Lagu Pujian Hari Ini untuk Barack Hussein Obama
Menelisik Kata, Memuja Puisi
Apa yang Anda
bayangkan bila tiba-tiba seorang presiden terpilih menginginkan pembacaan
sajak/puisi pada sesi acara pelantikannya. Yah, kelihatannya biasa saja tapi
mestinya kita berpikir bahwa ini sungguh penghormatan besar terhadap para
penyair. Bisa saja kita melihat banyak fakta bahwa acara sesakral pelantikan
pemimpin besar selalu diidentikkan dengan kemeriahan dan hegemoni modernitas
yang luar biasa hebatnya. Tapi, seperti inilah fakta yang coba dibalik oleh
seorang presiden dengan perawakan sederhana, Barack Obama. Penghargaan terhadap
penyair/penulis puisi coba ditunjukannya dengan menghadirkan Elizabeth
Alexander, seorang penyair asal Harlem, New York, membacakan puisi karyanya
sendiri Lagu Pujian Hari ini pada
acara pelantikannya di Washington DC.
Seperti itulah
orang memberikan penghargaan terhadap seseorang dengan karya besarnya. Banyak
hal yang bisa kita lakukan untuk memberikan penghargaan kepada seseorang, lewat
karyanya salah satunya. Begitulah yang kemudian saya coba lakukan, memberikan
interpretasi terhadap puisi sebagai bagian dari sikap apresiatif terhadap karya
sastra puisi.
Puisi merupakan
salah satu genre (jenis) karya sastra yang mengalami perkembangan yang sangat
cepat. Jika dulu kita masih sangat terikat dengan bentuk puisi lama yang begitu
konvensional kini perlahan bahkan lazim kita menjadi bebas dengan semua
keterikatan pada konteks berpuisi terdahulu. Lebih tepatnya sekarang dikatakan
dengan puisi bebas, di mana sudah tidak ada lagi pembatasan pada bentuk yang
harus diikuti. Selain itu, juga pada aspek isi. Kesan bebas sepertinya
mengilhami banyak penulis puisi untuk bereksplorasi dengan puisi dewasa ini.
Sebuah karya
sastra tidak lepas dari keterlibatan pembaca. Pembaca dalam hal ini sebagai
penikmat karya sastra. Puisi sebagai hasil dari karya sastra juga memiliki
banyak pembaca. Aspek pembaca dalam puisi berkaitan dengan masalah pemaknaan
terhadap puisi, yang tentu kita pahami bersama bahwa puisi memiliki tingkat
pemaknaan yang cukup beragam, terlebih puisi yang bersifat bebas dengan segala
bentuk dan isinya pula.
Kebebasan dalam
berpuisi misalnya ditunjukan dengan bentuk puisi yang pendek (sajak pendek)
atau pun puisi yang berupa cerita atau narasi panjang dengan muatan makna yang
banyak pula tentunya. Berikut saya coba menganalisis atau lebih tepatnya
mengulas secara sederhana puisi karya Alizabeth Alexander yang berjudul Lagu Pujian Hari Ini yang diterjemahkan
oleh Leon Agusta, seorang penyair asal Maninjau yang juga terkenal dengan
sejumlah karya-karyanya.
Lagu
Pujian Hari Ini
Setiap hari kita
menjalani kesibukan masing-masing, melewati satu sama lain,
kadang sekilas menatap
dan kadang tidak, kadang ingin bicara dan
kadang tidak. Di
sekitar kita hanya bunyi-bunyian berbagai macam, nenek
moyang kita di ujung
lidah masing-masing. Seseorang sedang menjahit hem,
menambal lubang pada
seragam, menambal ban, memperbaiki hal-hal
yang perlu diperbaiki
Di suatu tempat
seseorang sedang mencoba membuat musik
Dengan sendok kayu,
tong minyak, dengan cello, radi, harmonika, suara
Seorang wanita dan
anaknya sedang menunggu bus
Seorang petani sedang
merenungkan perubahan langit
Seorang guru berkata,
“Keluarkan pinsilmu dan mulai.”
Kita saling berjumpa
dalam kata-kata. Kata yang tajam maupun lembut
Dibisikkan maupun
dideklamasikan.
Kata-kata untuk
dipertimbangkan ulang dan ditimbang ulang
Kita menyebrangi
jalanan, menandai keinginan seseorang dan orang
banyak yang berkata,
“Saya harus melihat apa yang ada di sebelah
sana; saya tahu ada hal
yang lebih baik di ujung jalan.”
Kita harus menemukan
tempat di mana kita merasa aman
Kita selalu berjalan
ke suatu hal yang tidak bisa kita lihat
Katakan dengan
gamblang, bahwa telah banyak yang meninggal untuk
hari ini. Nyanyikanlah
nama para arwah yang telah membawa kita kemari.
Mereka telah memasang
rel kereta, mendirikan jembatan, memetik
kapas dan selada; dan
mereka yang telah menyusun bata demi bata
Membangun
menara-menara bersinar tempat mereka bekerja dan yang
selalu mereka rawat
dan bersihkan
Lagu pujian untuk
perjuangan, lagu pujian hari ini Lagu pujian
untuk setiap reklame
yang ditulis tangan; pergunjingan di meja dapur
banyak yang
menjalankan hidup dengan motto:
“Cintai tetanggamu
sebagaimana kau mencintai dirimu sendiri.”
Sementara orang lain
berikrar untuk tidak menyakiti siapa pun, atau
untuk tidak mengambil
lebih dari yang dibutuhkan
Bagaimana kalau cinta
adalah kata yang paling kuat, cinta melebihi
perkawinan,
kekeluargaan, kenegaraan. Cinta menyinari kita semua
Cinta tanpa perlu
keluhan
Pada sinar cahaya yang
benderang ini, udara musim dingin ini,
apapun bisa dibuat,
segala kalimat bisa dimulai
Kita berada di ujung,
di tepi, awal–Lagu pujian untuk berjalan
maju ke dalam cahaya
Lagu Pujian Hari Ini
merupakan sebuah puisi yang dibentuk dari konstruksi kata yang saya rasa cukup
sederhana namun jelas isu yang coba diangkat oleh penyairnya. Realitas sosial
yang coba dibangun dari hal tersirat dalam puisi ini cukup nampak. Menganggap
ini sebagai bagian dari refleksi terhadap mekanisme kehidupan sosial juga dapat
dibenarkan. Puisi ini saya interpretasikan sebagai pergeseran kehidupan sosial
yang cukup signifikan perbedaannya bila ditinjau dari konteks kekinian. Meski
sajak ini tergolong sajak yang panjang (puisi narasi), namun makna yang dapat
ditangkap oleh pembaca cukup mudah diperoleh meski tentu penyairnya memiliki
interpretasinya pula. Demikianlah kekayaan sebuah karya, dapat dilihat dari
banyak sisi pemaknaan. Selanjutnya saya coba mengurai analisis puisi ini pada orientasi
pendekatan sosiologi sastra khususnya pada karya dan sedikit uraian konsep
struktural (secara teks) dengan mengomparasikannya dengan isu sosial yang
dikemas dalam konten memaknai teks tersirat.
Puisi
karya terjemahan Leon Agusta ini tergolong puisi narasi dengan runutan
teks-teks beralur dan cukup sederhana konstruksi katanya. Saya akan coba
mengulas per bagian puisi ini yang saya anggap memiliki satu kesatuan konsep
pemaknaan dan dari aspek hubungannya pun juga cukup tampak. Berikut saya
membaginya berdasarkan analisa keterkaitan antarbait:
Setiap
hari kita menjalani kesibukan masing-masing, melewati satu sama lain,
kadang
sekilas menatap dan kadang tidak, kadang ingin bicara dan
kadang
tidak. Di sekitar kita hanya bunyi-bunyian berbagai macam, nenek
moyang
kita di ujung lidah masing-masing. Seseorang sedang menjahit hem,
menambal
lubang pada seragam, menambal ban, memperbaiki hal-hal
yang
perlu diperbaiki
Di
suatu tempat seseorang sedang mencoba membuat musik
Dengan
sendok kayu, tong minyak, dengan cello, radi, harmonika, suara
Seorang
wanita dan anaknya sedang menunggu bus
Seorang
petani sedang merenungkan perubahan langit
Seorang
guru berkata, “Keluarkan pinsilmu dan mulai.”
Sederhana
saja penyairnya memulai sajaknya dengan melukiskan keadaan sehari-hari yang
tentu merujuk pada kondisi kehidupan di dunia barat. Deskripsi penyair coba
diisi pada sikap keseharian para tokoh yang ada dalam sajaknya. Saya juga
melihat ada hal unik pada bagian bait pertama sampai keempat ini, di mana
penyair melukiskan sebuah keadaan pada latar pagi tetapi mampu menjangkau
banyak sudut penceritaan, mulai dari cara dia melukiskan seorang yang sedang
bereksplorasi dengan musik, wanita yang menunggu bus, petani, bahkan guru yang
perkataannya pun didengarkan. Entah karena sajak ini didahului dengan
penelitian terlebih dahulu atau boleh jadi penyairnya meramu banyak keadaan
pada satu latar waktu yang bersamaan. Saya hanya mampu menangkap trasfer makna
oleh penyairnya kepada pembaca bahwa sungguh puisi ini seluruhnya adalah
deskripsi kehidupan sosial dalam bentukan kata-kata sederhana namun sarat
makna.
Tentu
kita akan banyak melihat perbedaan antara puisi terjemahan dan yang bukan
terjemahan. Secara redaksi dan arah tulisan selalu ada sedikit banyaknya
karakter. Lazimnya, orang barat dalam hal menulis lebih mengedepankan aspek
pragmatik dari tatabahasa sederrhana saja. Lirik lagu pun setelah kita artikan
biasanya hanya seperti bercerita tentang apa yang sudah terjadi pada mereka dan
lebih banyak bersifat gambaran hidup sehari-hari. Misalnya pada bagian kedua
yang saya bagi (bait 5 dan 6):
Kita
saling berjumpa dalam kata-kata. Kata yang tajam maupun lembut
Dibisikkan
maupun dideklamasikan.
Kata-kata
untuk dipertimbangkan ulang dan ditimbang ulang
Kita
menyebrangi jalanan, menandai keinginan seseorang dan orang
banyak
yang berkata, “Saya harus melihat apa yang ada di sebelah
sana;
saya tahu ada hal yang lebih baik di ujung jalan.”
Pada
pemetaan yang kedua ini, saya tidak menemukan sesuatu yang luar biasa selain
kesan yang lazim terjadi dalam kehidupan, misalnya bertemu dengan orang-orang,
ada yang saling menyapa, menyindir, berteriak dengan kesan menghina, sinisme
yang boleh jadi penyaluran kata-kata secara implisit. Sangat beragam,
penyairnya mewujudukan imajinasi aktualitasnya. Aspek pragmatik yang saya
maksudkan pada bagian awal itu lahir pada bait ke 6 kalimat ungkapan yakni
//Saya harus melihat apa yang ada di sebelah sana; saya tahu ada hal yang lebih
baik di ujung jalan//. Ada harapan dan rasa optisme yang tinggi yang ditunjukan
pada potongan kalimat ini. Bahwa karakter orang barat adalah selalu memiliki
tekad dan hasrat/keinginan yang keras untuk sesuatu sangat dibenarkan dan ini
muncul pada puisi ini kembali hal tersebut.
Salah
satu hal yang sering terjadi pada puisi panjang adalah ketidakterjagaan
pengungkapan. Hilangnya konsistensi dalam pengungkapan ide biasanya dipengaruhi
oleh karena banyaknya ide-ide yang ada dan ingin diungkapkan. Pada puisi Lagu Pujian
Hari Ini, saya tidak menemukan hal tersebut pada aspek pembacaan, namun
saya lebih menganggapnya sebagai kepadatan ide yang coba dihadirkan sebagai
puncak pemaknaan untuk pembaca. Misalnya pada bagian ini:
Katakan
dengan gamblang, bahwa telah banyak yang meninggal untuk
hari
ini. Nyanyikanlah nama para arwah yang telah membawa kita kemari.
Mereka
telah memasang rel kereta, mendirikan jembatan, memetik
kapas
dan selada; dan mereka yang telah menyusun bata demi bata
Membangun
menara-menara bersinar tempat mereka bekerja dan yang
selalu
mereka rawat dan bersihkan
Kalimat
kedua yang menarik perhatian saya yakni //Nyanyikanlah nama para arwah yang
telah membawa kita kemari//. Awalnya saya menangkap ini sebagai suatu kejadian
yang sungguh bertolak belakang dengan kebiasaan adat masyarakat barat, namun
akhirnya saya menemukan jawaban pada kalimat-kalimat selanjutnya. //Mereka
telah memasang rel kereta, mendirikan jembatan........//. Kata “arwah” yang
dimaksud pada konstruksi bait 7 tersebut saya menginterpretasikannya sebagai
moyang mereka, para orang tua terdahulu mereka karena ditegaskan pada poda
potongan kalimat kedua //..... yang telah membawa kita kemari//, saya
menganggap bahwa kata “membawa” erat maknanya dengan “melahirkan. Demikian pada
bagian ini saya menerjemahkan makna yang ada.
Selanjutnya
pada bagian keempat ini saya menganggapnya pula sebagai totalitas makna yang
lahir, totalitas ide dan kritik sosial yang terjadi juga cukup jelas. Positif
kontra negatif dalam pernyataan-pernyataan pada bagian ini juga saya temukan.
Lagu
pujian untuk perjuangan, lagu pujian hari ini Lagu pujian
untuk
setiap reklame yang ditulis tangan; pergunjingan di meja dapur
banyak
yang menjalankan hidup dengan motto:
“Cintai
tetanggamu sebagaimana kau mencintai dirimu sendiri.”
Sementara
orang lain berikrar untuk tidak menyakiti siapa pun, atau
untuk
tidak mengambil lebih dari yang dibutuhkan
Bagaimana
kalau cinta adalah kata yang paling kuat, cinta melebihi
perkawinan,
kekeluargaan, kenegaraan. Cinta menyinari kita semua
Cinta
tanpa perlu keluhan
Memaknai
lagu pujian yang dimaksud pada sajak ini, saya lebih mengarah pada hymne yang
lazim dipakai masyarakat gereja karena lebih bersinggungan pada kebiasaan hidup
masyarakat barat yang tentu merujuk pada persoalan kehidupan sosial. Repetisi
kata maupun makna “Lagu pujian” adalah sebentuk penegasan dan konsostensi
mengusung kritik. Saya agak sedikit kesulitan memaknai potongan kalimat
selanjutnya yakni “pergunjingan di meja dapur”. Kalimat ini saya menganggapnya
sebagai bentuk dari ujung permasalahan yang ada sebagai efek dari pergesekan
kehidupan sosial masyarakat yang digambarkan oleh penyairnya.
Bait
selanjutnya pada bagian ini saya hanya menangkap satu hal yaitu “cinta”.
Penyair sajak ini mengawinkan “cinta” pada rasio berpikir sebagian orang yang
ditokohkannya. Interpretasi cinta yang dimaksud saya anggap sebagai sikap hidup
yang seharusnya ada, di mana kita harus saling menghargai pada konteks
interaksi sosial. Bagian makna yang saya tangkap dan saya “renangi” pada bagian ini adalah cinta yang tak boleh
marah, yang tak mengeluh, yang tak cemburu, yang tak boleh benci ketika melihat
orang lain bahagia, menyaksikan orang lain bergelut dengan kesenangannya bila
kita seudah berjanji untuk tidak menggerogoti dan mengambil sebagian milik
kebahagian mereka.
Kemudian
pada bagian kelima yang menjadi akhir penerjemahan saya dan sekaligus bagian
dari pesan yang disampaikan oleh penyairnya kepada pembacanya (sugesti) yang
tentu jika kita memahami keinginan tersebut.
Pada
sinar cahaya yang benderang ini, udara musim dingin ini,
apapun
bisa dibuat, segala kalimat bisa dimulai
Kita
berada di ujung, di tepi, awal–Lagu pujian untuk berjalan
maju
ke dalam cahaya
Hawa
semangat dan dominasi keinginan untuk sesuatu hal yang baik sangat terliohat
pada bagian bait terakhir ini. //Pada sinar cahaya yang benderang ini, uadara
musim dingin ini, apapun bisa dibuat, segala kalimat bisa dimulai//. Ada
kata-kata penegasan pada pernyataan ini yang mewujud menjadi semacam sumpah
untuk memulai hidup yang baru, baru dalam konteks memulai dengan sikap hidup
yang lebih baik tentunya. Selanjutnya //Kita berada di ujung, di tepi,
awal-Lagu pujian untuk berjalan maju ke dalam cahaya//. Aspek semiotik yang
ditunjukan juga ada pada sajak ini. Kata “cahaya” sesungguhnya adalah sombol
dari pergulatan kehidupan yang lebih baik dengan semangat baru. Sebagai tanda
bahwa cahaya sering diidentikkan dengan kebahagiaan, sesuatu yang indah, terang
untuk kehidupan. Pada setiap sisi (awal, ujung, dan tepi) merupakan sudut di
mana kita bisa mengambil cahaya dan menjadikannya sebagai refleksi untuk
bersikap dan bertindak lebih baik lagi dalam kehidupan ini. Dan tentang “Lagu
pujian”, akan selalu dinyanyikan dan didengungkan untuk mendorong semangat yang
baik pula.
Demikianlah
analisis sederhana saya untuk puisi karya Elizabeth Alexander Lagu Pujian Hari Ini yang diterjemahkan
oleh Leon Agusta. Tentang pemaknaan saya yang kental dengan aspek luar
merupakan bagian dari orientasi sosial dari konsep sosiologi sastra yang saya
pakai. Satu hal yang saya dapatkan dari serangkaian pemaknaan ini adalah transfer
makna dari penyair kepada pembaca sajak ini akan mudah diperoleh mengingat
puisi ini dibangun dari imajinasi sederhana dengan konsep realitas sosial
kehidupan masyarakar barat. Akhirnya, lebih jauh saya melihat karakter puisi
ini sebagai bentuk dari keprihatinan penyair dan sekaligus gambaran kehidupan
sebagai akibat gesekan interaksi sosial dan aspek sadar untuk mengusung isu
sosial pada puisi ini.
0 comments: