Lagu Pujian Hari Ini untuk Barack Hussein Obama

September 13, 2017 Unknown 0 Comments


Menelisik Kata, Memuja Puisi 

Apa yang Anda bayangkan bila tiba-tiba seorang presiden terpilih menginginkan pembacaan sajak/puisi pada sesi acara pelantikannya. Yah, kelihatannya biasa saja tapi mestinya kita berpikir bahwa ini sungguh penghormatan besar terhadap para penyair. Bisa saja kita melihat banyak fakta bahwa acara sesakral pelantikan pemimpin besar selalu diidentikkan dengan kemeriahan dan hegemoni modernitas yang luar biasa hebatnya. Tapi, seperti inilah fakta yang coba dibalik oleh seorang presiden dengan perawakan sederhana, Barack Obama. Penghargaan terhadap penyair/penulis puisi coba ditunjukannya dengan menghadirkan Elizabeth Alexander, seorang penyair asal Harlem, New York, membacakan puisi karyanya sendiri Lagu Pujian Hari ini pada acara pelantikannya di Washington DC.
Seperti itulah orang memberikan penghargaan terhadap seseorang dengan karya besarnya. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk memberikan penghargaan kepada seseorang, lewat karyanya salah satunya. Begitulah yang kemudian saya coba lakukan, memberikan interpretasi terhadap puisi sebagai bagian dari sikap apresiatif terhadap karya sastra puisi.
Puisi merupakan salah satu genre (jenis) karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat cepat. Jika dulu kita masih sangat terikat dengan bentuk puisi lama yang begitu konvensional kini perlahan bahkan lazim kita menjadi bebas dengan semua keterikatan pada konteks berpuisi terdahulu. Lebih tepatnya sekarang dikatakan dengan puisi bebas, di mana sudah tidak ada lagi pembatasan pada bentuk yang harus diikuti. Selain itu, juga pada aspek isi. Kesan bebas sepertinya mengilhami banyak penulis puisi untuk bereksplorasi dengan puisi dewasa ini.
Sebuah karya sastra tidak lepas dari keterlibatan pembaca. Pembaca dalam hal ini sebagai penikmat karya sastra. Puisi sebagai hasil dari karya sastra juga memiliki banyak pembaca. Aspek pembaca dalam puisi berkaitan dengan masalah pemaknaan terhadap puisi, yang tentu kita pahami bersama bahwa puisi memiliki tingkat pemaknaan yang cukup beragam, terlebih puisi yang bersifat bebas dengan segala bentuk dan isinya pula.

Kebebasan dalam berpuisi misalnya ditunjukan dengan bentuk puisi yang pendek (sajak pendek) atau pun puisi yang berupa cerita atau narasi panjang dengan muatan makna yang banyak pula tentunya. Berikut saya coba menganalisis atau lebih tepatnya mengulas secara sederhana puisi karya Alizabeth Alexander yang berjudul Lagu Pujian Hari Ini yang diterjemahkan oleh Leon Agusta, seorang penyair asal Maninjau yang juga terkenal dengan sejumlah karya-karyanya.

Lagu Pujian Hari Ini

Setiap hari kita menjalani kesibukan masing-masing, melewati satu sama lain,
kadang sekilas menatap dan kadang tidak, kadang ingin bicara dan
kadang tidak. Di sekitar kita hanya bunyi-bunyian berbagai macam, nenek
moyang kita di ujung lidah masing-masing. Seseorang sedang menjahit hem,
menambal lubang pada seragam, menambal ban, memperbaiki hal-hal
yang perlu diperbaiki

Di suatu tempat seseorang sedang mencoba membuat musik
Dengan sendok kayu, tong minyak, dengan cello, radi, harmonika, suara

Seorang wanita dan anaknya sedang menunggu bus

Seorang petani sedang merenungkan perubahan langit
Seorang guru berkata, “Keluarkan pinsilmu dan mulai.”

Kita saling berjumpa dalam kata-kata. Kata yang tajam maupun lembut
Dibisikkan maupun dideklamasikan.
Kata-kata untuk dipertimbangkan ulang dan ditimbang ulang

Kita menyebrangi jalanan, menandai keinginan seseorang dan orang
banyak yang berkata, “Saya harus melihat apa yang ada di sebelah
sana; saya tahu ada hal yang lebih baik di ujung jalan.”

Kita harus menemukan tempat di mana kita merasa aman
Kita selalu berjalan ke suatu hal yang tidak bisa kita lihat

Katakan dengan gamblang, bahwa telah banyak yang meninggal untuk
hari ini. Nyanyikanlah nama para arwah yang telah membawa kita kemari.
Mereka telah memasang rel kereta, mendirikan jembatan, memetik
kapas dan selada; dan mereka yang telah menyusun bata demi bata
Membangun menara-menara bersinar tempat mereka bekerja dan yang
selalu mereka rawat dan bersihkan

Lagu pujian untuk perjuangan, lagu pujian hari ini Lagu pujian
untuk setiap reklame yang ditulis tangan; pergunjingan di meja dapur

banyak yang menjalankan hidup dengan motto:
“Cintai tetanggamu sebagaimana kau mencintai dirimu sendiri.”

Sementara orang lain berikrar untuk tidak menyakiti siapa pun, atau
untuk tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan

Bagaimana kalau cinta adalah kata yang paling kuat, cinta melebihi
perkawinan, kekeluargaan, kenegaraan. Cinta menyinari kita semua
Cinta tanpa perlu keluhan

Pada sinar cahaya yang benderang ini, udara musim dingin ini,
apapun bisa dibuat, segala kalimat bisa dimulai

Kita berada di ujung, di tepi, awal–Lagu pujian untuk berjalan
maju ke dalam cahaya


Lagu Pujian Hari Ini merupakan sebuah puisi yang dibentuk dari konstruksi kata yang saya rasa cukup sederhana namun jelas isu yang coba diangkat oleh penyairnya. Realitas sosial yang coba dibangun dari hal tersirat dalam puisi ini cukup nampak. Menganggap ini sebagai bagian dari refleksi terhadap mekanisme kehidupan sosial juga dapat dibenarkan. Puisi ini saya interpretasikan sebagai pergeseran kehidupan sosial yang cukup signifikan perbedaannya bila ditinjau dari konteks kekinian. Meski sajak ini tergolong sajak yang panjang (puisi narasi), namun makna yang dapat ditangkap oleh pembaca cukup mudah diperoleh meski tentu penyairnya memiliki interpretasinya pula. Demikianlah kekayaan sebuah karya, dapat dilihat dari banyak sisi pemaknaan. Selanjutnya saya coba mengurai analisis puisi ini pada orientasi pendekatan sosiologi sastra khususnya pada karya dan sedikit uraian konsep struktural (secara teks) dengan mengomparasikannya dengan isu sosial yang dikemas dalam konten memaknai teks tersirat.
Puisi karya terjemahan Leon Agusta ini tergolong puisi narasi dengan runutan teks-teks beralur dan cukup sederhana konstruksi katanya. Saya akan coba mengulas per bagian puisi ini yang saya anggap memiliki satu kesatuan konsep pemaknaan dan dari aspek hubungannya pun juga cukup tampak. Berikut saya membaginya berdasarkan analisa keterkaitan antarbait:
Setiap hari kita menjalani kesibukan masing-masing, melewati satu sama lain,
kadang sekilas menatap dan kadang tidak, kadang ingin bicara dan
kadang tidak. Di sekitar kita hanya bunyi-bunyian berbagai macam, nenek
moyang kita di ujung lidah masing-masing. Seseorang sedang menjahit hem,
menambal lubang pada seragam, menambal ban, memperbaiki hal-hal
yang perlu diperbaiki

Di suatu tempat seseorang sedang mencoba membuat musik
Dengan sendok kayu, tong minyak, dengan cello, radi, harmonika, suara

Seorang wanita dan anaknya sedang menunggu bus

Seorang petani sedang merenungkan perubahan langit
Seorang guru berkata, “Keluarkan pinsilmu dan mulai.”

Sederhana saja penyairnya memulai sajaknya dengan melukiskan keadaan sehari-hari yang tentu merujuk pada kondisi kehidupan di dunia barat. Deskripsi penyair coba diisi pada sikap keseharian para tokoh yang ada dalam sajaknya. Saya juga melihat ada hal unik pada bagian bait pertama sampai keempat ini, di mana penyair melukiskan sebuah keadaan pada latar pagi tetapi mampu menjangkau banyak sudut penceritaan, mulai dari cara dia melukiskan seorang yang sedang bereksplorasi dengan musik, wanita yang menunggu bus, petani, bahkan guru yang perkataannya pun didengarkan. Entah karena sajak ini didahului dengan penelitian terlebih dahulu atau boleh jadi penyairnya meramu banyak keadaan pada satu latar waktu yang bersamaan. Saya hanya mampu menangkap trasfer makna oleh penyairnya kepada pembaca bahwa sungguh puisi ini seluruhnya adalah deskripsi kehidupan sosial dalam bentukan kata-kata sederhana namun sarat makna.
Tentu kita akan banyak melihat perbedaan antara puisi terjemahan dan yang bukan terjemahan. Secara redaksi dan arah tulisan selalu ada sedikit banyaknya karakter. Lazimnya, orang barat dalam hal menulis lebih mengedepankan aspek pragmatik dari tatabahasa sederrhana saja. Lirik lagu pun setelah kita artikan biasanya hanya seperti bercerita tentang apa yang sudah terjadi pada mereka dan lebih banyak bersifat gambaran hidup sehari-hari. Misalnya pada bagian kedua yang saya bagi (bait 5 dan 6):
Kita saling berjumpa dalam kata-kata. Kata yang tajam maupun lembut
Dibisikkan maupun dideklamasikan.
Kata-kata untuk dipertimbangkan ulang dan ditimbang ulang

Kita menyebrangi jalanan, menandai keinginan seseorang dan orang
banyak yang berkata, “Saya harus melihat apa yang ada di sebelah
sana; saya tahu ada hal yang lebih baik di ujung jalan.”

Pada pemetaan yang kedua ini, saya tidak menemukan sesuatu yang luar biasa selain kesan yang lazim terjadi dalam kehidupan, misalnya bertemu dengan orang-orang, ada yang saling menyapa, menyindir, berteriak dengan kesan menghina, sinisme yang boleh jadi penyaluran kata-kata secara implisit. Sangat beragam, penyairnya mewujudukan imajinasi aktualitasnya. Aspek pragmatik yang saya maksudkan pada bagian awal itu lahir pada bait ke 6 kalimat ungkapan yakni //Saya harus melihat apa yang ada di sebelah sana; saya tahu ada hal yang lebih baik di ujung jalan//. Ada harapan dan rasa optisme yang tinggi yang ditunjukan pada potongan kalimat ini. Bahwa karakter orang barat adalah selalu memiliki tekad dan hasrat/keinginan yang keras untuk sesuatu sangat dibenarkan dan ini muncul pada puisi ini kembali hal tersebut.
Salah satu hal yang sering terjadi pada puisi panjang adalah ketidakterjagaan pengungkapan. Hilangnya konsistensi dalam pengungkapan ide biasanya dipengaruhi oleh karena banyaknya ide-ide yang ada dan ingin diungkapkan. Pada puisi Lagu Pujian Hari Ini, saya tidak menemukan hal tersebut pada aspek pembacaan, namun saya lebih menganggapnya sebagai kepadatan ide yang coba dihadirkan sebagai puncak pemaknaan untuk pembaca. Misalnya pada bagian ini:
Katakan dengan gamblang, bahwa telah banyak yang meninggal untuk
hari ini. Nyanyikanlah nama para arwah yang telah membawa kita kemari.
Mereka telah memasang rel kereta, mendirikan jembatan, memetik
kapas dan selada; dan mereka yang telah menyusun bata demi bata
Membangun menara-menara bersinar tempat mereka bekerja dan yang
selalu mereka rawat dan bersihkan

Kalimat kedua yang menarik perhatian saya yakni //Nyanyikanlah nama para arwah yang telah membawa kita kemari//. Awalnya saya menangkap ini sebagai suatu kejadian yang sungguh bertolak belakang dengan kebiasaan adat masyarakat barat, namun akhirnya saya menemukan jawaban pada kalimat-kalimat selanjutnya. //Mereka telah memasang rel kereta, mendirikan jembatan........//. Kata “arwah” yang dimaksud pada konstruksi bait 7 tersebut saya menginterpretasikannya sebagai moyang mereka, para orang tua terdahulu mereka karena ditegaskan pada poda potongan kalimat kedua //..... yang telah membawa kita kemari//, saya menganggap bahwa kata “membawa” erat maknanya dengan “melahirkan. Demikian pada bagian ini saya menerjemahkan makna yang ada.
Selanjutnya pada bagian keempat ini saya menganggapnya pula sebagai totalitas makna yang lahir, totalitas ide dan kritik sosial yang terjadi juga cukup jelas. Positif kontra negatif dalam pernyataan-pernyataan pada bagian ini juga saya temukan.
Lagu pujian untuk perjuangan, lagu pujian hari ini Lagu pujian
untuk setiap reklame yang ditulis tangan; pergunjingan di meja dapur

banyak yang menjalankan hidup dengan motto:
“Cintai tetanggamu sebagaimana kau mencintai dirimu sendiri.”

Sementara orang lain berikrar untuk tidak menyakiti siapa pun, atau
untuk tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan

Bagaimana kalau cinta adalah kata yang paling kuat, cinta melebihi
perkawinan, kekeluargaan, kenegaraan. Cinta menyinari kita semua
Cinta tanpa perlu keluhan

Memaknai lagu pujian yang dimaksud pada sajak ini, saya lebih mengarah pada hymne yang lazim dipakai masyarakat gereja karena lebih bersinggungan pada kebiasaan hidup masyarakat barat yang tentu merujuk pada persoalan kehidupan sosial. Repetisi kata maupun makna “Lagu pujian” adalah sebentuk penegasan dan konsostensi mengusung kritik. Saya agak sedikit kesulitan memaknai potongan kalimat selanjutnya yakni “pergunjingan di meja dapur”. Kalimat ini saya menganggapnya sebagai bentuk dari ujung permasalahan yang ada sebagai efek dari pergesekan kehidupan sosial masyarakat yang digambarkan oleh penyairnya.
Bait selanjutnya pada bagian ini saya hanya menangkap satu hal yaitu “cinta”. Penyair sajak ini mengawinkan “cinta” pada rasio berpikir sebagian orang yang ditokohkannya. Interpretasi cinta yang dimaksud saya anggap sebagai sikap hidup yang seharusnya ada, di mana kita harus saling menghargai pada konteks interaksi sosial. Bagian makna yang saya tangkap dan saya “renangi”  pada bagian ini adalah cinta yang tak boleh marah, yang tak mengeluh, yang tak cemburu, yang tak boleh benci ketika melihat orang lain bahagia, menyaksikan orang lain bergelut dengan kesenangannya bila kita seudah berjanji untuk tidak menggerogoti dan mengambil sebagian milik kebahagian mereka.
Kemudian pada bagian kelima yang menjadi akhir penerjemahan saya dan sekaligus bagian dari pesan yang disampaikan oleh penyairnya kepada pembacanya (sugesti) yang tentu jika kita memahami keinginan tersebut.
Pada sinar cahaya yang benderang ini, udara musim dingin ini,
apapun bisa dibuat, segala kalimat bisa dimulai

Kita berada di ujung, di tepi, awal–Lagu pujian untuk berjalan
maju ke dalam cahaya

Hawa semangat dan dominasi keinginan untuk sesuatu hal yang baik sangat terliohat pada bagian bait terakhir ini. //Pada sinar cahaya yang benderang ini, uadara musim dingin ini, apapun bisa dibuat, segala kalimat bisa dimulai//. Ada kata-kata penegasan pada pernyataan ini yang mewujud menjadi semacam sumpah untuk memulai hidup yang baru, baru dalam konteks memulai dengan sikap hidup yang lebih baik tentunya. Selanjutnya //Kita berada di ujung, di tepi, awal-Lagu pujian untuk berjalan maju ke dalam cahaya//. Aspek semiotik yang ditunjukan juga ada pada sajak ini. Kata “cahaya” sesungguhnya adalah sombol dari pergulatan kehidupan yang lebih baik dengan semangat baru. Sebagai tanda bahwa cahaya sering diidentikkan dengan kebahagiaan, sesuatu yang indah, terang untuk kehidupan. Pada setiap sisi (awal, ujung, dan tepi) merupakan sudut di mana kita bisa mengambil cahaya dan menjadikannya sebagai refleksi untuk bersikap dan bertindak lebih baik lagi dalam kehidupan ini. Dan tentang “Lagu pujian”, akan selalu dinyanyikan dan didengungkan untuk mendorong semangat yang baik pula.
Demikianlah analisis sederhana saya untuk puisi karya Elizabeth Alexander Lagu Pujian Hari Ini yang diterjemahkan oleh Leon Agusta. Tentang pemaknaan saya yang kental dengan aspek luar merupakan bagian dari orientasi sosial dari konsep sosiologi sastra yang saya pakai. Satu hal yang saya dapatkan dari serangkaian pemaknaan ini adalah transfer makna dari penyair kepada pembaca sajak ini akan mudah diperoleh mengingat puisi ini dibangun dari imajinasi sederhana dengan konsep realitas sosial kehidupan masyarakar barat. Akhirnya, lebih jauh saya melihat karakter puisi ini sebagai bentuk dari keprihatinan penyair dan sekaligus gambaran kehidupan sebagai akibat gesekan interaksi sosial dan aspek sadar untuk mengusung isu sosial pada puisi ini.

You Might Also Like

0 comments: