pada penemuan makna atas tragedi dan prahara.
Jabrohim dalam esai singkatnya untuk kumpulan puisi Buton, Ibu dan Sekantong Luka karya Irianto Ibrahim mengatakan bahwa sajak ini merupakan sajak yang bernafas berat dan sentimentil. Pernyataan tersebut didukung oleh fakta cerita yang melatari sajak ini. Sajak Buton 1969 berangkat dari sebuah peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di sana. Tahun 1969 Buton dituduh sebagai basis PKI hanya karena sebuah informasi bahwa Buton menjadi tempat penyelundupan senjata dari Cina. Bupati Buton, Muh. Kasim beseta lebih kurang 40 orang aparat pemerintah Buton dan anggota ABRI asal buton ditangkap tanpa surat perintah. Rumah-rumah penduduk digeledah dan banyak harta mereka dirampas. Buton banjir darah 4 tahun setelah G30S PKI.
Saleh Hanan dalam bukunya Catatan Jurnalis Operasi Militer 1969: ‘Buton Basis PKI’ (2000: 6) turut pula mengatakan bahwa Buton digaris merah sebagai basis PKI. Sejarah yang dituliskannya dalam buku tersebut merupakan wujud kebesaran dan kemenangan penguasa di era tersebut, era Orde Baru. Bola panas yang digulirkan oknum TNI hanya merupakan sebuah tuduhan-tuduhan tak berdasar. Larik lima bait lima /mendesakmu dengan seribu tuduhan/ menggambarkan betapa Buton yang dijabat oleh Muh. Kasim era itu “dipaksa” mengakui tuduhan-tuduhan dari oknum antikepemerintahannya. Selain itu, larik /karena darah lebih kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/ juga menggambarkan kepedihan yang lebih, derita atas sejarah kelam yang ditetaskan korban-korban isu sosial yang digulirkan oknum TNI. Hubungan indeksial antara darah dan luka terjalin kuat pada dua larik terakhir bait pertama sajak ini. Darah identik dan ada karena sebuah luka, hubungan kausatif dijalin kedua kata ini yang mengakibatkan keadaan sakit.
Buton yang terluka digambarkan penyair dalam detail kehampaan, seperti pada larik pertama bait kedua /mungkin kau butuh semacam nestapa/, larik pertama bait ketiga /bukan tawar menawar yang kau tunggu/, larik lima bait lima /mendesakmu dengan seribu tuduhan/ atau larik tujuh bait lima /kau khusuk menulis nestapa/. Kau dalam sajak ini adalah Buton yang disebutkan penyair.
Tanah Buton seolah tanah perbatasan di mana para tentara khusuk menjaga daerah seperti ini. Larik seperti ketika kau melewati tanah perbatasan/ tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah/ menggambarkan keadaan yang sama. Buton bukan lagi tuan di tanahnya sendiri. Buton adalah tamu dan menjadi /tempat anjing-anjing kurus/ dengan liur yang tidak pernah kering/. Putera-putera terbaik Buton dibumihanguskan dengan segala kenangan yang dikubur. Tentara sebagai simbol ketangguhan dan disiplinitas yang tinggi tereduksi dalam arogansi dan kerakusan atas kekuasaan sebagai konsekuensi sikap dari kemunculan tanda anjing-anjing yang menjadi simbol kerakusan.
Puisi dapat menyampaikan sebuah kesaksian. Irianto Ibrahim menulis puisi Buton 1969 sebagai sebuah kesaksian atas apa yang menjadi cerita kelam Buton. Fakta historis yang ingin disampaikan penyairnya membaur dalam diksi-diksi yang menarik dan sedikit “menyayat” urat kemanusiaan kita seperti halnya objek yang ingin digambarkannya. Ironi dihadirkan dalam sajak ini. Penyair tidak menghadirkan keindahan lanskap alam dengan laut dan bukit-bukit karangn Buton yang mempesona, dinding-dinding keraton Wolio yang panjang dan luas, atau kota Bau-Bau yang terus menggeliat, namun penyair mengambil sesuatu yang terlupakan dari Buton; pahitnya sejarah tahun 1969. Meskipun narasi yang ingin disampaikan tidak sampai dengan kata-kata yang riil mengarahkan pada kebenaran cerita, namun tanda-tanda menjadi kuasa atas pedih Buton dalam sajak ini.
Hubungan demi hubungan antarlarik dan antarbait menggambarkan dengan jelas prahara Buton, seperti terlihat pada larik pertama bait pertama /begitu tahun-tahun menjadi sepi/ dihubungkan dengan larik pertama bait ketiga /pulanglah, kembali ke bilik langit itu/ membentuk makna yang utuh bahwa tragedi yang terjadi di tahun 1969 adalah sesuatu yang terlupakan dan “dipaksa” hilang ditelan euforia zaman. Larik selanjutnya yang menunukan cerita yang sama, yaitu /sepanjang kenangan yang menghanguskan/ tahun-tahun cerita/. Sejarah adalah kenangan dan sesuatu yang membekas. Sajak Buton1969 ini secara utuh mengurai sesuatu yang telah terjadi, derita dan teraniayanya objek yang diluksikan penyair.
/Adalah peta yang sama kau jejaki/ dari ujung nadi terjauh/ semakin membuat jarak yang terlampau jauh untuk diingatnya Buton sebagai daerah yang pernah berjaya dengan sebutan Kesultanan Buton. Nadi dalam konteks tanda sajak ini merupakan ikon yang berarti kehidupan. Buton dalam percaturan politik dan pemerintahan mengalami kemajuan yang pesat. Wilayah yang semakin luas dan hubungan politik yang membaik dengan beberapa kerajaan seperti Mahapahit, Luwu, Konawe, dan Muna menunjukan kehidupan yang lebih baik untuk Kesultanan Buton. Murtabat Tujuh adalah bentuk kemajuan yang berhasil dibuat Kesultanan Buton, yaitu Undang-Undang dasar Kesultanan Buton yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan. Jika kita pernah mengenal Buton dalam sejarah yang gemilang, maka sekarang kita hanya akan menyaksikan dalam peta bahwa Buton hanya sebuah daerah kepulauan yang menyimpan banyak cerita dan sejarah. Nadi terjauh menandakan kehidupan sejarah yang perlahan pupus dan hanya sebagian generasi Buton saja yang pernah diwariksan sejarah dan kisah tahun 1969.
Repetisi bunyi dan makna pada larik /darah lebih kental dari luka/ lebih sakit dari kenangan/ adalah ending dari sajak ini yang mengungkit dan mengungkap tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di Buton tahun 1969. Ada penegasan dari kedua larik ini yang menjadi nyawa sajak Buton 1969 yang dilukiskan bahwa bagaimanapun sejarah mengenang kepedihan tidak akan terobati sebab Buton dengan segala cerita luar biasa di eranya hanya sepenggal kisah untuk diwariskan pada anak cucu. Tragedi berdarah menghadirkan luka sejarah yang kelam, kenangan yang menyakitkan.

3)   Matriks dan Model
Ada dua tanda yang paling monumental dalam sajak ini, yaitu darah dan luka. Dua kata ini mengalami repetisi dalam pemakaiannya dan memiliki kekuatan puitis, yaitu di dua larik terakhir bait pertama dan terakhir, /darah lebih kental dari luka/lebih sakit dari kenangan//. Dua larik yang tidak terpisah ini selanjutnya menjadi model pertama dan aktualisasi pertama sajak Buton 1969. Darah dan luka diasosiasikan dengan sebuah kesakitan dan kepedihan. Jika dihubungkan dengan latar kehadiran sajak ini, maka dua larik ini berusaha menggambarkan sebuah keadaan yang menyakitkan. Tahun 1969 sebagai tahun yang menyakitkan untuk masyarakat Buton, setetes darah dan luka yang dibekaskan oleh arogansi TNI.
Prahara Buton yang terjadi bermula dari tuduhan yang berakhir menjadi isu besar yang digulirkan TNI untuk menjatuhkan kepemimpinan Muh. Kasim. Larik yang menunjukan hal tersebut terdapat pada larik lima bait lima, yaitu /mendesakmu dengan seribu tuduhan/. Larik ini sederhana dalam penggunaan katanya namun sarat dengan makna. Selanjutnya larik ini menjadi model kedua dan aktualisasi matriks kedua. Wacana sosial yang digulirkan akhirnya tidak terbukti dan efek yang ditimbulkan pun menimpa fisik dan psikis masyarakat Buton.


Penutup
Pada tahap pembacaan semiotika tingkat pertama (pembacaan heuristik) ditemukan sebuah heterogenitas yang ungramatikal, rumpang, dan tidak terpadu seolah-olah tidak ada kesinambungan antara baris demi baris atau larik demi larik. Akan tetapi, setelah diadakan pembacaan yang lebih jauh melalui pembacaan semiotika tingkat kedua (pembacaan hermeneutik) diperoleh sebuah makna yang optimal tentang makna isu sosial dan sejarah dalam sajak-sajak tersebut.
Matriks dan model yang terdapat pada setiap sajak merupakan inti dari makna yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, penentuan matriks dan model pada setiap sajak menjadi penting untuk dilakukan demi memperoleh makna yang utuh. Matriks tidak hadir secara  langsung dalam bentuk teks, namun model tampil sebagai aktualisasi pertama dari matriks. Melalui penentuan model, pemaknaan terhadap sajak menjadi lebih terfokus.
Sajak Buton 1969 secara heuristik memotret yang tidak lazim dalam kehidupan. Konstruksi diksi melahirkan tafsiran-tafsiran paradoksal atas imaji liar penyair. Sedangkan secara hermeneutik, sajak ini menyimpan tiga tanda monumental yaitu luka, kenangan, dan 1969. Eksploitasi cerita sejarah di balik penciptaan sajak ini melahirkan pemaknaan yang optimal. 1969 menjadi simbol pengikat dari luka dan kenangan. Buton di tahun 1969 menyimpan prahara dan isu besar di pundaknya sebagai basis PKI, namun pada akhirnya termentahkan dan tidak terbukti meski kemudian mengorbankan orang-orang yang tidak bersalah.



Daftar Pustaka
Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Budianta, dkk. 2002. Membaca Sastra. Magelang: Indonesiatera.
Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LKiS.
Broto, Anjrah Lelono. 2009. Adopsi Fakta Imajinatif Sastra. Litbang LBTI.
Dahana, Radhar Panca. 2001.Kebenaran dan Dusta dalam Sastra. Magelang: Indonesiatera.
Darmawan, Yusran. 2008. Menyibak Kabut di Keraton Buton. Jakarta: Respect.
Hanan, Saleh. 2000. Catatan Jurnalis Operasi Militer 1969: ‘Buton Basis PKI’. Kendari: Pers Mahasiswa Unhalu.
Hidayatullah, Syarif. 2010. “Kembali Ke Hakikat Puisi (Puisi Sebagai Substansi” dalam www.wismasastra.wordpress.com.
Hudayat, Asep Yusup. 2007. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Universitas Padjadjaran.
Ibrahim, Irianto. 2010. Buton, Ibu dan Sekantong Luka. Yogyakarta: Framepublishing.
Jabrohim. 2001. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widia.
Jamaluddin. 2003. Problematik Pembelajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: Adicipta.
Kaelan. 2009. Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika. Yogyakarta: Paradigma.
Luxemburg, Jan Van., dkk. 1991. Tentang Sastra. Jakarta: Intermassa.
Mubarok, Sarabunis. 2010. “Esai: Buton, Puisi dan Sekantong Luka” dalam www.facebook.com.
Palmer, Richard E. 2003. Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Interpretasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1985. Bahasa Puisi Penyair Utama Sastra Indonesia Modern. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2002. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2001. Pengkajian Sastra. Bandung: Wacana.
Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ricoeur, Paul. 2009. Hermenutika Ilmu Sosial. Kreasi Wacana.
Rusyana, Rus. 1984. Bahasa dan Sastra dalam Gamitan Pendidikan. Bandung: C.V. Diponegoro.
Sayuti, Suminto A. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.
Segers, Rian T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita.